Page 31 - Majalah Berita Indonesia Edisi 65
P. 31


                                    BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006 31BERITA KHASBERITAINDONESIA, Maret 2009 31Pentingberisi ajakan untuk memilih.Nyaris tidak bisa dipahami bagaimanareklame itu bisa menjadi “media” untuk lebihmengenal siapa- bagaimana-mengapa sampai wajah itu yang musti terpampang di sana,dan mengapa kita harus mempertimbangkannya. Seperti tak ada musabab, tapikesimpulannya sama: Pilihlah dia…Dalam buku Media Power in Politicskompilasi milik Doris Graber diungkapkankasus paling ceroboh dalam atribut kampanye adalah yang tidak mampu menyiasatinya sebagai iklan, media yangserius. Graber menemukan sejumlah kasuspemilihan di sejumlah negara AmerikaLatin yang pamfletnya “tidak dewasa”karena hanya mengandalkan wajah tokohsebagai fokus informasi. “Pemilihan umumbukanlah permainan anak di bawah umur,meskipun di negara berkembang dengantataran ekonomi rendah dan sedang. Jadiiklan pun harus dewasa …,” tulis Graber.Dari sisi konsep, iklan caleg kita iturata-rata ingin memperlihatkan sosoknyadan bagaimana pentingnya si caleg itu.Bagi yang melihat tak ubahnya sepertiobyek penderita, hanya berhak melihatdan berkewajiban memilih. Para pengiklan “merasa” lebih tinggi derajatnya dariyang melihat. Padahal kalau merekaterpilih nantinya justru akan bekerja danmengabdi untuk masyarakat.Atribut berupa spanduk banner danbaliho yang tidak mempunyai spirit “abdidalem” hanya akan menimbulkan kejenuhan target audience. Celakanya lagibelum bisa “memanusiakan” bagi calonpemilihnya.Pendidikan PolitikSebagaimana fungsi iklan, atributkampanye terutama iklan kampanyecaleg, adalah persuasif yang bersifat intimate. Dia yang terpampang itu adalahwakil dari pemilih di wilayahnya. Semakindekat caleg-nya, akan menunjukkansemakin tinggi presentase keterpilihan diwilayahnya. Bukan sebaliknya. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang sudah dekat. Ketika iklan caleg itu terpampang, yang melihat jadi merasa asing.“Banyak calon pemasang iklan mintanya yang kilat, tapi datang cuma bawauang muka. Nulis isi iklannya pas saat itujuga…” terang Tommy. Kebanyakan iklancaleg saat ini masih dalam taraf kenal muka, inget partainya, hapal nomornya,contreng gambarnya tanggal 9 April.Perkara selesai…Berkaitan dengan biaya yang tidaksedikit, ukuran media/atribut kampanyesering menjadi alasan bagi si permasangiklan. Alhasil tagline atau kalimat yangdisajikan begitu terburu-buru dan tandas.“Coblos A” atau “Pilih B” yang disertaisedikit janji dan program.Graber dalam buku yang sama justru telah membuktikan: yang diperlukan publikadalah “kalimat” mini yang melibatkancalon pemilih sebagai bagian dari kekuatan yang akan dipilih”. Seperti yangObama pernah lakukan dalam “Yes WeCan”, atau lima tahun lalu pasangan SBYJK menyuarakan “Bersama Kita Bisa”.Singkat, dan mencairkan jarak antarapemilih dan yang dipilih.Dari sedikit yang mampu mengelaborasiruang sempit pamflet dan banner-pun adayang “kreatif”. Kreativitas itu muncul darirasa tidak percaya diri yang besar. Ditemuisejumlah kasus para caleg yang memanfaatkan isu yang sedang hangat, namunmemberi kesan hipersensitif dan slapstik.Ada seorang caleg yang seakan berposedengan Obama, ada pula seorang calegyang berpose dengan kostum Superman.Yang sangat menggelikan ada seorang calegyang mengajak anaknya (yang seorang artisdangdut) untuk berpose.Menggunakan copywriting iklan yang sudah dipatenkan akan menimbulkan ingatandan kesadaran (awareness) yang kuat bagicalon pemilih. Namun kasus ini sangatriskan karena yang digunakan tadi menyangkut kaidah hak cipta. Yang nyerempet-nyrempet seperti “Apapun makanannya, coblosnya nomor….” Atau varian lainnya ada “Apapun minumannya, nyoblosnya harus….” , terdapat juga yang menulis“Apapun partainya, calegnya harus….”Khalayak langsung mudah mengingatiklan tersebut dengan sekali lihat. Tapi cara akal-akalan seperti ini tidak mendidikmasyarakat karena mengolah informasidari tagline “bekas” milik sebuah brandternama dan menjauhi kesan kreatif.Melihat gejala ini, praktisi periklananNugroho Nurarifin menjelaskan, “Calegsebagai “brand” harusnya sudah memikirkan elemen-elemen dunia periklanan.Kreatif bukan hanya asal main “guntingtempel” dari iklan yang sudah ada…”Dia menjelaskan juga bagaimana calonpemilih akan sangat mudah tersengatdengan iklan “tiruan” itu, tapi belum tentumemilihnya. “Saat melihat kampanye itukita menganalisa, meneliti dan menyelidiki kapasitas caleg-caleg tersebut. Tapi,saat mencoblos yang berperan itu otakkanan,” tambah Nugroho.Karena peran otak kanan itulah makaharusnya para caleg perlu memperhatikannilai “rasa”. Yang jangan dilupakan dalamotak kanan yang berperan besar itu adalahrasa empati, ego, sensitivitas dan simpati.Caleg sebagai brand masih mengejar efekkejut dalam penyebaran informasi, belummengkomunikasikan apa dan bagaimana“brand”-nya. Sebagai brand, caleg belummasuk dalam tataran awareness yangmengangkat tema krusial dalam konsepyang lebih jenial. Masih banyaknya iklanyang bersifat kejar setoran menjadikan target audience sebagai target marketingbelaka. Adu coblos paling banyak.Sekalinya ada caleg yang punya ide “gila”, akhirnya malah terjungkal. Sebut saja seorang caleg dari wilayah pilihan Jawa Tengah. Ia memasang spanduk sepanjang satu kilometer di sebuah jalan protokol. Uang yang dia keluarkan akhirnyaberakhir di tangan Satuan Polisi PamongPraja (Satpop PP) karena atributnyaharus segera diturunkan. Selain memangbelum memiliki izin resmi, dua lagi alasanyang mengganjal iklan “kreatif” tersebut.Spanduk satu kilometer yang dipasangitu dianggap mengganggu estetika kota.Selain itu, pemakaian kalimat (tagline/copywriting-nya) yang bertuliskan “Bambang Nyudonyowo” itu dianggap melecehkan pihak tertentu. (Yang dimaksud“Nyudonyowo” punya arti yang kira-kiranyumbang nyawa yang berkonotasi tumbal). Jadi, selain ‘kepanjangan’ (satu kilometer), spanduk itu dianggap mengganggu kenyamanan kota dan bisa menjadi pemicu perseteruan antar golongan.Munculnya iklan kampanye di mediamassa dan media alternatif seperti yangtelah dijelaskan di atas menunjukkantelah terjadi kerenggangan antara masyarakat pemilih dengan parpol dan caleg.Iklan baik di televisi maupun bannerdengan cetak digital printing di pinggirjalan memainkan peran dalam menjagaketerkaitan parpol dan caleg dengan calonpemilih. Melihat gejala ini, NugrohoNurarifin menambahkan, “Sudah saatnyacaleg yang beriklan tidak hanya sebatas‘minta dipilih’, tapi mulai menyebarluaskan informasi dan mengeratkan kembaliantara yang memilih dan yang dipilih.”Dan yang tak kalah penting lagi, tambahNugroho, iklan kampanye dan atribut haruspunya nilai pendidikan politik yang baik,dekat dengan pemilihnya, hidup, punya pointof contact yang jelas, estetik tapi memegangetika. “Bukan hanya adu pamer kekuatanmodal dalam berkampanye,” katanya.Berkampanye ala caleg masa kini masihdalam tataran sosialisasi, semacam ujicoba perkenalan caleg dengan calonpemilihnya. Para caleg baru berpikir iklanitu penting, tapi belum memikirkanbahwa berkomunikasi dengan calonpemilihnya juga sangat berharga.Iklan caleg masih sekadar mencarisensasi, boro-boro memikirkan esensinya, mencapai eksistensinya pun belum.Bahkan masih jauh dari adagium filsufRene Descrates, “Cogito Ergo Sum”, Akuberpikir maka aku ada… „ CHUS
                                
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35