Page 51 - Majalah Berita Indonesia Edisi 80
P. 51
BERITAINDONESIA, November 2010 51BERITA EKONOMIPerang Mata UangPerlombaan menurunkan nilai mata uang untukmendorong peningkatan ekspor dapat mengganggupertumbuhan ekonomi global.aat ini beberapa negara di duniaberlomba menurunkan nilai mata uangnya untuk mendorongpeningkatan ekspor negaranya.Maksudnya, dengan rendahnya nilai matauang negara tersebut, harga produk yangdijualnya tampak lebih murah. Hal inimenurut Direktur Dana Moneter Internasional, Dominique Strauss-Kahn dapatmenimbulkan perang mata uang di antaranegara-negara di dunia, perang yang bisamenghambat pertumbuhan ekonomi global.Isu perang mata uang ini pertama kalimenggelinding dipicu oleh nilai mata uangYuan, China yang dianggap terlalu rendahsehingga memunculkan protes dari berbagai pihak, bahkan mengakibatkanhubungan antara Amerika Serikat (AS)dan China sedikit tegang. AS sudahbertahun-tahun meminta China agarmelakukan evaluasi atas mata uangnyanamun tidak dihiraukan pemerintahChina. AS pun kemudian menuding Chinasengaja menahan mata uangnya tidakmenguat untuk melindungi ekspornya.Keadaan nilai mata uang Yuan saat inihampir sama dengan kondisi mata uangYen Jepang era tahun 80-an.Ketika itu,Yen dianggap terlalu lemah sehinggamembuat daya saing produk AS jugamenurun. Akibat gejala tersebut, tanggal22 September 1985, Jepang bersamapemerintah AS, Perancis, Jerman, danInggris sepakat menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Plaza Accord.Kelima negara tersebut sepakat untukmelakukan intervensi pasar denganmelibatkan bank sentral masing-masingdalam melakukan devaluasi nilai tukardollar AS, terutama terhadap Yen Jepangdan Deutsche Mark Jerman.Alhasil, intervensi dengan menggelontorkan uang hingga 10 miliar dollar AStersebut akhirnya membuat nilai tukardollar AS terhadap Yen melemah mencapai 51 persen dalam dua tahun setelahperjanjian Plaza Accord dilaksanakan.Namun, penurunan tersebut mengakibatkan penguatan mata uang Yen yang sangatsignifikan dan terlalu cepat sehinggamembuat daya saing produk ekspor Jepang menurun. Parahnya, pertumbuhanekonomi Jepang yang sebelumnya sebesar7,2 persen pada triwulan IV-1985 turunmenjadi 1,6 persen setahun kemudian.Sekarang ini, tren penurunan nilai matauang yang diistilahkan dengan “perangmata uang” ini tidak hanya dilakukanChina, tapi juga oleh Jepang, Brasil,Kolombia, Singapura dan Korea Selatan.Banyak pendapat menyebut, jika perangmata uang ini dibiarkan terus akan menggangu pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu, IMF sudah menyerukan agar pemerintah di beberapa negara tidak menggunakan nilai tukar mata uang sebagai alatuntuk mendorong peningkatan ekspor.Perang mata uang ini bukan hanyapersoalan dua negara, karena itu, seluruhnegara di dunia sama-sama berhati-hatimenanggapi dampaknya. Kelompok negara-negara yang tergabung dalam G-20misalnya, dalam pertemuan yang digelarpada 23-24 Oktober di Gyeongju, KoreaSelatan sudah besepakat menghindariperlombaan negara-negara memerosotkan mata uangnya untuk mendorongekspor.Mereka juga sepakat untuk menghindari proteksionisme dengan cara berlomba menurunkan mata uangnya jauh dibawah harga pasar untuk menghindarivolatilitas kurs tidak terlalu besar danmelindungi negara berkembang daridampak arus modal fluktuatif.Presiden Korea Selatan Lee Myung-bakyang menjadi tuan rumah dalam pertemuan tersebut menantang negaranegara G-20 agar dalam pertemuanpuncak yang dilangsungkan pada 11-12November bisa mendapatkan solusi atassengketa kebijakan pertukaran mata uangyang bisa memperberat perekonomiandunia. Menurutnya, jika setiap negaraberkeras pada kepentingannya selamatahap pemulihan ekonomi dan melakukanproteksionisme perdagangan, itu akandapat menimbulkan masalah sangat besardalam perekonomian dunia.Menimpali pernyataan Lee tersebut,Presiden Bank Dunia Robert Zoellickmengatakan, hal itu juga akan berujungpada pecahnya kerjasama internasionalyang bisa memicu ketegangan ekonomi.Sebagai konsekuensinya, pertumbuhanekonomi akan melambat dan angkapengangguran akan semakin tinggi.Untuk itu ia memberi saran, untuk mencegah kemungkinan terulangnya perangtarif seperti pada 1930-1940, sebaiknyaperang mata kurs ini diselesaikan melaluikerjasama global.Sementara itu, Presiden Bank SentralEropa (ECB) Jean-Claude Trichet melihatperang kurs sekarang ini bukan sematadisebabkan oleh skala apresiasi Yuan yangbelum memuaskan, tapi juga persoalandari negara-negara emerging yang memiliki surplus. Menurutnya, negara emerging juga perlu memperbaiki fleksibilitas,bukan hanya China. Ia juga berharap agarnegara-negara emerging ini tidak hanyafokus pada upaya pengumpulan asetcadangan devisa.Sejauh ini, kaitan persoalan ini denganIndonesia sendiri cukup besar. KeputusanAS yang mempertahankan kebijakanlonggar agar dolar AS tetap melemah,cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia karena membuat rupiah cenderung menguat, suatu kondisi yang tidakdiinginkan sekarang ini karena bisa menurunkan daya saing produk dalamnegeri. BS, JKSfoto: repro