Ibu dari Tiga Anak, Ibu untuk Satu Provinsi
Sherly Tjoanda
Sherly Tjoanda bukan sekadar Gubernur Perempuan Pertama Maluku Utara – ia adalah seorang ibu dari tiga anak yang kini menjadi ibu bagi satu provinsi – seorang perempuan yang menjadikan luka sebagai lentera, cinta sebagai warisan perjuangan, dan kehilangan sebagai kekuatan untuk berdiri memimpin. Setelah kehilangan suami tercinta dalam tragedi memilukan, ia melangkah bukan karena merasa kuat, tetapi karena tahu: rakyatnya butuh pemimpin yang benar-benar mengerti arti terluka dan tetap memilih untuk melayani.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Tidak ada yang siap kehilangan orang yang paling dicintai, apalagi dalam sekejap mata. Sherly Tjoanda pun tidak. Siapa sangka, pada 12 Oktober 2024, di Pelabuhan Regional Bobong, Taliabu Barat, akan menjadi peristiwa yang mengubah jalan hidupnya selamanya. Suaminya, Benny Laos -pemimpin visioner dan calon gubernur terkuat Maluku Utara – meninggal akibat ledakan hebat di kapal yang mereka tumpangi. Saat ledakan terjadi, Sherly Tjoanda terpental ke bagian depan kapal. Dia sempat mencoba mencari suaminya dengan menyelam ke belakang kapal, tetapi kakinya tidak bisa digerakkan. Ia kemudian diselamatkan oleh orang-orang di sekitar dan dibawa ke darat. Ledakan tersebut menewaskan enam orang, termasuk Benny Laos. Sherly Tjoanda mengalami luka bakar stadium dua di kakinya sehingga butuh waktu untuk sembuh. Tapi luka di hatinya, mungkin tak akan pernah benar-benar sembuh.
Di tengah luka itulah, keputusan paling mengejutkan dan berani lahir. Hanya dalam hitungan hari sejak tragedi itu, Sherly Tjoanda memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mendiang suaminya. Ia, seorang ibu rumah tangga, seorang pendamping yang selama ini hanya berada di belakang panggung politik, melangkah maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara. Dalam waktu tujuh hari, ia yang masih berjalan dengan tongkat, mendaftarkan diri dan berhasil mendapatkan dukungan delapan partai besar. Tak seorang pun bisa menyangkal keberaniannya.
Namun keberanian itu bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dari dukungan keluarga terutama ketiga anaknya. “Di saat Mami hampir menyerah, kalianlah yang menjadi kekuatan Mami,” ungkap Sherly Tjoanda di akun Instagramnya. Keberanian itu juga lahir dari tahun-tahun panjang kebersamaan dengan rakyat, dari ruang-ruang kecil tempat ia mendampingi perempuan desa di Morotai membuat keripik pisang, mengolah abon ikan asin, mengemas sirup pala. Ia bukan sekadar istri pejabat. Ia adalah jiwa yang ikut membangun, menguatkan, dan menyentuh akar dari pembangunan itu sendiri. Dan ketika rakyat memintanya melanjutkan tongkat estafet, ia menjawab dengan keteguhan luar biasa.
Lahir di Ambon pada 8 Agustus 1982, Sherly Tjoanda adalah anak dari pasangan Paulus Tjoanda dan Maria Margaretha Liem. Masa kecilnya dilalui dalam suasana keluarga yang religius dan pekerja keras. Ayahnya adalah seorang pengusaha perikanan sukses yang merintis karier dari bengkel kecil hingga akhirnya menjadi pemilik armada kapal.
Perjalanan pendidikan Sherly Tjoanda dimulai di Surabaya, di mana ia sempat menempuh pendidikan di SMA Petra. Krisis tahun 1998 membuat keluarganya pindah ke Bali, dan di sanalah ia menyelesaikan sekolah menengah serta mengenal dunia bisnis secara lebih praktis. Ia melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Kristen Petra Surabaya, mengambil jurusan Manajemen Bisnis Internasional. Semangat belajarnya kemudian membawanya ke Belanda melalui program gelar ganda di Inholland University, Amsterdam, yang dituntaskan pada tahun 2004. Ia sempat magang di Ahold, sebuah jaringan supermarket besar di Eropa. Di sana, ia belajar bagaimana sistem bekerja. Tapi di Morotai-lah ia belajar bagaimana manusia bekerja – dengan harapan, dengan air mata, dan dengan daya hidup luar biasa.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sherly Tjoanda sempat membantu usaha keluarga, terutama dalam bisnis ekspor hasil laut. Namun, titik balik penting terjadi setelah ia menikah dengan Benny Laos pada usia 22 tahun dan dikaruniai tiga anak: Edbert, Edelyn, dan Edrick. Bersama suaminya, ia membangun PT Bela Group, perusahaan yang bergerak di berbagai sektor mulai dari properti, energi, hingga perdagangan hasil bumi.
Saat mendampingi suaminya sebagai Bupati Morotai (2017-2022), ia terjun langsung memimpin pemberdayaan ekonomi perempuan. Di Morotai, ia menjadi Ketua Tim Penggerak PKK dan Ketua Yayasan Bela Peduli. Di desa-desa seperti Toto Doku dan Tilei Pantai, ia menginisiasi pelatihan olahan hasil tani dan laut. Ia ajarkan ibu-ibu desa membuat produk unggulan dari bahan yang akrab dengan mereka -pisang, ikan, sagu, pala – lalu membentuk kelompok produksi, membantu desain kemasan, bahkan membukakan jalan ke pasar nasional. Ia bukan hanya datang memberi arahan, tapi duduk bersama, mengupas, menggoreng, mencicipi. “Saya percaya, jika seorang ibu bisa berpenghasilan sendiri, anak-anak mereka akan tumbuh lebih baik,” katanya. Kalimat itu bukan slogan. Ia hidup dalam setiap program PKK yang ia jalankan.
Ketika Benny Laos berjuang dengan APBD kecil membangun Morotai, Sherly Tjoanda adalah penggerak komunitasnya. Ia mengurus PAUD, memperjuangkan insentif guru, memastikan semua 88 desa di Morotai memiliki layanan pendidikan dini. Ia percaya bahwa dari masa kecil yang diberi cinta dan pendidikan, akan tumbuh generasi yang mencintai tanah kelahirannya.
Dalam langkah hidup selanjutnya, Sherly Tjoanda memasuki karier politik tapi bukan sesuatu yang direncanakan. Suaminya, Benny Laos, yang saat itu menjabat sebagai Bupati Morotai, awalnya yang bersiap maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara dalam Pilkada 2024. Namun, takdir berkata lain. Pada 12 Oktober 2024, Benny Laos meninggal dunia dalam kecelakaan perahu cepat di perairan Bobong, Taliabu – kecelakaan yang juga melukai Sherly Tjoanda, hingga ia harus menjalani perawatan intensif akibat luka bakar.
“Yang mendorong saya maju adalah rasa kehilangan dan ketidakpercayaan bahwa seseorang seperti Benny Laos bisa meninggal karena layanan kesehatan yang tidak memadai,” ujarnya dalam podcast bersama Dahlan Iskan. “Saya tidak mau rakyat Maluku Utara mengalami hal yang sama. Saya sendiri merasakannya.” Sherly Tjoanda saat itu memang merasakan nyeri luka bakar tanpa anestesi selama 24 jam. Dan dari nyeri itu, lahir satu tekad: tidak ada lagi rakyat Maluku Utara yang dibiarkan berjuang sendiri.
Meski awalnya menolak tawaran menjadi calon gubernur, rasa tanggung jawab itu tak bisa ditepis. “Kalau bukan saya, siapa? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?” katanya. Rakyat Maluku Utara tahu bahwa di balik gaun duka dan tongkat yang menopang langkahnya, berdiri seorang perempuan yang benar-benar mengerti penderitaan mereka.
Dengan waktu hanya tujuh hari sebelum penutupan pendaftaran, delapan partai besar mendorong Sherly maju menggantikan suaminya. Partai NasDem, PKB, Demokrat, PAN, PPP, Gelora, PSI, dan Partai Buruh menyatukan kekuatan. Bersama Sarbin Sehe sebagai wakilnya, Sherly Tjoanda memenangi Pilkada dengan perolehan 50,69% suara.
Ketika Sherly Tjoanda dilantik menjadi Gubernur Maluku Utara oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025, seluruh bangsa menyaksikan satu momen bersejarah: seorang ibu rumah tangga, yang selama ini berada di sisi suaminya, kini menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut di provinsi yang dikenal sebagai tanah raja-raja, “Maluku Kieraha.” Dengan suara yang bergetar tapi penuh keyakinan, ia berjanji akan menjalankan tugas dengan integritas dan tanggung jawab. “Ini bukan tentang kekuasaan. Ini tentang cinta yang belum selesai,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Menjadi gubernur bukanlah akhir dari kisah Sherly Tjoanda. Justru di sanalah babak baru dimulai – babak yang lebih menantang, lebih berat, tapi juga lebih mulia. Dalam pidato pertamanya tanpa teks di hadapan DPRD Maluku Utara, Sherly Tjoanda tak bicara panjang lebar tentang kekuasaan. Ia bicara tentang pelayanan. Tentang bagaimana ia akan menjalankan pemerintahan dengan prinsip good governance: transparan, akuntabel, partisipatif. Ia menegaskan, pemerintahan yang ia pimpin akan menjunjung tinggi integritas dan sistem meritokrasi. Ia menyampaikan lima pilar utama pemerintahannya: kompetensi, kinerja, integritas, kerja sama tim, dan loyalitas pada rakyat. Ia juga memulai reformasi birokrasi, termasuk sistem mutasi pegawai berbasis merit, bukan titipan. “Tidak ada lagi urus-mengurus jabatan, tidak ada lagi sistem titip sana-sini,” ucapnya dengan lantang.
Ia tahu bahwa APBD Maluku Utara kecil, hanya sekitar Rp3,7 triliun – salah satu yang terkecil di Indonesia. Sherly Tjoanda menyadari bahwa membangun provinsi tidak bisa hanya mengandalkan anggaran daerah. Ia aktif menjalin sinergi dengan pemerintah pusat dan kementerian-kementerian strategis. Dukungan delapan partai besar juga ia manfaatkan untuk membuka akses seluas-luasnya ke APBN dan investasi nasional. “Kemenangan saya harus benar, supaya Tuhan memberkati pemerintahan ini,” tuturnya kepada Dahlan Iskan. Ia percaya bahwa pembangunan sejati lahir dari niat yang tulus, bukan hasil politik transaksional.

Meski dihadapkan dengan anggaran daerah yang terbatas, Sherly Tjoanda tahu itu bukan alasan untuk menyerah. Ia menyusun program-program prioritas yang langsung menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Dalam program 100 hari pertamanya, Sherly Tjoanda menggratiskan biaya pendidikan untuk seluruh SMA, SMK, dan SLB negeri, serta menggelar program kesehatan gratis dan makanan bergizi bagi siswa, ibu hamil, dan balita dengan dukungan anggaran dari pemerintah pusat senilai Rp2,2 triliun, bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional. Ia pastikan seluruh bahan makanan dalam program itu berasal dari petani dan nelayan lokal. “Saya tidak akan biarkan uang sebesar itu pergi ke luar. Mereka harus beli dari kita. Dari tanah ini. Dari rakyat kita sendiri,” katanya tegas.
Sherly Tjoanda juga tahu bahwa di balik tambang-tambang besar dan gemerlap industri nikel, masih banyak nelayan yang tak punya alat pancing, petani yang tak bisa menjual hasil karena ongkos transportasi lebih mahal dari harga jual. Maka ia luncurkan gagasan “Trans-Kieraha” – program konektivitas antar pulau, subsidi transportasi darat bagi petani, dan konektivitas logistik antarwilayah. Semua itu ia rancang agar nilai tukar petani dan nelayan bisa naik, agar keadilan ekonomi benar-benar hadir di tanah yang kaya ini.
Namun, mungkin bagian paling menyentuh dari kepemimpinannya bukan program dan data. Tapi cara ia memimpin: dengan rasa. Sherly Tjoanda memahami bahwa rakyat bukan statistik. Mereka adalah ibu-ibu yang tidak bisa membawa anaknya ke rumah sakit karena ongkos kapal terlalu mahal. Mereka adalah anak-anak yang tidak sekolah karena tidak punya sepatu. Mereka adalah nelayan yang menjual hasil laut tapi tak sanggup membeli beras. “Saya sudah melihat, saya sudah merasakan. Saya tahu bagaimana sakitnya ketika negara tidak hadir. Maka saya pastikan, saya akan hadir,” katanya.
Dari pengalaman di lapangan selama lima tahun mendampingi Benny Laos, Sherly Tjoanda belajar bahwa pembangunan sejati tidak hanya datang dari anggaran, tapi dari kehadiran dan keberpihakan. Ketika Dahlan Iskan bertanya, bagaimana ia bisa membangun dengan anggaran sekecil itu, Sherly Tjoanda menjawab dengan keyakinan sederhana: “Kalau niat kita benar, Tuhan akan bukakan jalan.”
Dalam dirinya, rakyat melihat wajah kepemimpinan baru: tidak berjarak, tidak kaku, tapi juga tidak rapuh. Di balik kelembutannya, Sherly Tjoanda memiliki keberanian yang tak biasa. Ia pernah menolak menjadi calon gubernur karena merasa belum siap. Tapi ketika rasa tanggung jawab itu memanggil, ia tidak menunggu dikuatkan. Ia yang menguatkan dirinya sendiri. Dan saat ia memimpin, ia tak meminta dibela. Ia mengajak berlari bersama. “Kami ini pelari cepat,” ujarnya dalam pidato perdana, “dan kami mengajak seluruh birokrasi untuk ikut berlari.”
Sebagai perempuan, Sherly Tjoanda juga membawa pesan penting bagi generasi muda. Ia bukan politisi karier. Ia bukan perempuan yang mengejar panggung. Ia adalah simbol bahwa siapa pun, jika diberi kesempatan dan mau belajar, bisa menjadi pemimpin. “Kalau saya, ibu rumah tangga biasa, bisa dipercaya memimpin provinsi, artinya semua perempuan bisa. Yang penting, mau sungguh-sungguh,” ujarnya dalam wawancara Kompas.
Hari ini, Sherly Tjoanda tidak hanya dikenal sebagai Gubernur Maluku Utara. Ia adalah perempuan yang mengubah luka menjadi cahaya. Ia adalah seorang istri yang menjadikan cinta sebagai warisan perjuangan. Ia adalah ibu dari tiga anak yang kini menjadi ibu bagi satu provinsi. Sherly Tjoanda kerap mengutip pesan mendiang suaminya, “Keikhlasan menentukan kebahagiaan dan masa depan,” sebagai pedoman hidup dan kepemimpinannya.
Dan setiap kali ia melangkah ke kantor gubernur di Sofifi, setiap kali ia mendatangi desa-desa terpencil di Halmahera dan Taliabu, ia membawa serta semangat seorang perempuan yang telah kehilangan, tapi tidak kalah. Seorang perempuan yang ditinggal, tapi tidak tinggal diam. Seorang perempuan yang memilih untuk berdiri.
Bukan karena ia merasa kuat. Tapi karena ia tahu: rakyat Maluku Utara membutuhkan pemimpin yang tahu bagaimana rasanya terluka. Dan Sherly Tjoanda, dengan segala keteguhan dan kelembutannya, ada di sana – di garda terdepan – bukan untuk memerintah, tapi untuk melayani. (Atur/TokohIndonesia.com)
Referensi:
- Media Online: Antara News, Tempo, Detik, Kompas, MetroTV, BeritaSatu, YouTube DI’s Way, dan lainnya
- Medsos Sherly Tjoanda