Page 45 - Majalah Berita Indonesia Edisi 80
P. 45
BERITAINDONESIA, November 2010 45BERITA NASIONALsempat lolos dari tsunami akhirnya meninggal karena keterlambatan pertolongan.Di lain pihak, masyarakat setempat(warga Mentawai) juga tidak peka terhadapancaman tsunami. Seperti diberitakan, tsunami di Mentawai ini sempat terjadi dalamdua gelombang, setelah tsunami gelombangpertama banyak menelan korban, namunakibat ketidaktahuan masyarakat membuatkorban bertambah banyak pada tsunamigelombang kedua. Padahal seperti disebutkan di atas, kalau masyarakat sebelumnyatahu cara menghadapi gempa dan tsunami,mungkin jatuhnya korban yang begitubanyak tidak terjadi.Demikian halnya dalam peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Sejak ratusantahun lalu, masyarakat dan pemerintahsudah tahu bahwa gunung tersebut merupakan gunung aktif yang sewaktu-waktubisa meledak. Namun akibat kekurangpekaan pemerintah dan masyarakat,gempa pun akhirnya menelan korban jiwayang cukup banyak.Tidak terkecuali dengan bencana banjirdi Wasior. Korban jiwa yang demikianbesar seharusnya tidak perlu terjadi jikamasyarakat dan pemerintah sejak dinipeka melihat ancaman dari akibat letakgeografis pemukiman yang berada dibawah danau.Dari sekian banyak bencana yangterjadi selama ini, bangsa ini sebenarnyasudah cukup ‘kaya’ akan pengalamanmenghadapi bencana. Namun melihat bagaimana masyarakat menghadapi bencana dan bagaimana pemerintah melakukan penanganan seperti pada tiga peristiwa alam yang terbaru ini, tampaknyabencana yang sering terjadi selama inibelum bisa memberi efek pembelajaranapa-apa bagi bangsa ini. Terbukti, tanggapbencana baru dilakukan sesudah peristiwa terjadi. Seluruh otoritas baru bergegas dengan manajemen kedaruratanyang umumnya berlebihan.Bagi sebagian pengamat, tsunami Mentawai bahkan disebut merupakan bencanakebijakan. Pengetahuan selama ini disebut hanya berhenti pada level akal sehat,tidak memiliki kaitan apapun di levelkebijakan pemerintah. Sehingga setiapkali bencana datang, selalu kelabakan,kocar-kacir, keteteran, kaget, dan lambandalam mengantisipasi. Senang bereaksisetelah bencana terjadi, setelah itu melupakannya kembali hingga terjadi lagi bencana dengan jumlah korban jiwa yanglebih besar lagi.Khusus mengenai penanganan gempa,Ninok Leksono dalam artikelnya di harianKompas (29/10/2010) mengatakan,gempa adalah sosok yang menakutkanyang bisa menelan siapa saja tanpa pandang bulu. Setelah gempa Aceh (2004),Nias (2005), Yogyakarta dan Jawa Barat(2006), Bengkulu (2007), dan Padang,Sumatera Barat (2009), kemungkinanbencana untuk terjadi masih lebih besar,seperti letusan Gunung Super, tsunamiraksasa dan gempa bumi raksasa yangketiganya merupakan bahaya laten yangsiap mengancam Indonesia.Untuk itu menurutnya, pembelajaranseharusnya diperkuat dengan pelajaranilmu bumi di SD dan sekolah menengah,sehingga siswa mengenal tidak hanyakeindahan dan kekayaan Tanah Air, tetapijuga bahaya yang bisa mengancam. Perludilakukan pendekatan pemahaman akanbencana ke dalam benak para siswa,supaya sebelum bencana yang lebihdahsyat terjadi, masyarakat sudah siapmenghadapi.Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seperti dikatakan Herlina Amra dari Komisi VIII DPR,harus menggalakkan sosialisasi dan kesadaran masyarakat terhadap bencanaalam serta mensosialisasikan peta rawanbencana. “Jangan sekadar seremoni belaka, tapi dapat meningkatkan kesadaranmasyarakat terhadap alam sehingga bisamenimalisir korban,” katanya.Menurutnya, walau BNPB masih dibatasi oleh anggaran yang kecil, peralatan,transportasi dan kendala alat-alat janganmembuat BNPB sulit melangkah. Sepertidiketahui, dana cadangan pasca bencanayang dialokasikan dalam pos AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN)2011 mencapai Rp 4,9 triliun. Danatersebut akan dicairkan bila ada pengajuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).Seperti disebutkan sebelumnya, korbanpun sering semakin banyak berjatuhanakibat lambatnya proses evakuasi danmemberikan pertolongan pada korbanyang masih selamat. Cuaca dan sulitnyamedan untuk ditempuh sering dijadikankambing hitam. Kendala ini pada prinsipnya disebabkan oleh belum adanya standar prosedur dan kekuranglengkapanperlengkapan.Mengenai hal ini, Ketua Umum PPMuhammadiyah Din Syamsuddin misalnya mengatakan, keterlambatan pemberian pertolongan seharusnya tidakterjadi jika standar prosedur penanggulangan bencana nasional sudah dimiliki. Karena itu, menurutnya, Indonesiaharus memiliki standar penangananbencana yang cepat, tepat, dan bermanfaat karena Indonesia nyaris menjadinegara musibah.Sedangkan mengenai perlengkapan,khususnya sarana transportasi, Pengamatpenerbangan Dudi Sudibyo berpendapat,sebagai negara kepulauan, Indonesiamembutuhkan armada pesawat amfibiyang bisa mendarat dan tinggal landas diair untuk menjangkau daerah terpencilsebagai sarana tanggap bencana. Dalamsituasi normal, pesawat tersebut dapatdigunakan untuk angkutan penumpangdan barang di tempat-tempat terpencil.Selain beberapa hal disebutkan di atas,menurut Direktur Program Kemitraanuntuk Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, Emmy Hafild, instalasi jaringankomunikasi di daerah terpencil juga perludiperkuat. Pengalaman keterlambataninformasi kejadian di Mentawai menurutnya sebaiknya dijadikan momentumuntuk segera membangun tata kelola dantata laksana penanggulangan bencanayang baik, di mana sistem informasi dankomunikasi adalah bagian yang prinsipil.Sementara itu, pakar Geodesi dariInstitut Teknologi Bandung, HasanuddinZ Abidin berpendapat, sudah saatnyapemerintah lebih peduli dengan riset-risetkebencanaan dengan memasukkan studikebencanaan sebagai prioritas. BS, SITMentawai tampak dari udara setelah dilanda tsunami

