Page 39 - Majalah Berita Indonesia Edisi 07
P. 39
BERITAINDONESIA, Januari 2006 39(LENTERA)e KunjunganL-ZAYTUNBangsa kita belumterlalu dewasadi dalam beragama.dalam kunjungan eksponen MAZ ke GPIB Koinonia.“Di Indonesia yang mayoritas adalah oarang tidak cinta damai.Kita masih optimis, mayoritas anak bangsa ini adalah pecintadamai dan para toleran. Kita alihkan istilah mayoritas danminoritas dalam pembicaraan kita. Bangsa Indonesia yangminoritas adalah orang yang tidak cinta damai,” papar Syaykh.Pendeta Yewangoe langsung menimpali penegasan dariSyaykh, yang menurutnya sangat menarik. Dia berpendapat,paradigma lama harus diubah dengan paradigma yang baru, dan harus terus ditanamkan.Kata Yewangoe, dalam artikel opini berjudul“Jadi Diri Bangsa” di harian sore SuaraPembaruan, dia menulis bahwa sangat tidakrelevan bagi bangsa Indonesia untuk salingmenonjolkan mayoritas dan minoritas.Kepada Berita Indonesia, Yewangoe berterus-terang bahwaberdasarkan pengamatan dan ditambah lagi berdialog langsungdengan Syaykh, banyak pemikiran dan ide Syaykh yang cocokdengan pemikiran pihaknya.Contohnya? Kata Yewangoe, pernyataan Syaykh bahwa tidakada istilah mayoritas dan minoritas. Itu bukan berarti menyangkal fakta bahwa pemeluk Islam di Indonesia lebih besar danpenganut Kristen lebih kecil, tetapi “Jangan lah kita mengekploitasi realitas itu menjadi keuntungan-keuntungan politik.Kita harus bersama-sama ke depan membangun lewat prosessaling belajar, kalau saya pakai bahasa lain memperkayaspritualitas masing-masing.”Menjawab pertanyaan mengapa Bangsa Indonesia cenderungbelum dewasa dalam menyikpai keberagamaan, Yewangoeberpandangan, itu akibat penafsiran kitab suci yang terlalutekstual, seolah-olah langsung jatuh dari langit, dan tidak lagidikondisikan dengan situasi sosial-budaya.Dalam teologia kristen disebutkan, demikian Yewangoe,bahasa manusia selalu penuh dengan kekurangan sehingga tidakbisa mengambarkan Allah yang Maha Agung itu.“Gambaran-Nya melampaui rumusan kita. Karena itu, harusada ruang terbuka bagi orang lain, dan saya tidak bolehmengklaim diri yang paling hebat dan mempunyai segala sesuatu.Mesti ada kerendahan hati dari setiap tokoh-tokoh agama.Menurut saya, kerendahan hati adalah salah satu ciri kedewasaanmenjalankan agama,” ungkapnya.Kesamaan ide lain, lanjut Yewangoe, soal kedewasaan bangsaini dalam menyikapi perbedaan. Bangsa kita belum terlaludewasa di dalam beragama. Menunjuk contoh penyeranganmarkas Ahmadiyah pada akhir 2005 silam, Yewangoe menilaiperlakuan demikian tidak betul.“Di kalangan kami juga ada yang disebut Saksi Yehowa. KetikaDepag menanyakan pendapat kami (PGI, red.), kami bilangbiarkan saja, kecuali mereka sudah bikin kekacauan dimasyarakat. Itupun tugas polisi, bukan kami yang bertindak,”tandas Yewangoe.Wakil Sekum PGI, Pendeta Weinata Sairin berpendapat senadadengan Yewangoe. Pandangan-pandangan Syaykh, kata Weinata,sangat inklusif, seperti misalnya, tidak ada lagi terminologimayoritas minoritas. “Jarang kita temui sosok yang pemikirannya seperti Syaykh,” tukasnya.Lebih dari itu, baginya, kunjungan ke MAZ memberikan maknateramat penting. Menurutnya, kemauan dan kemampuan untuksaling memahami belum banyak dilakukan dalam kehidupanmasyarakat yang majemuk ini.Kita sudah hidup bersama dalam kemajemukan, tapi dalamhidup bersama ini kita belum mau saling mengenal untukbersama-sama membangun bangsa ini. Akibatnya, kita tidak tahudan saling mencurigai. “Even seperti ini sebenarnya yang haruskita kembangkan!” ujar Weinata.Masih ada di antara kita yang tidak memahami pandanganagama-agama di luar dirinya. Misalnya umat Kristen belum tahubahwa Islam itu juga memiliki banyak aliran. Begitu punsebaliknya.“Kalau kita ketemu, saling membuka, dan saling berdialog, kitabisa saling memahami dan mempelajari bagaimana pandanganagama-agama lain,” kata Weinata.“Bagaimana kita memperkenalkan dan mengenal sesama umat beragama untuk menyelesaikan masalah bersama. Berbagai masalahyang sedang kita hadapi ini kini sebenarnyamasalah umat apa pun agamanya. Masalahsosial, hukum, bencana alam, ini harus kitahadapi dan rumuskan bersama di mana hasilnya kelak bisamenjadi panduan umat.”Bersaing Bangun BangsaPerbincangan antara dua petinggi PGI dan Syaykh yang kianhangat kemudian bergeser ke tema besar:“Apa yang bisa dilakukan bersama buat bangsa ini?”.Menurut Syaykh, pertemuan itu merupakan bagian dari upayamembuat potret Indonesia baru, yang dipenuhi semangat cintadamai dan toleransi.Karena, bagi Syaykh, bangsa ini memerlukan hal-hal semacambegini, dan generasi yang muda perlu ditanamkan pemahamantentang cinta kasih, perdamaian, dan toleransi.“Setelah acara itu, mari kita bergandengan tangan dalamrealitas kehidupan, sebab untuk menciptakan menuju masyarakat Indonesia yang toleran itu kita harus berani memulai dalamkehidupan nyata. Tidak usah menunggu semua. Mesti ada yangmemulainya, sebab nanti semangatnya akan terus menular,”cetus Syaykh.“Itulah potret Indonesia baru. Indonesia ke depan. Potret lamaharus disimpan sebagai sejarah dan masa lalu karena kini sudahe KunjunganAL-ZAYTUN