Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia

Prof Sajogyo
 
0
2579
Lama Membaca: 5 menit
Prof Sajogyo
Prof Sajogyo | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia karena berjasa meletakkan dasar-dasar studi sosial-ekonomi pedesaan di Tanah Air. Pemikirannya yang terkenal yakni “Garis Kemiskinan Sajogyo” sudah diadopsi oleh berbagai kalangan. Peraih Habibie Award 2011 ini juga menjadi salah seorang yang mempengaruhi keputusan pemerintah dalam menjalankan kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Sri Kusumo Kampto Utomo, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Sajogyo adalah seorang sosiolog yang sangat peduli pada pertanian dan sosio ekonomi pedesaan. Menurutnya, mendalami sosiologi pedesaan merupakan salah satu upaya untuk ikut mensejahterakan masyarakat. Meski demikian, pria kelahiran Karanganyar, 21 Mei 1926 ini tidak kaku hanya pada satu disiplin ilmu dan terus mencari tanpa pernah mengklaim kebenaran sendiri. Ia juga tidak pernah menerima formulasi peneliti atau orang lain tanpa reservasi. Jika menemukan kelemahan pada ukuran kemiskinan konvensional, ia akan memperbaikinya.

Putra pasangan Soewardjo Poerwoatmodjo dan Chamidah ini melewati masa kecil hingga remajanya di beberapa kota, seperti Karanganyar, Bandung, Cepu, Brabai, Kendiri, Banjarnegara, Purwakarta, Solo, dan Yogyakarta, mengikuti sang ayah yang bekerja sebagai guru bahasa Belanda. Ia mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di kota Purwokerto kemudian melanjutkan ke jenjang SMA di Yogyakarta.

Sajogyo memberikan kontribusi cukup besar dalam menjelaskan konsep ilmu ekonomi dan sosial, yang meliputi garis kemiskinan, kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, indeks ukur kemiskinan, elastisitas kemiskinan, dan berbagai ukuran distribusi.

Setelah tamat SMA, Sajogyo yang dibesarkan dalam tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dari pertanian ini hijrah ke Bogor guna meneruskan pendidikan tingginya di Fakultas Pertanian UI. Di kampus yang sejak tahun 1963 berubah nama menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB) itulah, ia mulai mengenal, meniti, hingga menjadi ilmuwan studi agraria Indonesia. Di saat teman-teman kuliahnya menamatkan program sarjananya selama kurang lebih 7 tahun, Sajogyo berhasil selesai lebih cepat yakni dalam tempo 5 tahun. Ia menyusun skripsi dan penelitian di bawah bimbingan Prof. Wertheim yang ketika itu menjadi Guru Besar Tamu dari Belanda.

Pada tahun 1957, Sajogyo sempat mengajar di almamaternya untuk program S1 Sosial-Ekonomi Fakultas Pertanian. Karena kepandaian dan kecerdasannya, Sajogyo kemudian dipromosikan oleh Prof. Wertheim untuk melanjutkan ke jenjang doktoral. Penelitiannya seputar ekologi, pangan, gizi, tanah, dan agraria, masih berada dalam konteks agrikultur (pembudidayaaan). Mahasiswa kebanggaan Prof. Wertheim yang fokus penelitiannya terhadap masyarakat kecil pada wilayah perdesaan ini juga selalu mencoba melihat pertanian dari sudut sosial-ekonomi, karena menurutnya pertanian itu bukan hanya masalah budidaya saja, tetapi juga menyangkut masalah interaksi sosial dan juga ekonominya.

Pada tahun 1961, ia melanjutkan studinya ke program pascadoktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sosok Sajogyo di mata orang terdekatnya merupakan orang yang selalu ingin tahu serta selalu berpikir jauh ke depan. Hal itu terlihat saat ia sedang menyelesaikan studi S3-nya. Saat itu di Indonesia sedang terjadi “Revolusi Hijau” yang merupakan tujuan pembangunan pertanian di Indonesia. Hal tersebut kemudian menginspirasinya untuk menyelesaikan tulisan yang berjudul “Modernization Without Development”. Tulisan tersebut berisi tentang revolusi hijau di Indonesia yang semakin memiskinkan petani miskin dan menciptakan petani tanpa lahan. Revolusi Hijau menurut Sajogyo justru melahirkan petani golongan atas yaitu mereka yang memiliki modal besar yang memanfaatkan lahan pertanian untuk kepentingan pribadi.

Disertasi doktoralnya telah diterbitkan sebagai buku dengan judul Masyarakat Transmigrasi Spontan di Daerah Way Sekampung, Lampung (Gadjah Mada University Press, 1975). Setelah berhasil meraih gelar profesor, Sajogyo diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian IPB di tahun 1963. Di tahun yang sama ia ikut berperan dalam pendirian lembaga Survei Agro Ekonomi dimana lembaga ini lahir untuk mengimbangi data makro Biro Pusat Statistik (BPS). Dua tahun kemudian, karir Sajogyo terus menanjak setelah ia ditunjuk untuk menjabat sebagai Rektor IPB hingga tahun 1966.

Sajogyo memberikan kontribusi cukup besar dalam menjelaskan konsep ilmu ekonomi dan sosial, yang meliputi garis kemiskinan, kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, indeks ukur kemiskinan, elastisitas kemiskinan, dan berbagai ukuran distribusi. Ia juga menguji serta menerapkan konsep-konsep tersebut langsung dalam studi di lapangan. Termasuk tulisannya yang berkontribusi besar kepada perkembangan ilmu sosial maupun perumusan kebijakan di Indonesia.

Figurnya seolah menjadi solusi bagi kemajalan metodologis, ketika angka-angka pengeluaran nominal rumah tangga ternyata bukanlah indikator yang baik atas standar hidup relatif. Menurut Sajogyo, garis kemiskinan yang relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang langsung merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan. Kecukupan pangan ini pada gilirannya dapat terwakili oleh beras. Dengan menggunakan ukuran penghasilan senilai harga beras untuk konsumsi minimal yang layak, Sajogyo menawarkan garis kemiskinan yang lebih relevan dan realistik.

Konsumsi minimal itu ia dapatkan sebagai terjemahan kebutuhan kalori yang layak (saat ini sekitar 2100 kalori). Logikanya sederhana, namun tuntas dan masuk akal. Porsi pengeluaran terbesar dan terpenting kaum papa adalah pada makanan. Makanan pokok Indonesia adalah beras, dan ada jumlah batas konsumsinya yang menjamin ketersediaan kalori untuk tetap bertahan hidup layak. Terakhir, terdapat perbedaan harga antar daerah dan antar jenis beras di Indonesia. Bagaimana merefleksikan semua karakteristik ini dalam merepresentasikan statistik kemiskinan di Indonesia dengan cara yang bisa bermanfaat bagi pengambilan kebijakan adalah pertanyaan yang digeluti Sajogyo. Hingga ia berhasil merumuskan Standar Garis Kemiskinan di Indonesia berdasarkan konsumsi bahan pokok yaitu beras perkapita selama setahun. Dari sini, lahirlah “Garis Kemiskinan Sajogyo” yang kemudian diadopsi oleh akademisi, pemerintah, dan masyarakat umum serta menjadi rujukan bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur Standar Garis Kemiskinan di Indonesia.

Advertisement

Di balik statistik kemiskinan serta alat analisis ekonomi pedesaan, pemikiran Sajogyo menjadi fondasi yang bermanfaat. Puluhan tahun yang lalu ia telah mengatakan bahwa kemiskinan bukanlah sekadar angka tetapi realita. Sebuah kenyataan yang membutuhkan alat analisis yang juga realistis. Berbagai pemikirannya juga telah terangkum dalam sejumlah judul buku, antara lain Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (IPB Bogor, 1974), Kumpulan Bacaan Sosiologi Pedesaan I & II (Gadjah Mada University Press, 1982), Bunga Rampai Perekonomian Desa (Yayasan Obor Indonesia, 1982), dan Ekologi Pedesaan (Yayasan Obor Indonesia, 1983). Selain itu, tulisannya juga dimuat di beberapa media cetak, seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan, dan Prisma.

Selain menulis, meneliti dan mengajar, ia juga aktif dalam berbagai organisasi keilmuan dan kemasyarakatan seperti Yayasan Agro Ekonomika, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia dan Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan. Ia juga pernah menjadi salah satu ketua dalam Dewan Riset Nasional. Di IPB, selain menjadi dosen dan rektor, Sajogyo juga pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan dan Kepala Pusat Studi Pembangunan.

Keberhasilan Sajogyo dalam bidang penelitian masyarakat perdesaan yang sering dianggap terpinggirkan, telah membawa namanya menjadi salah seorang ilmuwan kebanggaan Indonesia, bahkan dunia internasional pun mengakui kehebatan dari sosiolog “rakyat kecil” ini. Di Tanah Air, kiprah Sajogyo sebagai akademisi maupun sosiolog telah membuahkan sejumlah penghargaan. Tahun 2009, namanya masuk dalam daftar penerima penghargaan Achmad Bakrie. Sajogyo merupakan salah satu dari lima tokoh yang dinilai berprestasi karena ketekunan dan sumbangan luar biasa bagi masing-masing bidang. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 10 November 2011, Sajogyo menerima Habibie Award, sebagai penghargaan atas apa yang telah dirintisnya semasa hidup.

Prof Dr Ir Sajogyo tutup usia pada hari Sabtu 17 Maret 2012 pukul 05.00 WIB di Rumah Sakit PMI Bogor. Jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Dredet, Bogor Selatan, Jawa Barat. muli, red

Data Singkat
Prof Sajogyo, Sosiolog / Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia | Ensiklopedi | IPB, Profesor, Dosen, Doktor, pertanian, peneliti, ilmuwan, kemiskinan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini