Page 59 - Majalah Berita Indonesia Edisi 35
P. 59


                                    BERITAINDONESIA, 12 April 2007 59LINTAS TAJUKBerlomba KorupsiPemberantasan korupsi di Indonesia masih belummenggembirakan. Komitmen tidak diikuti denganpelaksanaan. Pemerintah dinilai masih setengah hati.Lembaga yang seharusnya memberantas korupsi malahmemelihara budaya korup. Kini saatnya masyarakat beranibersikap.ajuk rencana berbagai hariannasional mengulas tentangkorupsi di tanah air. Merujukhasil survei indeks persepsi korupsi yang diselenggarakan TransparencyInternational Indonesia (TII), OktoberDesember 2006, di 32 kota dan kabupaten, dengan 1.760 responden pelakuusaha sektor industri formal, tajuk HarianMedia Indonesia (3/3) menyimpulkan,masih panjang dan jauh jalan yang harusditempuh bangsa ini untuk memilikinegara yang bersih dari korupsi. Soalnya,menurut survei tersebut, korupsi palingparah justru terjadi di lingkungan peradilan. Survei itu menggarisbawahi,bahwa di peradilan, inisiatif memintasuap itu dipuji. Artinya, korupsi dipandang memiliki nilai positif. Jadi menurutMI, mafia pradilan tidak hanya masihterus berlangsung, tetapi dengan proaktifdipelihara dan dikembangkan.Tajuk Harian Republika (1/3) jugamenyoroti hasil survei TII. Harian inimenyimpulkan, bahwa tingginya komitmen kepala daerah untuk pemberantasan korupsi tidak diwujudkan dalam keseharian. Dari sisi komitmen dan peraturan, tulis Republika, sudah sangatmencukupi bagi pemberantasan korupsi.Hati tak ingin korupsi, aturan pun membatasi. Tapi kenapa korupsi terjadi juga.Aparat penegak hukum mestinya bisamenangkap dan menghukum pelakukorupsi, namun nyatanya melempem.Bahkan menurut hasil survei TII, bahwapolisi, hakim, jaksa, maupun aparat beacukai dan imigrasi, yang mestinya beradadi barisan depan pemberantasan korupsi,justru jadi bagian dari mata rantai korupsi.Bangsa Indonsia seolah-olah terpenjaraoleh situasi ini. Penjara yang dibangunoleh budaya aparat itu sendiri. Karena itu,mereka tidak boleh lagi mengeluhkan gajiyang kecil, karena orang yang lebih miskinjauh lebih banyak. Padahal, orang yanglebih miskin itulah yang menggaji mereka.Kini, sudah saatnya rakyat bersikap.Intinya, asingkan aparat dan pejabat yangkorup dari kehidupan sosial.Masih merujuk hasil survei TII, KoranTempo, dalam tajuknya (1/3) menyebutkan, hasil survei itu menunjukkan bahwapemerintah setengah hati memerangikorupsi. Hal tersebut disimpulkan setelahbeberapa kali melihat kebimbanganpemerintah. Seperti kasus penunjukanlangsung yang melibatkan Yusril IhzaMahendra dan Taufiequrachman Rukiyang berakhir dengan pertemuan perdamaian yang diprakarsai Presiden Yudhoyono.Pada edisi berikutnya, tajuk KT (5/3)menyoroti indikasi keterlibatan Yusril danHamid dalam kasus korupsi belakanganini. KT menyoroti Yusril Ihza Mahendra,mantan Menteri Hukum dan HAM, berkaitan dengan Zulkarnain Yunus yangtelah ditahan KPK sehubungan dengankasus pengadaan mesin sidik jari. Dantajuk KT (12/3), kembali menyorotiketerlibatan Yusril dan Hamid Awaluddin,Menteri Hukum dan HAM, dalam kasuspencairan dana Tommy dari BNP Paribas.Menurut KT, pemanfaatan rekeningnegara untuk mencairkan dana Tommyitu sangat keterlaluan. Saran KT, Presidenharus bersikap tegas terhadap berbagaipenyimpangan itu. Tulis KT, Presiden SBYsudah berjanji memulai pembasmiankorupsi dari lingkungan sekitarnya. Karena itu, dia wajib mendukung upaya KPKdalam menyidik kasus yang melibatkanpara menterinya. KPK, institusi yang tepatmenangani kasus ini, mengingat JaksaAgung Abdul Rahman Saleh berafiliasidengan Partai Bulan Bintang, di manaYusril pernah memimpin. Presiden perlusegera memberhentikan minimal menonaktifkan Menesneg Yusril dan Hamidselama proses penyidikan, untuk mempermudah investigasi dan mencegahkemungkinan intervensi.Sedangkan Kompas, dalam tajuk (28/2) mengambil topik KKN dan mark up.Mengutip analis InterCafé IPB Bogor danBappenas, koran sangat berpengaruh ini,menyebutkan bahwa budaya KKN belumberubah, seperti penggelembungan pengadaan barang yang masih terus berlangsung. Kompas menyebutkan, denganperilaku destruktif seperti itu, sangatlahsulit untuk bisa membangun negeri ini.Kini, negeri ini sedang menghadapisebuah lingkaran setan (vicious circle),padahal yang dibutuhkan putaran rodauntuk membuat perekonomian bisamenggelinding kembali.Koran sore, juga Suara Pembaruandalam tajuknya (28/2) juga mengambiltopik penggelembungan anggaran belanja(mark up), mengutip hasil analisis InterCafe. Kajian InterCafe terhadap dokumenDaftar Isian Pelaksanaan Anggaran(DIPA) menyebutkan, terjadi penggelembungan anggaran hingga Rp120 triliun,atau 200-300% di atas harga pasar. Penggelembungan itu dilakukan pada belanjabarang oleh kementerian dan lembaganegara dalam kurun 2004-2006. Padaperkembangannya, praktik mark upseolah menjadi budaya. Tindakan ituseakan-akan bukan lagi sebuah kejahatan.Menurut SP, disitulah titik krusial,manakala sebuah tindakan kriminaldianggap sebagai budaya. Artinya, orangtidak lagi takut atau malu melakukannya.Rendahnya tingkat kesejahteraan aparatdi tengah beratnya beban ekonomi, selalumenjadi alasan pembenaran. SP berharap,pemerintah mampu menetapkan paguanggaran yang jelas untuk setiap komponen belanja didasarkan pada nilaikewajaran. Sehingga menjadi panduanbagi pelaksana anggaran, untuk mengeliminasi mental mark up kalanganaparat pemerintah. „ MK, SHT
                                
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63