Page 55 - Majalah Berita Indonesia Edisi 85
P. 55


                                    BERITAINDONESIA, Desember 2012 55YBERITA HUMANIORAbuku dan alat tulis ke sekolah. Namun diera modern ini, sebagian dari merekamalah membawa pisau, clurit, golokbahkan samurai. Niatnya cuma satu,tawuran dengan sekolah atau siswa lain.Di kota-kota besar seperti Jakarta,Surabaya, dan Medan, tawuran seringterjadi. Data di Jakarta misalnya (BimmasPolri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157kasus perkelahianpelajar. Tahun1994 meningkatmenjadi 183 kasusdenganmenewaskan 10pelajar, tahun 1995terdapat 194 kasusdengan korban meninggal 13 pelajardan 2 anggota masyarakat lain. Tahun1998 ada 230 kasusyang menewaskan15 pelajar serta 2anggota Polri, dantahun berikutnyakorban meningkatdengan 37 korbantewas. Terlihat dari tahun ke tahunjumlah perkelahiandan korban cenderung meningkat.Bahkan sering tercatat dalam satu hariterdapat sampai tiga perkelahian di tigatempat sekaligus.Padahal kalau ditilik lebih dalam,tawuran bukanlah budaya Indonesia asli.Banyak cerita rakyat yang mengajarkansikap ksatria dalam menyelesaikan masalah. Misalkan cerita “si Pitung”, “Ajisaka”, “Arya Penangsang”, dan lain-lain.Dalam kisah pewayangan pun sebagianbesar cerita yang berkaitan denganpeperangan ditampilkan perang satulawan satu. Sedangkan tawuran samasekali jauh dari sikap kepahlawananseperti dalam cerita-cerita rakyat tersebut.Pasca tawuran antara pelajar SMA 6Jakarta dan SMA 70 Jakarta yang menewaskan satu siswa tak berdosa akhir September 2012 lalu, publik dan pemangkukepentingan kembali ribut bahkan salingmenyalahkan. Sering dituduhkan, pelajaryang berkelahi berasal dari sekolahkejuruan, berasal dari keluarga denganekonomi yang lemah. Data di Jakartatidak mendukung hal ini sebab dari 275sekolah yang sering terlibat perkelahian,77 di antaranya adalah sekolah menengahumum. Begitu juga dari tingkat ekonomipara pelajar dimana sebagian pelajar yangsering berkelahi berasal dari keluargamampu secara ekonomi. Tuduhan laindibuat kerja sama lintas sekolah untuktidak menerima siswa yang melakukantawuran. Namun solusi ini dianggap bisamenimbulkan masalah baru. Siswa yangtidak diterima sekolah di-mana-mana itubisa stres dan makin berandalan.Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh dan Menteri Agama, Suryadharma Ali bahkan mengusulkan penambahan mata pelajaran agama di sekolah.Cara pemecahan masalah ini sama dengan yang dilakukan SMAN 70 Jakarta:siswa diberi pelatihan spiritual quotient(SQ) sebagai upaya memperkuatdimensi spiritualyang dapat mengontrol perilakuyang liar dan agresif.Namun bagi sejumlah pengamat,cara pemecahanmasalah ini jugamengundang tanya. Sebab pendidikan agama, spiritualitas, ataupendidikan karakter dipersepsikanmemiliki daya magis untuk mengubah perilaku. Padahal tidak ada jaminan bahwa ‘mengetahui’ yang baik pasti ‘melakukan’ yang baik pula. Antara ‘tahu’ dan‘melakukan’, bisa menjadi dua hal yangberbeda.Begitu pula dengan solusi-solusi yangditawarkan lebih bersifat reaktif dan tidakkomprehensif. Ada banyak faktor pemicukekerasan seperti pewarisan kekerasan internal (dari senior ke yunior), ketidaktegasan sanksi terhadap pelaku tindakkekerasan, terbatasnya sarana publikyang dapat menampung dan menyalurkanenergi berlebih para siswa, dan sebagainya. Banyak kalangan sependapatbahwa penyelesaian masalah harus menyeluruh, dan bukan menumpukkanbeban hanya kepada pendidikan karakteratau agama. Penyelesaian pun harusfleksibel mengingat perkembangan jamanyang semakin kompleks. „ royKetika Pelajar Menghunus PisauTawuran atau perkelahian antarpelajar terus terjadi setiap tahun. Penyebabnya kinisemakin kompleks seiring dengan perkembangan jaman.Era modern nampaknya tidak menjadi jaminan bahwa manusia punakan berpikir modern. Dulu,pelajar/mahasiswa membawajuga sering dialamatkan ke sekolah yangdirasa kurang memberikan pendidikanagama dan moral yang baik. Begitu jugapada keluarga yang dikatakan kurangharmonis dan sering tidak berada dirumah.Padahal penyebab perkelahian pelajarmasa kini tidaklah sesederhana itu lagi.Terutama di kota-kota besar, masalahnyasedemikian kompleks, meliputi faktorkeluarga, lingkungan, budaya, psikologis,juga kebijakan pendidikan dalam arti luas(kurikulum yang padat misalnya), sertakebijakan publik lainnya seperti angkutanumum dan tata kota.Belakangan muncul sejumlah alternatif pemecahan. Misalnya, sekolah mengeluarkan siswa yang ikut tawuran, atauKOMPLEKS: Penyebab perkelahian pelajar masa kini semakin kompleks meliputi faktorkeluarga, lingkungan, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas(kurikulum yang padat)
                                
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59