Page 21 - Majalah Berita Indonesia Edisi 59
P. 21
BERITAINDONESIA, 29 Agustus 2008 21BERITA UTAMAroses demokratisasi di Indonesiabelum sepenuhnya taat azas. Paraelit politik tampaknya telah memainkan politik dagang sapi padaproses legislasi Undang-Undang Nomor10 Tahun 2008 tentang Pemilu AnggotaDPR, DPD, dan DPRD. Terutama mengenai electoral threshold dan parliamentarythreshold bagi partai politik (Parpol) untuk berhak menjadi peserta Pemilu.Undang-Undang Nomor 10Tahun 2008 itu telah menganulir ketentuan electoralthreshold yang diatur dalamUU Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilu DPR, DPD, danDPRD. UU Nomor 12 Tahun2003 telah menetapkan electoral threshold 3%. Kemudianseolah diperkuat dalam UUNomor 10 Tahun 2008 Bab Ketentuan Peralihan Pasal 315,tentang parliamentary threshold (3% kursi DPR, atau 4%kursi DPRD Provinsi atau 4%kursi DPRD Kabupaten/Kota).Namun, dalam Pasal 316ayat d ketentuan electoralthreshold dalam UU Nomor 12 Tahun2003 dan parliamentary threshold dalamPasal 315 UU Nomor 10 Tahun 2008, itudianulir dengan ketentuan bahwa bagiParpol peserta Pemilu 2004 yang tidakmemenuhi parliamentary threshold yangdiatur dalam Pasal 315 dapat mengikutiPemilu 2009 apabila memiliki kursi diDPR RI hasil Pemilu 2004.Ketentuan peralihan ini membuatsembilan Parpol peserta Pemilu 2004yang tidak lolos electoral threshold danparliamentary threshold mendapat freepass menjadi peserta Pemilu 2009. Yakni,Partai Bintang Reformasi (PBR), PartaiBulan Bintang (PBB), Partai DamaiSejahtera (PDS), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Karya PeduliBangsa (PKPB), Partai Persatuan Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Pelopor,Partai Nasional Indonesia Marhaenisme,dan Partai Persatuan Demokrasi Indonesia (PPDI).Munculnya pasal penelikung electoralthreshold (ET) dan parliamentary threshold (PT) ini tidak terlalu salah bila dilihatsebagai fenomena politik akal-akalan paraelit politik di DPR. Sepertinya merekatidak peduli pada filosofi dan semangatyang dianut pada UU No.12/2003 untukpenyederhanaan partai melalui penerapan electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT). Filosofi dansemangat ini dianulir begitu saja sehinggaInkonsistensi Electoral ThresholdTelah terjadi inkonsistensidalam hal penerapan electoral threshold dan parliamentary threshold padaPemilu 2009. MahkamahKonstitusi mengabulkangugatan uji materi sejumlahpartai.menjadi tidak bermakna.Akal-akalan politik dagang sapi juga terlihat dari kerancuan mengenai ketentuanelectoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT). Di satu sisi (Pasal 315)ada semangat dan keinginan pembatasanpartai peserta Pemilu, namun di sisilain(Pasal 316d) justru sengaja diperlonggar dengan hanya memiliki kursi di DPR.Dengan adanya inkonsistensi dan ketidaktaatasasan yang dilakoni dengan caracara kompromi seperti itu, justru dikuatirkan juga akan menjadi preseden burukyang menisbikan semangat pemberlakuanET dan PT pada Pemilu 2014 nanti. Jikademikian, penentuan ET dan PT dalamUU untuk Pemilu berikutnya rasanyamenjadi tidak bermakna. Inkonsistensipara politisi itu akan memperburuk prosesdemokratisasi yang taat asas dan substansial, karena berpotensi (preseden) terjebak pada fragmentasi politik di parlemen sebagaimana terjadi saat ini.Di samping itu, penyelenggaraan Pemilu 2009, juga akan tercatat dalam sejarahmemiliki catatan buram. Dikabulkannyagugatan pengujian pasal 316d UU No.10tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi(MK) oleh tujuh Parpol peserta Pemilu2004 yang tidak memiliki kursi di DPR,yaitu, Partai Buruh Sosial Demokrat,Partai Sarikat Indonesia, Partai Merdeka,Partai Patriot Pancasila, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan dan Partai Persatuan Daerah, akan menjadi cacat penyelenggaraan Pemilu 2009.MK, secara sengaja atau tidak barumengabulkan gugatan itu beberapa harisetelah KPU menetapkan Parpol pesertaPemilu 2009. Sementara, keputusan MKitu dinyatakan tak berlaku surut. SehinggaKPU merasa tidak perlu mengubah keputusannya tentang penetapan Parpol peserta Pemilu 2009 tersebut.Beberapa pendapat munculmenanggapi keputusan MKtersebut. Direktur EksekutifCenter for Electoral Treshold(Cetro), Hadar Gumay menilai putusan MK itu sia-sia.Sebab, putusan MK tersebutbiasanya tidak bisa berlakumundur. Menurut Hadar,MK adalah pihak yang patutdipersalahkan, karena MKsudah mengetahui jadwalproses tahapan Pemilu 2009.Sementara, di lain pihak,katanya, KPU juga yang terkesan tidak mau menunggu,tidak bisa disalahkan secarasepihak.Menurut Hadar, agar putusan MK itutidak sia-sia dan dan tidak ada pihakpihak yang merasa dizalimi, sebaiknyaKPU meloloskan empat parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos electoraltreshold. Yakni Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia, PartaiMerdeka, dan Partai Nasional Ulama Indonesia.Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita berpendapat, KPU seharusnyatunduk pada putusan MK yang membatalkan Pasal 316 d UU No 10/2008 itu. Menurut Ginandjar, keberadaan MK ituadalah untuk menjaga konstitusi dannegara harus menaati keputusannya.Ginandjar berpendapat, jika Pemilu 2009dilaksanakan berdasarkan UU yang cedera, maka hasil akhir dari proses berdemokrasi itu juga akan merepotkan dikemudian hari.Menurut Ginandjar, ketersediaanwaktu yang sudah terlalu sempit juga tidak bisa dijadikan alasan bagi KPU untukmenutup kesempatan partai-partai yangseharusnya berhak mengikuti Pemilu2009. Sebab pemerintah bisa saja mengatasinya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perppu) sehingga tidak adaalasan lagi untuk menafikan keputusanMK tersebut. BIPfoto: repro republika