Page 21 - Majalah Berita Indonesia Edisi 07
P. 21
BERITAINDONESIA, Januari 2006 21BIODATA:Sekolah PendetaBagi orang dekatnya, Yewangoe punya tempat tersendiri dihati mereka. Bagi orang yang belum mengenalnya, ia seringdicap sangat pendiam dan terkesan angkuh. Padahal ia tidakbermaksud angkuh dan semacamnya. Diakuinya, komentar itumungkin muncul karena karakternya yang serius dan bicaraseperlunya.Istrinya, Petronella Lejloh (baca- Leyloh) punya kesantersendiri. Ia menilai Yewangoe pribadi yang tegas, yang selalumengerjakan pekerjaannya sampai selesai, tanpa menunda.Namun, pada dasarnya, ia orang yang terbuka, membiasakanberdiskusi di rumah, dan memberi kebebasan kepada keluargauntuk berpendapat. Ia bahkan gelisah kalau tidak ada yangmengkritiknya.Sejak usia 7 bulan, Yewangoe sudah diasuh oleh orang tuaangkatnya yakni Pdt SM Yewangoe (ayah), seorang pendeta dikampungnya dan Leda Kaka (ibu). Ia menjadi anak angkatbukan karena tidak mempunyai orang tua lagi namun karenaayah angkatnya, saudara ayahnya sendiri, ini tidak mempunyaianak. Ada kebiasaan di Sumba bahwa anak dari saudara bisadiangkat. Orang tua kandungnya Lakimbaba (ayah) dan KubaYowi (ibu) juga sangat menyayanginya.Kehidupan keluarga ayah angkatnya terbilang sangatsederhana. Di samping sebagai pendeta, ayah angkatnya jugaseorang petani sebab gaji seorang pendeta sangatlah kecil. Meskihidup dalam kesederhanaan, cinta kasih antara Yewangoe dankeluarganya terjalin erat. Yewangoe menjalani hidup sepertiorang desa kebanyakan. Karena akrab dengan kehidupanseorang pendeta, terlintas dalam hatinya untuk menjadipendeta. Bahkan, ayah angkatnya sangat mendorong. Di benakYewangoe muda, satu-satunya cara agar bisa menjadi pendetaadalah dengan mengikuti sekolah pendeta. Saat itu, ia samasekali tidak mengerti apa itu belajar teologia dan segala hal yangberkaitan dengan itu.Setelah lulus sekolah menengah atas, ialalu melanjutkan studi di Sekolah TinggiTeologia (STT) Jakarta. Masa studi di STTJakarta tidaklah mudah karena setiapmahasiswa harus melalui berbagai ujianyang cukup berat terutama ujian bahasaYunani dan Ibrani yang menjadi momokbagi mereka. Apalagi bagi Yewangoesebagai mahasiswa yang berasal darikampung. Bukan saja masalah pelajarannya yang membuatnya shock, tapi jugamasalah budaya dan lingkungan yangdianggapnya serbabaru.Berkat usaha keras, ia berhasil lulus.Perjalanan sebagai pendeta dilaluinyatahap demi tahap. Pengetahuan danpendalamannya tentang teologia semakinterasah secara baik. Selain sebagai dosen,lalu rektor ia juga berkesempatan melanjutkan studi hingga meraih doktor di VrijeUniversiteit, Belanda. Sejak Desember2004, ia terpilih sebagai Ketua Umum PGIperiode 2004-2009.Selain mengajar, membaca buku sudahmenjadi bagian yang tak terpisahkandalam kehidupannya. Biasanya, sesudahmembaca sebuah buku, ia membagi apayang telah dibacanya itu kepada sang istri.Makna Natal Yang SederhanaTahun ini menjadi tahun yang ‘pahit’ bagi bangsa ini. RakyatIndonesia, tak terkecuali, apa pun suku, ras dan agamanya,merasakan kepahitan ini. Peristiwa demi peristiwa yang terjadipada bangsa ini bukan saja memilukan hati, menguras tenagadan air mata tapi juga menguji kekuatan iman.Bencana tsunami di Aceh, aksi terorisme, bermunculannyaberbagai penyakit seperti busung lapar, flu burung, demamberdarah, antraks yang memakan puluhan jiwa. Belum lagiakibat bencana dan kondisi alam yang tidak menentu,kekurangan pangan pun melanda beberapa daerah. KenaikanBBM yang berdampak naiknya harga, daya beli masyarakatmenurun, kemiskinan, pengangguran. Ujian itu belum berhenti,bagi umat Kristiani masih ada ‘bencana’ yang menguji iman.Banyak gereja ditutup karena alasan SKB 2 Menteri yangdijadikan alat justifikasi.Ini semua bisa menimbulkan keputusasaan. Perasaan tidak jelas,makin sulitnya kehidupan, diskriminasi ras dan etnis yang semakinterlihat. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka bangsa ini akansemakin terpuruk. Di tengah tekanan dan cobaan ini, perayaanNatal 25 Desember 2005, berada pada masa prihatin.Berlatar belakang itulah, PGI yang dipimpinnya bersamadengan KWI mengambil tema Natal 2005: “Janganlah Takut Sebab Aku Menyertai Engkau…” Tema yang diambil itu menurutYewangoe memiliki makna yang dalam sehubungan denganperistiwa demi peristiwa yang dialami bangsa akhir-akhir ini.“Makna itu bukan saja dalam, tapi juga membawa pesan solidaritas yang tinggi, kesederhanaan dan pengharapan,” ujarnya.Namun Yewangoe juga mengaku sedih, karena perayaan natal kini sudah hampir kehilangan maknanya. Natal yangdirayakan dengan simbol-simbol banyak dilakukan di mal-maldan hotel-hotel bintang lima, yang bernuansa konsumerisme.“Saya bukannya bangga, malah sedih melihat hal ini. Natal bukanhura-hura dan berpesta fora, tapi makna natal adalah solidaritasalam,” tegasnya. Ia sangat menyayangkanperayaan natal yang seolah-olah tanpa penantian (advent) akan pengharapan adanyasolidaritas alam tersebut. “Tanpa advent, natal hanya sebuah pesta saja,” lanjutnya.Untuk itu, Yewangoe menghimbau, terutama pada umat Kristiani, untuk merayakan natal karena menurutnya, masa adventitu penting. Kemudian dia mengingatkan,umat Kristiani jangan sampai terjebak padasemangat konsumtif saat merayakan natal.“Biarlah mal-mal berlomba-loba menarik konsumen dengan simbol-simbolnatal, tapi jangan sampai terjebak,”ingatnya. Yang lebih penting lagi, sambungYewangoe, perayaan natal hendaknyadipakai sebagai perayaan keluarga. Sebabdalam keluarga itulah terjadi penghayatanyang dalam. “Ini jauh lebih efektif daripadaberpesta besar-besaran dalam merayakannatal,” lanjut laki-laki yang menikah denganPetronella Lejloh, dan dikaruniai dua oranganak, Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru dan Anna Theodore ini. Bahkan sebagaiumat Kristiani yang tidak suka simbolsimbol, keluarga Yewangoe merayakan natal tanpa pohon natal. Inilah sikap sederhanaseorang pelayan gereja. ■ AD, TIBERITA TOKOHNama : Andreas Anangguru YewangoeTmp. Lahir : Mamboru, Sumba Barat, NTTTgl. Lahir : 31 Maret 1945Agama : KristenJabatan : Ketua Umum PersekutuanGereja-gereja di IndonesiaPendidikan : Pendidikan :Pendidikan :- Lulusan STT Jakarta (1969).- Doktoral dari Vrije Universiteit,Amsterdam, Belanda, pada 1987 dengandisertasi, ≈Theologia Crucis in Asia: AsianChristian Views on Suffering in the Faceof Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia∆, kemudianditerbitkan BPK Gunung Mulia menjadibuku dengan judul ≈Theologia Crucis diAsia∆, dan tahun 2005 memasuki tahuncetakan keempat.Kegiatan Lainnya : Kegiatan Lainnya :- Dosen tamu di Theologische UniversiteitKampen, 1995- Menyampaikan makalah di Seminar International Reformed Theological Institutions di Leiden (1999), Princeton, USA(2001)