Page 56 - Majalah Berita Indonesia Edisi 33
P. 56
56 BERITAINDONESIA, 15 Maret 2007UUD ‘45 Bukan Kitab SuciKonstitusi bisa saja diubahdemi perbaikan, karenabukan kitab suci.amun materinya perlu dipersiapkan dan momentum perubahan perlu dipertimbangkandengan baik. Ini benang merah tajuk sejumlah media nasional menanggapi keinginan amandemen kelimaUndang Undang Dasar (UUD) 1945.Di sebuah negara demokrasi, siapa sajaboleh mengembangkan wacana apa sajauntuk kejayaan republik, demikian tajukharian Media Indonesia (2/2), berjudul:Jangan Tarik Mundur Jalan Sejarah.Tetapi harian ini mengingatkan, berwacana tentang kembali ke UUD ‘45 sebelum amandemen perlu diberi catataanserius,sebab itu berarti menarik mundurrefomasi yang telah berjalan hampir satudasawarsa.Reformasi, tulis MI, merupakan pilihanbangsa yang telah diberi kekuatan secarakonstitusional. Empat kali amandemenUUD ’45, menurut MI, merupakan landasan dan koridor jalannya reformasi.Amandemen tersebut bukan dilakukanoleh sembarang orang, tapi melalui serangkaian kajian hukum, telaah akademikyang sungguh-sungguh, dan sudah berkali-kali disuarakan kepada publik. “Salahsatu kesimpulannya, UUD ‘45 (murni)menjadi belenggu demokrasi,” tulis MI ditajuknya yang ditempatkan di halamansatu.Menurut harian tersebut, UUD ‘45menghasilkan kepemimpinan Bung Karnosebagai presiden seumur hidup, dan PakHarto berkuasa sampai kapan dia suka.Kedua presiden itu hanya melahirkan kekuasaan yang kuat, tapi rakyat lemah.Lembaga kontrol, seperti parlemen, dibuat mandul. Pers ‘dibina’dan yang‘mbalelo’ dibinasakan. Kekuasaan menjadi sangat sentral. Karena itu, sejarahharuslah menuju gerak maju, bukan gerakmundur. Demokrasi, otonomi daerah, dankebebasan pers, adalah sebuah gerakmaju yang tidak mungkin ditarik kembali.“Kembali ke UUD ‘45 sebelum amandemen adalah kembali kepada kekuasaanyang sentralistis,” tulis MI.Hal senada diutarakan tajuk KoranTempo (10/2). Menurut KT, konstitusibukanlah kitab suci. Karenanya, tidakperlu menutup telinga terhadap suarasuara yang menginginkan perubahanUUD ‘45. Kendati sudah empat kalidiamandemen, konstitusi ini belum tentusempurna. Kalau amandemen konstitusibelum sempurna, bukan berarti kembalike UUD ‘45 asli. Sebab amandemen UUD‘45 telah jadi tonggak bagi perubahan kearah demokratisasi.“Keinginan DPD lebih masuk akal,” tulisKT. Sebaiknya, amandemennya dipadukan dengan penyempurnaan konstitusi.Menggelar sidang MPR demi memenuhikeinginan DPD semata mungkin, biayanya terasa mahal. Tapi jika tujuannyalebih luas, yakni memperbaiki amandemen UUD ‘45, langkah ini lebih bisa dipahami khalayak. Dan yang lebih pentinglagi, jangan sampai keinginan itu diboncengi, lalu dibelokkan ke arah lain,misalnya kembali ke konstitusi asli.Pandangan yang sama juga dikemukakan dalam tajuk harian Republika (19/2). Harian berhaluan Islam ini mengajakmasyarakat mensyukuri demokrasi. Sebab di masa Orde Baru, siapa saja langsung dituduh subversi jika berbicara soalamandemen konstitusi. Padahal konstitusi bukanlah kitab suci. Tulis Republika,konstittusi tidak sempurna, karena itu,memperbaikinya merupakan keniscayaan. Harian ini memuji siapa pun yangmewacanakan dan memperbaikinya sertamemperjuangkannya.Menyinggung DPD, harian ini menyebut kehadirannya ibarat peribahasaArab: wujuduhu ka adamihi, artinya:keberadaannya seperti ketiadaannya.Ada dan tiadanya sama saja. Kehadirannya di parlemen, DPD hanya tukang tepuktangan. Namun menyangkut usul amandemen oleh DPD, harian ini mempertanyakan apakah momentumnya tepat?Apakah itu merupakan kebutuhan yangsangat mendesak? Apakah sudah dipikirkan komplikasi dan implikasinya?Masih menurut Republika, ketika proses amandemen dibuka lagi, maka sepertimembuka kotak pendora. Segala hal bisaterjadi. Ketenangan politik memanas lagi.Kidakpastian timbul. Apalagi hingga saatini belum ada keterbukaan tentang materiamandemen dimaksud. Karenanya, saatini tidak perlu memaksakan amandemen.Lebih baik ide amandemen itu ‘dijual’pada pemilu mendatang, sehingga urusannya langsung dengan rakyat. “Atautunggu hingga problem nyata kesehariankita sudah reda,” tulis Republika.Tajuk suratkabar sangat berpengaruh,Kompas (15/2), menanggapi keinginanamandemen kelima, mengakui, “perubahan memang suatu keniscayaan.” Hanyasaja, harus ditanya, untuk apa perubahanitu dilakukan? Perubahan itu harus bisamemperbaiki perikehidupan seluruhbangsa ini.Menurut Kompas, sejak reformasi1998, keadaan secara sosial, politik, maupun ekonomi Indonesia, tidak lebih baik.Kenapa demikian? Karena kita tidakcukup matang mempersiapkan perubahan tersebut. “Kita ternyata tidak berangkat dari visi Indonesia yang jelas yanghendak dituju, tidak jelas desain masa depan yang akan dicapai serta tidak mempersiapkan strategi yang diperlukan untukmencapai semua cita-cita itu,” tulisKompas.Kompas mengingatkan bahwa keinginan amandemen kelima jika tanpapersiapan yang matang, terutama mengaplikasikan perubahan yang akan dibuat,akan terjebak pada kesalahan yang sama.Bagi rakyat, yang lebih penting perubahandalam sikap, dalam perilaku denganpemahaman bahwa sistem demokrasiyang diterapkan harus membuat kekuasaan itu melayani, bukan minta dilayani. MS, SHNLINTAS TAJUK