Page 30 - Majalah Berita Indonesia Edisi 75
P. 30


                                    30 BERITAINDONESIA, April 2010 foto: reproBERITA NASIONALIsyarat Kegagalan RenumerasiKasus Gayus Tambunan mengisyaratkan kegagalan program remunerasi dalam meredam perilaku korup dalamtubuh pemerintah.abuh genderang untuk melawankorupsi terus dikumandangkan dilingkungan birokrasi pemerintah.Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah memberikan remunerasikepada para pegawai. Konon hal ini dapatmemperkecil praktek korupsi. Namun terkuaknya aksi makelar kasus di tubuh Polri dan Ditjen Pajak membuat masyarakatberpikir bahwa slogan untuk memberantas korupsi yang telah dihembuskan sejak reformasi hanyalah retorika belaka.Betapa tidak, Gayus HP Tambunan pegawai Ditjen Pajak golongan IIIA diduga melakukan tindak korupsi karena memilikidana di rekeningnya hingga Rp 28 miliar.Ini artinya, semangat reformasi yangditerapkan di lingkungan departemenkeuangan oleh Menkeu Sri Mulyaniternyata tidak terbukti. Banyak kalanganyang melihat kebijakan tersebut masihbanyak gagalnya memerangi korupsi. RoySalam peneliti Indonesia Budget mengatakan, reformasi birokrasi yang dibungkusdengan remunerasi tinggi dengan alasanuntuk meningkatkan kinerja, tidak bisajuga (diterapkan). Karena besarannya didasarkan pada struktur jabatan sehinggayang dominan adalah klasifikasi jabatan.Tidak melihat aspek lain, sejauh manaremunerasi berkorelasi positif dengankinerja. Sementara di sisi lain, ia mengungkapkan masih adanya budaya ‘uangjalan’ yang dilakukan oleh pegawai daridepartemen keuangan saat melakukanperjalanan ke daerah.Sedangkan Peneliti Senior LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) SitiZuhro berpendapat, hal yang lebih utamadalam reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir para pegawai negeri sipilsehingga memiliki pola pikir yang bersih,dan setia melayani masyarakat. “Kalaubelum membersihkan mindset-nya, kalaunggak ada, mindset melayani, digajiberapa ratus juta pun, hancur, jebol,”katanya di DPD (7/4/2010).Pengamat ekonomi Dradjad Wibowomenyebutkan bukti kebijakan remunerasiyang gagal mengurangi korupsi tersebut.Misalnya gaji di DPR, Bank Indonesia,Badan Penyehatan Perbankan Nasional,dan BUMN, tak kalah dengan birokratnegara maju, namun korupsi tak berhenti.Menurutnya terungkapnya kasus makelarpajak ini harus dijadikan momentum untukbersih-bersih, dengan melakukan kontrolinternal dan audit kekayaan pada pegawaidi tempat basah. Mulai dari Ditjen Pajak,Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen KeuanganNegara, dan pos di APBN seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP).Apalagi Indonesia menganut model selfassesment atau penentuan nilai pajak olehwajib pajak (WP) dalam bentuk surat pemberitahuan tahunan (SPT). Yang memilikikelemahan dimana pelaku Wajib Pajak(WP) menentukan nilai pajak lebih kecil.Selain itu, supaya para WP perusahaanlebih lancar mendapatkan restitusi, terpaksa membayar imbalan kepada petugaspajak yang berkisar 10-20 persen dari nilairestitusi. Hal ini dilakukan untuk menjagahubungan baik dengan petugas pajak.Selain itu, celah lain yang bisa digunakan untuk menekan para WP adalah padasaat melakukan pemeriksaan untukmenguji kebenaran SPT yang diisi WP.Kantor pemeriksa pajak (karikpa) berhakmemeriksa WP sewaktu-waktu. Bila WPdinyatakan kurang pajak, maka WP menyatakan banding atas hasil pemeriksaan.Celah inilah yang bisa dimanfaatkanpetugas pajak untuk menekan WP, risikonya lebih besar bila WP melapor ke atasanpemeriksa pajak.Di samping itu, juga banyaknya sengketa oleh para WP di pengadilan pajak yangmemungkinkan bisa dipermainkan antaraWP, aparat pajak, dan hakim. KetuaMasyarakat Profesional Madani IsmedHasan Putrodi menyebutkan di kalanganaparat pajak dikenal istilah peternakanwajib pajak. Dengan modus kewajiban WPdibayar 60% ke negara, 40% sisanya untukpetugas pajak dan diskon bagi WP.Sekarang yang menjadi pertanyaan,mengapa para makelar kasus yang tak lainadalah petugas pajak sendiri leluasamelakukan praktek tersebut. MahkamahAgung yang seharusnya mengawasi pengadilan kasus pajak melempar tanggungjawab dengan mengaku tidak bisa berbuatapa-apa. Alasannya, karena PengadilanPajak sebagai lembaga peradilan bernaung di bawah dua atap. Itulah yang dikeluhkan Ketua Mahkamah Agung (MA)Harifin Tumpa. Teknis peradilan di bawahnaungan MA dan administrasi menjadiurusan Kementerian Keuangan.Menurut Tumpa, MA hanya terlibatdalam pengesahan majelis hakim jika adapersidangan perkara pajak, sedangkanpenunjukan hakim dilakukan Kementerian Keuangan. Dengan kondisi tersebutsemakin memperburuk koordinasi yangberakibat sulit dilakukannya pengawasan.Oleh sebab itu, menurutnya perlu dibuatkan regulasi baru untuk menata peradilanpajak. Bahkan ada yang meminta agarsistem gaji di lingkungan kementerianyang memberikan remunerasi dicabutkembali, karena bisa juga membuat iriinstansi yang lain.Kasus Gayus Tambunan terang-terangan membuka kebobrokan di lingkunganPengadilan Pajak dan menjadi kesempatan untuk meninjau kembali program remunerasi di jajaran Pegawai Negeri Sipilatau PNS. Remunerasi didesain khususuntuk menghilangkan perilaku koruppada PNS namun melenceng dari cita-citaawal. Anggota Badan Anggaran DPR RIdari Fraksi Partai Golkar, BambangSoesatyo mengungkapkan, kasus GayusTambunan mengisyaratkan kegagalanprogram remunerasi dalam meredamperilaku korup dalam tubuh pemerintah.Presiden perlu mengoreksi kebijakanremunerasi ini agar tidak menjadi pemborosan anggaran. Apalagi jika programremunerasi yang dimulai di KementerianKeuangan tersebut akan diadopsi olehbeberapa kementerian dan lembaganonkementerian. „ SANT
                                
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34