Page 55 - Majalah Berita Indonesia Edisi 02
P. 55


                                    BERITAINDONESIA, Agustus 2005 55di Kota Udang itu memprotes keluarnyaPermendag 12/2005. Simak saja penuturan salah seorang pengusaha rotan,Sunarto. Menyusul diberlakukannya izinekspor rotan setengah jadi, banyakpengusaha yang memburu bahan bakusampai ke Surabaya dan membeli langsung ke pelabuhan.Dia sendiri mengaku tidak lagi memproduksi mebel rotan karena sulit mendapatkan bahan baku. Demi menyambung ‘nafas usaha’, dia terpaksa beralihke bahan baku lain, seperti eceng gondokdan pelepah pisang. “Pengalihan harusdilakukan. Jika tidak jauh-jauh hari kamisudah bangkrut!” ucapnya.Direktur Eksekutif Asmindo SaeTanangga Karim kepada M. Subhan dariBerita Indonesia, mengingatkan, profilekspor rotan Indonesia dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Misalnya,selama periode 2002-2003, ada kenaikansebesar 6,15 persen. Pada 2003-2004,nilai ekspor rotan sendiri memang mengalami ketimpangan dari sebelumnya4,05 persen menjadi 3,78 persen.Akan tetapi, pada 2004 terjadi lonjakan ekspor rotan sebesar 7,46 persen.Untuk diingat, pada Mei 2004, pemerintah secara resmi memberlakukan SK355/2004 yang membatasi atau melarang ekspor rotan.“Artinya dengan adanya aturan tersebut (SK 355/2004, red) ekspor rotanterlihat sangat menggembirakan, dengankenaikan mencapai 70 persen. Lantas,kenapa SK yang (justru) berhasil meningkatkan ekspor barang jadi kok sekarangmalah dicabut?” ujar Angga denganpenuh tekanan.“Permendag yang baru dikeluarkan(memang) intinya akan mengenjot eksporbarang setengah jadi. Tapi akibat yangditimbulkannya akan memicu kekurangan bahan di dalam negeri.”Pada bagian lain, Angga juga mengkritik bahwa barang yang dibuka keranekspornya lewat Permendag 12/2005bukan barang yang mempunyai nilaitinggi sebab masih bersifat setengah jadi.Sebaliknya, melalui SK 355/2004, selamaini Indonesia sudah mampu mengeksporbarang jadi yang memiliki nilai tambah(added value) tinggi.Angga mengakui, menurut data,kebutuhan rotan dalam negeri sebesarAngka sebesar itu merupakan gambaranbetapa pentingnya bahan baku rotanuntuk industri mebel rotan Indonesia.Masih kata Angga, menyertai fenomena itu, nilai lebih pada kebijakanlama adalah kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang sangat banyakdi sektor industri mebel rotan.Diingatkannya, produk rotan meliputitiga hal: rotan poles, kulit rotan, dan hasilrotan. Jadi, apabila ada sebutan bahanbaku, itu bukanlah bahan baku yangsebaku-bakunya.Bagaimana bisa disebut menyeraptenaga kerja bila yang produk rotan yangdiekspor itu adalah rotan yang barudiolah hanya sekian persen saja. Dengankata lain, penyerapan tenaga kerja belumterjadi kalau hanya untuk bahan bakuyang belum diolah secara maksimal.Disebut mampu menyerap tenagakerja yang besar dan memiliki nilai tinggisebagai produk ekspor, Angga menjelaskan, apabila semua proses produksi satuproduk mulai dari bahan baku sampaimenjadi barang jadi bersentuhan dengantangan tenaga kerja.Apa argumentasi pemerintah mem ATURAN IBU MENTERI130.000 ton setiap tahun. Sementara,kemampuan produksi rotan dari hutandan hutan tanaman industri dalam negerisampai saat ini hanya 4.000 ton setiapbulan sehingga dengan demikian baruada 48.000 ton bahan baku rotan setiaptahun.“Kalau dari 48.000 ton bahan baku itudialokasikan oleh Ibu Menteri (MendagMari Elka Pangestu) sebanyak 36.000ton pertahun, maka bahan baku rotanyang tersedia (untuk dalam negeri) tinggal 12.000 ton. Nah itu habislah semuaindustri rotan kita saat ini,” tegas Angga.Nilai lebih seperti dikemukakanAngga senafas dengan pandangan KepalaDinas Perindustian dan PerdaganganCirebon, Achsanudin Adi. Adi mengakuturut menyesalkan dibukanya keranekspor rotan setengah jadi oleh pemerintah. Dibandingkan ekspor rotansetengah jadi keuntungan dari ekspormebel rotan jauh lebih besar.Dinas Perindustrian dan PerdaganganCirebon, setiap bulan bisa dihasilkanproduk mebel rotan sebanyak 4500 ton.
                                
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59