Page 25 - Majalah Berita Indonesia Edisi 39
P. 25
BERITAINDONESIA, 07 Juni 2007 25BERITA UTAMALebih jauh, Marwan mengharapkanadanya solusi yang lebih komprehensif.“Jangan sampai kita hanya membangunkanal, tapi mengabaikan pembangunansumur resapan, mengabaikan pembangunan situ, dan mengabaikan ruang terbuka hijau. Kalau hanya kanal yang kitaaddress, kita punya masalah nanti kedepan airnya dari mana. Jangan sampainanti seperti Singapura air mereka tergantung dari Malaysia,” tandasnya.Solusi KomprehensifPada dasarnya, Marwan menyatakansangat setuju dengan pembangunan kanal, sebagai satu bagian dari pengelolaanair, namun belum komprehensif. “Bahwakita perlu bangun kanal. Oke! Mungkin itusalah satu. Tapi bukan berarti kanal inisebagai salah satu solusi terbaik, tidak,”katanya. Menurutnya, semua faktorfaktor penyebab banjir harus di-address.“Kalau kita memang mau menahan airdengan penghijauan, itu harus dilakukan.Kalau selama ini ada yang namanya situ, ituharus disiapkan. Kalau sungai luas dandalamnya harus sekian, itu harus dilakukan.Kalau memang air datangnya cuma dalamwaktu tiga empat bulan yang banyak, harusdisimpan karena kita akan menghadapimasa kemarau yang mungkin panjang. Kitaharus punya reserve,” katanya sembarimenyebut pendataan faktor-faktor penyebab banjir sebagai solusi komprehensif.Oleh sebab itu, tambahnya, seandainyasitu yang selama ini sudah ditutup, itu perlu dibuka lagi, ya dibuka, gedungnya dirubuhkan. Daerah aliran sungai (DAS) yangselama ini sudah digunduli harus ditanami.Termasuk, kalau kita perlu membangundanau di daerah hulu harus dilakukan. Danmasyarakat sendiri, membangun sumursumur resapan harus dilakukan.Dalam hal ini ia mengingatkan, banyaknya penggundulan hutan telah membuatwaduk-waduk untuk PLTA bermasalahkarena debit airnya berkurang dan terusberkurang. Ini sama saja dengan air. Kalau nanti sudah tidak ada lagi yang hijauatau daerah Puncak yang menjadi hulubagi 13 buah sungai yang mengalir keJakarta sudah tidak hijau lagi, maka airtidak tertahan lagi dan langsung terbuangke laut. Dengan demikian, kita akanbermasalah dengan air minum.Ia lebih lanjut menjelaskan, kalau nantimembangun kanal, lalu kita biarkan jugapenggundulan hutan, ya… itu tidak bisa.Artinya, jangan gara-gara kita sudahmembangun kanal lalu tidak memperhatikan bahwa daerah itu tidak bolehditebang. Itu juga tidak bisa, kan? Harussemuanya, termasuk ruang terbuka hijau,tidak hanya berguna untuk resapan airsaja tetapi juga menjadi paru-paru kota.Jadi banyak hal, katanya.Untuk mendapat solusi yang komprehensif, tambah Marwan, semua masalahharus di-address. Kita tidak cuma bicaraBanjir Kanal Timur (BKT) dan normalisasi sungai, pembuatan situ. Tetapi termasuk ruang terbuka hijau harus ditambah.Situ yang tadinya jumlahnya ratusan, sekarang tinggal puluhan, itu harus dikembalikan sebagian besar. Daerah JakartaUtara yang sekarang mungkin menjadimal, menjadi ruko, harus dikembalikan.Saat ditanya, bagaimana pembiayaan dari pengelolaan air di wilayah Jabodetabek,Marwan mengungkapkan hal itu sudahpernah dibicarakan dalam diskusi lintasprovinsi, yakni Pemda DKI, Banten, danJawa Barat, lalu ada DPD DKI, DPDBanten, dan DPD Jawa Barat. Masing-masing mempresentasikan programnya. Biayakeseluruhannya kira-kira Rp 17 triliun.Dari seluruh biaya itu, menurut Marwan alokasi terbesarnya adalah untukBKT, diikuti normalisasi sungai (berupapengerukan sungai, pelebaran, pengurukan, pembuatan benteng dan tanggul), danselanjutnya pembuatan situ-situ. Namunia tidak persis mengetahui apakah danaRp 17 triliun sudah termasuk melakukanpenghijauan di hulu sungai dan membuatsumur-sumur resapan, mungkin jugabelum. “Tapi yang besar-besar yang sudahdimasukkan,” katanya.Payung Hukum dan EnforcementSisi yang tidak kalah pentingnya daripengelolaan air di Jabodetabek, menurutMarwan Batubara adalah payung hukumdan penegakan hukum itu sendiri. “Yangjuga penting adalah masalah enforcement,” tandasnyaIa mencontohkan, kalau memang satugedung harus dirubuhkan, karena tadinyaitu adalah tempat resapan air, situ, ya sudahlah, rubuhkan. Jangan sampai nanti,karena berhadapan dengan jenderal ataukonglomerat yang dibeking oleh aparat,lalu ini tidak dilaksanakan.Oleh karena itu, tambahnya, kalau nantidi Puncak sana yang namanya vila-vilaharus dihijaukan, ya harus dijalankan siapapun yang punya vila itu. Makanya harus adayang tertinggi dan siapapun tidak adapengecualian, harus bisa menerima.Ditanya tentang payung hukum pengelolaan lingkungan Jabodetabek, Marwandengan tandas menyatakan tidak cukuphanya dengan Peraturan Daerah (Perda)tapi Peraturan Pemerintah (PP) atauKeputusan Presiden (Keppres), karenamenyangkut lintas provinsi, di manaperan pemerintah cukup menonjol.Kalau perlu di tangan Presiden, sebagaiinstitusi yang paling tinggi, jadi harus setaraKeppres atau PP. Jika tidak, kelak ada kaitannya dengan lintas provinsi, bupati ataukabupaten Bogor, Bekasi, Tangerang tidakakan mau tunduk kepada Gubernur DKI.“Karena itulah supaya dasar hukumnyakomprehensif sebagai acuan untuk mengaddress masalah banjir, harus dikeluarkanoleh pemerintah pusat, oleh yang memangbenar-benar powerfull, mempunyai wewenang yang kuat supaya aturan atau PP bisadijalankan secara konsisten,” tandasnya.Ditanya kemungkinan menggunakan payung hukum Undang-undang (UU), Marwan menyatakan tidak melihat apakahmemang perlu sampai dibuat UU-nya.“Seandainya dengan PP, sepanjang PPdisepakati oleh ketiga provinsi, didukungoleh pemerintah dan DPR, itu saya kira bisasaja,” katanya sembari menegaskan sikapnya yang tidak terlalu mempermasalahkanapakah Undang-Undang atau PP.Menurutnya, yang penting, seandainyapun itu cuma PP, toh itu berlaku secaranasional, dimana orang daerah harus tunduk. PP mungkin cukup supaya tidak terlalu meluas, lebih cepat, lebih fleksibel,tapi juga punya aspek untuk mengaturyang sifatnya lebih nasional. HT, MHMarwan Batubara.

