Pendobrak Batas dalam Perubahan

Melanita Pranaya
 
0
205
Melanita Pranaya
Melanita Pranaya | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Di antara teman-temannya, Melanita Pranaya Budianta (51) dikenal sebagai pribadi sederhana, rendah hati, dan selalu mau bertanya. “Banyak hal yang tidak saya ketahui di luar pengetahuan yang saya pelajari. Banyak kenyataan di lapangan yang sama sekali berbeda dari teori,” ujar Melani, yang ditemui Kamis (2/2/2006) di kantornya.

Di bagian akhir pidato ilmiahnya Meretas Batas: Humaniora dalam Perubahan saat pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) akhir pekan lalu, Melani mengakui keterbatasan, yang sejatinya merupakan langkah awal pengembangan ilmu.

Perjalanan saya menjadi guru besar diawali oleh pengalaman kegagalan mengajar yang fatal,” kenangnya.

Ketika baru dua semester menjadi mahasiswa Jurusan Inggris Fakultas Sastra UI tahun 1970-an, ia membantu para biarawati Ursulin menjadi relawan untuk mengisi waktu luang anak-anak kampung di bilangan Tanah Abang. Di situ ia bertemu Ahyar, anak jalanan yang lincah, cerdik, tetapi susah diatur.

Suatu sore ketika teman-teman Ahyar berlomba memberikan karangan kepada Melani, Ahyar datang dengan secarik kertas diisi deretan kata-kata tanpa aturan, penuh bercak keringat. Dengan bangga Ahyar memamerkan karyanya. Teman-temannya tertawa, tetapi Melani bingung.

“Mungkin karena baru lulus kuliah Komposisi Bahasa Indonesia, saya tidak bisa menempelkan karya itu. Ketika Ahyar menanyakan mengapa, saya menguliahinya. Ahyar, yang mungkin semalaman menulis mahakaryanya di terang lilin dengan pensil pinjaman, terdiam. Lalu pergi dan tak pernah kembali.”

Bagi Melani sekarang, Ahyar adalah “yang lain”, yang tak mampu ia jangkau. “Ia adalah titik kelemahan dan sekaligus nurani saya. Ia selalu mengingatkan keterbatasan saya, menohok saya kalau arogansi ilmu pengetahuan yang bergengsi mulai mengalahkan saya. Ia mengingatkan saya seorang guru besar harus selalu menjadi guru kecil…”

Bagaimana “yang lain” itu memengaruhi pemikiran Anda?

Di tempat saya mengajar itu juga ada anak bernama Dini. Umurnya delapan tahun. Ia paling rajin datang untuk membaca dan belajar sambil menggendong adiknya. Suatu hari pada bulan Puasa, ketika semua sudah pulang dan saya sedang mengemasi buku-buku saya, Dini bertanya, “Tante Suster orang apa sih? Orang Kristen atau orang China?

Saya bingung. Itu salah kategori, tetapi saya enggak tahu cara ngomongnya. Namun, pertanyaan itu terus berproses di dalam diri saya. Setelah menjadi doktor, seorang teman aktivis bertanya disertasi saya tentang apa. Saya bilang, “Stephen Crane”. Judulnya The Representation of Otherness in Meaning. Dia bertanya apa gunanya itu untuk masyarakat kita. Waktu pengukuhan guru besar, saya tanyakan padanya apa pertanyaan dia dulu sudah terjawab.

Advertisement

Kalau saya harus menjawab pertanyaan Dini sekarang, saya akan mengatakan, “Tidak penting saya Kristen atau China atau keduanya; tidak penting kamu berbeda suku, bahasa, atau warna kulit dengan saya, tidak penting kita sama atau berbeda agama. Manusia berarti bukan karena itu semua, tetapi karena hati dan perbuatannya.”

Saya tidak tahu apakah khotbah romantis semacam itu cukup untuk menghentikan kecurigaan. Tetapi, saya membayangkan senyum lega tersungging di bibir Dini.

Apakah keetnisan Anda ikut memengaruhi lahirnya kegelisahan itu?

Saya rasa ada pengaruhnya. Ayah saya seorang nasionalis, Ketua Partai Katolik, aktif dalam kegiatan sosial. Proses mengetahui bahwa saya dilahirkan sebagai orang China didapat dari lingkungan. Ketika berproses itu saya menjadi seorang rasis. Ini baru saya sadari kemudian. Saya merasa seorang nasionalis, tetapi saya ditolak karena kechinaan itu. Saya jadi membenci China. Ada self-hatred, tanpa menyadarinya. Padahal ayah sudah mengajari kami untuk tidak menyalahkan, tidak sakit hati, tidak benci dikatai China. Ini adalah proses sejarah.

Waktu kecil saya tidak suka kalau ada orang bicara dalam bahasa China, apalagi kalau keras-keras di depan umum. Teman-teman saya di SD tidak ada yang percaya di rumah saya berbahasa Indonesia, bukan berbahasa China, sebab mereka di rumah berbahasa Jawa. Saya baru menyadari ini setelah membaca karya-karya sastra, seperti Uncle Tom’s Cabin.

Mendobrak Batas-batas
Identitas, untuk waktu yang cukup panjang, tampaknya menjadi hal yang serius dalam kehidupan Melani. Saat hendak mengurus kartu keluarga, petugas kelurahan di Jakarta Selatan menanyakan kenapa suaminya, sastrawan Eka Budianta, tidak melengkapi surat-suratnya dengan surat ganti nama, K-1 dan seterusnya, yang berlaku bagi warga keturunan.

Melani mengatakan, semua itu tidak dibutuhkan karena suaminya tak pernah ganti nama. Ketika petugas itu tidak percaya bukan hanya karena wajah dan penampilan suaminya, tetapi karena di KTP-nya pada tahun 1980-an itu ada tanda kosong di antara angka-angka nomor KTP, Melani “berjuang” mencari jejak spasi kosong itu.

Identitas tampaknya mudah digunakan untuk “meliyankan” dan menciptakan dikotomi-dikotomi…

Huntington mengukuhkan dikotomi-dikotomi itu dalam Clash of Civilization. Sekarang ini kita ikut mempertegas dan menginternalisasikannya. Kita berteriak anti-Barat. Apa sih Barat?

Ilmuwan Edward Said sudah lama mengingatkan bahwa Barat dan Timur hanya imajinasi. Tetapi, kita terus terjebak pada oposisi biner sehingga yang terus-menerus ditemukan adalah yang menjajah dan yang terjajah. Kita terus mengkritik patriarkhi, tetapi yang terus-menerus kita temukan adalah cara-cara yang patriarkhis.

Hubungan dikotomis adalah hubungan yang saling mengalahkan. Padahal “yang lain” itu sebenarnya menjadi tantangan untuk mengukur seberapa baik kita dapat menemukan makna dari perbedaan dan mencari kesamaan-kesamaan sebagai manusia dengan hati nurani.

Ilmu humaniora dan kerja budaya dapat mendobrak dikotomi-dikotomi itu. Seperti Jakoeb Soemardjo, kritikus dengan latar belakang budaya Jawa yang menetap di Bandung dan meneliti kesusastraan dan kesenian Sunda. Atau cerita klasik anak-anak Si Doel Anak Djakarta karya Datoek Madjoindo (1934) yang mampu mengaitkan diri dengan budaya yang lain dengan ringan, tanpa beban.

Bagaimana dengan multikulturalisme?

Multikulturalisme merupakan salah satu jalan damai, tetapi nyatanya kita tetap berkutat dengan identitas. Multikulturalisme yang digagas teman-teman dari cultural studies adalah yang melintasi batas, bukan primordialisme.

Kerja budaya dan ilmu humaniora menguakkan batas-batas keilmuan yang memagari perspektif kita sehingga kita dapat mengembangkan pendekatan lintas disiplin yang terus saling memperkaya. Krisis multidimensi membukakan mata kita bahwa pendekatan multidisiplin merupakan keniscayaan.

Bagaimana Anda mendobrak tembok batas pandangan ‘pohon ilmu’?

Cara berpikir monodisiplin yang tampak dari pengelolaan fakultas sebenarnya sangat berat. Kalau mau mengembangkan sesuatu masih ditentukan oleh pohon ilmu. Padahal pengembangan ilmu sekarang sudah lintas batas ilmu.

Di FIB saya membuka cultural studies, masuk ke Jurusan Sastra. Cara kita mengkaji teks dengan mengkaji masalah di luar (sastra) kan sama. Itu sebabnya saya dengan mudah dapat terjun ke kajian budaya, sastra dan dari sastra melakukan kajian politik dan budaya.

Saya berstrategi dengan memanfaatkan ruang yang ada. Saya mengajak kakak saya, Yunita, yang disiplinnya etnografi pertanian untuk ceramah budaya pertanian di FIB. Orang antropologi bicara di sastra, tak masalah, saling mengait.

Bagaimana Anda mendobrak menara gading perguruan tinggi dan aktivisme?

Seluruhnya adalah perjalanan tidak sengaja yang menghubungkan pencarian saya dengan aktivisme. Saya memasuki dunia itu karena “kecelakaan” sejarah. Peristiwa Mei tahun 1998 adalah peristiwa sejarah yang kemudian secara produktif menghasilkan sesuatu. Semua topik terkait dengan minat dan perhatian saya, bukan sesuatu di luar saya.

Sekarang kalau kita mau belajar budaya anak jalanan, anak-anak itu diundang ke kelas untuk ikut bicara. Pasien diajak bicara bagaimana budaya medis memengaruhi hidupnya. Sastrawan masuk kampus dan berinteraksi dengan mahasiswa. Kita sedang memikirkan program-program yang bisa diambil masyarakat luas di jalur tanpa gelar.

Genre “baru”
Melani adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Suaminya, Eka Budianta, adalah anak pertama dari sembilan bersaudara, anak pasangan guru dari Malang. Kedua pribadi yang berpunggungan ini dipertemukan oleh sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Dari kecil Melani sudah menyukai sastra. Ia masuk fakultas sastra meski di SMA masuk jurusan pasti alam. Orangtuanya sempat menentang, tetapi kemudian memberikan kebebasan memilih setelah kegagalan kuliah kakaknya di kedokteran karena menuruti keinginan orangtua. Kakak keduanya itulah yang mengajari Melani mengarang dan berefleksi diri dengan membuatkan buku harian.

“Malah setelah lulus SMA ibu meminta saya belajar steno supaya bisa langsung kerja jadi sekretaris karena ekonomi keluarga sangat sulit. Untuk menyenangkan ibu saya belajar steno, meski ijazahnya tidak pernah saya ambil,” kenangnya. Bakat ilmu pasti dan kesukaannya pada sastra itu menurun pada anak sulungnya, Citra, seorang dokter, yang juga penulis dan penikmat sastra.
Akhirnya Anda meraih gelar guru besar…

Sebetulnya saya agak ragu mengurus keprofesoran saya. Saya merasa terbebani karena mitosnya begitu kuat. Profesor itu seperti sebuah klub. Rasanya saya belum pantas menjadi profesor sebelum menulis buku yang benar-benar utuh. Masalahnya, kehidupan sebagai akademikus dan aktivisme sangat menyita waktu. Bahkan saya dikejar-kejar utang tulisan terus-menerus. Saya tidak bisa mengatakan “tidak” pada yang minta tolong dibuatkan kata pengantar. Saya paling suka kata pengantar untuk buku terjemahan The God of Small Things.

Saya menjadi seperti penulis genre “kata pengantar”. Sekarang karena tak punya waktu banyak, saya banyak diminta menulis komentar di belakang buku yang akan diterbitkan. Genrenya berubah jadi komentar pendek he-he-he…(Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy, Kompas, 5 Februari 2006) e-ti/ht-rh-ws

Data Singkat
Melanita Pranaya, Guru Besar (Profesor) Tetap FIB Universitas Indonesia (2006) / Pendobrak Batas dalam Perubahan | Direktori | Guru Besar, UI, Ilmu budaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini