Page 46 - Majalah Berita Indonesia Edisi 01
P. 46


                                    BERITA EKONOMI48 No.1/Th.I/Juli 2005Besar pasak dari tiang.Peribahasa ini rasanyacocok untukmenggambarkan polapertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini. Pertumbuhanekonomi lebih banyak digerakkan olehmesin konsumsi, bukan produksi danpembangunan. Pembiayaan berbagaisektor meningkat tajam sehingga mendorong pergeseran asumsi-asumsidalam APBN. Faktor utamanya, pergerakan harga minyak mentah duniayang tak bisa diprediksi, dan depresiasirupiah terhadap dolar.Pada satu sisi, harga minyak mentahterus meroket dari tingkat 50 dolar ASpada kuartal pertama ke 58 sampai 60dolar per barel memasuki kuartal keduatahun ini. Padahal asumsi harga BBMdi dalam APBN 2005 tambahan hanya40 dolar per barel. Bisa dihitung defisitanggaran dari sektor minyak akanbertambah terus sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah di pasardunia.Di sisi lain, nilai rupiah dalam tigabulan terakhir terus melemah terhadapdolar AS dan sejumlah mata uang asinglainnya. Ini memicu peningkatan pembiayaan, khususnya di sektor internasional, seperti cicilan utang yangharus dibayar dalam dolar AS, imporbarang modal dan berbagai barangkonsumsi.Kenaikan harga minyak mentah danmerosotnya nilai rupiah membuatdefisit APBN 2005 semakin menganga.Tadinya pemerintah menargetkan defisit 7% pada PDB atau turun 1% dariAPBN 2004. Hampir semua mediamassa pekan lalu menyorot krisis BBMyang sudah tentu berdampak padaanggaran negara. Soal pergerakan nilairupiah yang sangat aktif sepanjang satusemester ini, Koran Tempo (2/6) memperlihatkannya pada sebuah grafik yangmenurun.Di tengah terpaan badai defisit,pemerintah mengajukan anggarantambahan pada APBN 2005 ke DPR,untuk mendanai lima program yangbelum dianggarkan. Kelima programtersebut menyangkut; Rehabilitasi danRekonstruksi Aceh, Kompensasi Kenaikan Harga BBM, PembentukanDepartemen/Lembaga baru, PemilihanKepala Daerah, Anggaran Pertahanandan Keamanan (TNI). Paling-palinguntuk menutup defisit tersebut, pemerintah mengharapkan peningkatanpendapatan dari pajak, program privatisasi BUMN dan utang luar negeri.Dalam konteks APBN-P (2005),panitia anggaran DPR telah menetapkan asumsi-asumsi baru yang dianggapcukup realistis mengantisipasi keadaansaat ini. Namun mereka pesimis asumsiitu bisa bertahan lama.Empat hal pokok yang patut membuat mereka pesimis. Pertama, lonjakanharga minyak bumi. Mereka, untukAPBN-P, mengasumsikan harga minyakbumi 54 dolar AS per barel. Padahalharga minyak di pasar dunia sampaiSelasa (21/6) melonjak sampai 59 dolarAS per barel, dan bergerak lagi ke 60dolar hanya sehari setelah pengesahan asumsi 54 dolar.Kedua, nilai rupiahyang terus melemah.Panitia anggaran menetapkan asumsi Rp9.300 per 1 dolar AS,namun harga dolar merangkak naik ke Rp9600.Kinerja ekonomimakro dihadangmasalah berat sejakPresiden SusiloBambang Yudhoyonomenerima estafetkepemimpinanOktober 2004.Kabinet SBYdigoyang kenaikanharga minyak bumidan melemahnyanilai rupiah.Ketiga, tingkat inflasi. Panitia mematok asumsi 4,5 sampai 5,5 persen diAPBN, tetapi melambung ke 7,5 persenpada APBN-Perubahan. Sulit dipastikan bahwa laju inflasi tidak akan bergerak naik.Keempat, tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berubah-ubah juga bisamengancam stabilitas APBN-Perubahan. Sebagai instrumen moneter, stabilatau tidaknya suku bunga SBI sangattergantung pada kinerja ekonomi makro. Namun Bank Indonesia bisa mengambil kebijakan darurat, menetapkansuku bunga tinggi, bilamana inflasi dan(atau) nilai rupiah mengalami guncangan hebat.Namun kenaikan suku bunga SBIyang cukup tinggi, bisa menekan pertumbuhan ekonomi, karena akan mempersempit ruang gerak sektor perbankan. Taruhannya, sektor riil semakin stagnan, menyempitnya ruangusaha dan lapangan kerja, berartimenurunnya produktivitas nasionalyang memang sudah rendah. Sehingga,pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah dari asumsi APBN Perubahan (6persen). Hm, ShDefisit Anggarandi Titik Rawan48 No.1/Th.I/Juli 2005
                                
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50