Page 29 - Majalah Berita Indonesia Edisi 97
P. 29
BERITAINDONESIA, Edisi 97 29BERITA EKONOMImampu mengimbangi pemain swasta.Sejak Reformasi 1998 atas desakan IMF sebagian BUMN strategis ini jatuh ke tangan swasta baik asing maupun nasional sehingga peran dan kehadiran negara dalam bidang perekonomian nasional semakin melemah. Bahkan sebagian perusahaan swasta besar yang terlibat skandal BLBl yang sebenarnya telah jatuh ke tangan pemerintah tanpa paksa atau tanpa tindakan nasionalisasi justru dijual kembali dengan harga murah kepada swasta karena semangat privatisasi yang berlebih-lebihan. Contoh nyata adalah Bank BCA dan Bank Niaga yang telah sempat dimiliki negara (melalui BPPN) dijual murah kepada swasta, bukannya dipertahankan sebagai BUMN atau dijual kepada BUMN atau yayasan-yayasan karyawan/pensiunan BUMN. Inilah contoh keberpihakan yang salah karena negara selalu di pihak yang dirugikan.6. Penguasaan TanahTanah adalah aset yang amat strategis bagi kehidupan suatu bangsa. Ketimpangan la han di Indonesia termasuk yang amat buruk yaitu dengan Gini Ratio lahan pada angka 0,64 (tahun 2013). Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 sekitar 56% petani Indonesia adalah petani gurem yang miskin dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Karena itu pemerintah seharusnya tidak perlu ragu-ragu dalam penguasaan tanah, baik untuk pertanian, perkebunan, maupun perumahan rakyat. Dalam kenyataannya, semakin banyak porsi tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar yang perolehannya berasal dari negara. Pemerintah seharusnya bisa berperan agar tanah-tanah tersebut dimiliki rakyat melalui koperasi atau kelompok-kelompok masyarakat yang dikerjasamakan dengan BUMN/BUMD atau swasta seperti model inti dan plasma. Tetapi selama semangat para penyelenggara negara tidak mendasari kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak, pemerintah cenderung memilih jalan pintas yang tidak sejalan dengan jiwa dan semangat Pasal 33.Contoh-contoh implementasi kebijak an yang pada hemat kami menyimpang seperti di atas telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan yang meluas baik di bidang pendapatan, kepemilikan aset, akses pendidikan, akses kesehatan, akses memperoleh keadilan hukum, ketimpangan antar daerah, maupun kesenjangan pendapatan tenaga kerja di sektor formal dengan di sektor informal. Ketimpangan yang terpa rah nampaknya terjadi pada sektor keuang an-perbankan dimana menurut laporan OJK (2017) terdapat 50 konglomerasi yang menguasai lebih dari Rp.5.000 triliun atau 70% total aset sektor keuangan. Bandingkan dengan besarnya APBN 2017 yang hanya sekitar Rp.2.100 triliun. Sedangkan dari sektor kepemilikan rekening perbankan yang meliputi 198 juta rekening, 0,04% rekening menguasai 40% dari total simpanan di perbankan. Sementara 98% rekening hanya menguasai 14% dari total simpanan (LPS 2017). Keberpihakan vs EfisiensiSebelumnya Fuad Bawazier menjelaskan makna prinsip keberpihakan versus prinsip efisiensi ekonomi kapitalis. Fuad mengatakan sesuai dengan amanat Pasal 33 yang menganut paham pasar terkendali dengan pemain utamanya negara baik secara langsung maupun melalui BUMN/BUMD, koperasi dan swasta, alokasi sumber daya ekonomi digerakkan oleh paham keberpihakan. Dalam prinsip keberpihakan itulah alokasi resources dijalankan seefi sien dan seefektif mungkin dengan selalu mengutamakan aspek pemerataan.Prinsip keberpihakan sebagaimana yang nyata ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 ini berbeda dengan sistem ekonomi pasar kapitalis yang alokasi sumber daya ekonominya menganut paham efisiensi. Prinsip efisiensi dalam alokasi sumber-sumber ekonomi menginginkan terbentuknya harga barang dan jasa yang semurah-murahnya. Untuk mencapai tingkat efi siensi yang maksimal itu antara lain digunakanlah teori-teori skala ekonomi, yaitu semakin besar produksi semakin murah harganya atau biaya produksinya. Mazhab ini percaya bahwa produksi besar-besaran ha nya dapat dilakukan oleh perusahaan (kapitalis) besar. Dalam perjalanannya atau prosesnya, lahirnya perusahaan-perusahaan raksasa telah menjelma menjadi monopolis, oligopolis atau kartel-kartel dagang yang mencari keuntungan tidak wajar atau mencekik konsumen. Dalam beberapa situasi tertentu kekuatan kartel acapkali dijadikan senjata politik menekan pemerintah untuk maksud dan tujuan atau kepentingan tertentu.Paham efi siensi (bukan keberpihakan) itulah yang selama ini menghalang-halangi bangsa Indonesia memproduksi sepeda motor nasionalnya sendiri. Begitu pula nasib mobil nasional yang tidak pernah terwujud karena ketiadaan prinsip keberpihakan kepada bangsanya sendiri. Ini berbeda dengan RRC yang meskipun awalnya mengijinkan (mengundang) investasi asing untuk memproduksi mobil/motor dan barang-barang kapital, tetapi dengan pengaturan yang ketat termasuk transfer teknologi nya, Cina dalam waktu yang relatif singkat mampu memproduksi sendiri, menguasai pasar dalam negerinya dan bahkan mampu mengekspor