Page 32 - Majalah Berita Indonesia Edisi 40
P. 32


                                    32 BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006BERITA KHAS32 BERITAINDONESIA, 21 Juni 2007Nikmat MembaKetika Menteri KeuanganSri Mulyani (10/5)mengatakan keadaansekarang mirip dengankondisi Asia sebelum tahun1997, banyak orang yangmenanggapinya sebagaipernyataan yangmengejutkan. Padahalfaktanya, pernyataan ituhanya sebuah pembenaranpendapat para pakar danbanyak pembahasan dimedia massa.acana yang acapkali dikemas Majalah Berita Indonesia yang mengarahpada perlunya pemerintahmemberi perhatian khusus terhadapbubble economy (ekonomi busa). Majalahini sekaligus mengingatkan perlunyasikap hati-hati dari pemerintah di dalammengelola kebijakan moneter, sehinggaaliran investasi portofolio tidak sampaimenimbulkan fenomena ekonomi busa.Pernyataan Sri Mulyani bukan ataskehendaknya sendiri, tetapi merupakansaripati dari hasil pembahasan paramenteri keuangan Asia di Tokyo, beberapa hari sebelumnya. Ironis, bilamanapemerintah menyalahkan Sri Mulyanisembari meyakinkan fundamental ekonomi Indonesia sekarang cukup kuatdibandingkan tahun 1997.Asumsi pemerintah yang menyebutkanfundamental ekonomi Indonesia kuat masih perlu diperdebatkan. Yang jelas, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat rendah karena hanya didorong oleh konsumsi.Ekspor yang terkesan tinggi, hanya dilihatdari nilai yang tinggi akibat naiknya hargasejumlah komiditi. Sedangkan volumenyamasih rendah, sehingga belum cukupsignifikan untuk mendorong pertumbuhanekonomi. Pengangguran menggunungkarena sektor riil tidak bergerak. Danjumlah penduduk miskin cukup tinggi,karena sulitnya memperoleh lapangankerja dan menaikkan pendapatan.Sebenarnya, yang paling mirip dengankeadaan tahun 1997 adalah penyangkalanpemerintah terhadap keadaan yang sesungguhnya. Dulu, pejabat-pejabat pemerintahan selalu bersikukuh menyatakanfundamental ekonomi Indonesia kuat,karena tingkat pertumbuhannya yangsangat tinggi, yaitu 8,2% pada ProdukDomestik Bruto (PDB). Faktanya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidakberarti apa-apa lantaran risiko keuanganyang tercipta dari utang luar negeri yangsangat besar. Tak pelak lagi, pertumbuhanekonomi yang tinggi terjun bebas hinggaminus 14%. Dan yang lebih tragis, setelah10 tahun, perekonomian Indonesia belumjuga bangkit kembali.Drama Krisis 1997Pemicu krisis tahun 1997 dan sekarangini kemungkinan besar tidak sama. Tetapimuaranya mengerucut ke arah krisisfinansial; goncangan nilai tukar dankelangkaan permodalan. Krisis tahun1997 merupakan efek domino yang ditimbulkan kejatuhan bursa saham Thailand,yang kemudian merembet ke Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Indonesia,hingga seluruh Asia, Eropa, dan AmerikaSerikat. Hulu dari semua itu adalah fundamental perekonomian yang rapuh ditengah-tengah tingginya tingkat korupsidi negara-negara Asia, khususnya AsiaTenggara.Dengan kredibilitas yang rendah, goncangan kecil sekali pun dapat memicu ketidakpercayaan investor, sehingga merekamembawa kembali modalnya keluar dariseluruh instrumen investasi portofolioyang ada. Pelarian modal ini merupakansatu langkah awal memasuki krisis finansial, karena memicu ledakan permintaandolar AS sehingga menekan nilai rupiah.Sebab, seluruh investasi yang masuk keIndonesia dirupiahkan, kemudian didolarkan kembali ketika dibawa pulangoleh para investor asing.Ketika terjadi lonjakan permintaandolar AS untuk membayar utang luarnegeri, baik utang pemerintah maupunswasta yang sudah jatuh tempo, makanilai rupiah pun otomatis anjlok. Kursrupiah terhadap dolar yang tadinya hanyaberkisar 2.300 sampai 2.500, terjun bebaske angka Rp 16 ribu, dalam Januari danFebruari 1998.Dampak lanjutannya, semua hargaharga terkoreksi. Harga-harga komoditibarang manufaktur yang memiliki komponen luar negeri (diimpor dengan satuanharga dolar AS), melambung setaradengan apresiasi nilai dolar AS. Di satusisi, kondisi ini menekan daya beli, dan disisi lain, menekan kinerja sektor industri.Lesunya sektor industri tidak hanya disebabkan oleh rendahnya daya beli, tetapijuga melambungnya harga-harga bahanbaku impor akibat apresiasi nilai dolar AS.Soalnya, kinerja perindustrian sangat tergantung pada komponen impor, sehinggakenaikan harga bahan baku dan bahanbaku penolong, sangat memengaruhikinerja sektor industi. Namun demikian,kenaikan harga baru pukulan pertama.Pukulan berikutnya, dan yang palingdahsyat, hilangnya kepercayaan perbanWPemicu krisis financial yang paling dahsyat sangat mungkin datang dari Bursa Efek Jakarta.
                                
   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36