Page 54 - Majalah Berita Indonesia Edisi 17
P. 54


                                    BERITA KHUSUS54 BERITAINDONESIA, 27 Juli 2006Kontroversial seputar ujiannasional (UN) mengerucutkarena hasil ujian nasional iniakhirnya menjadi penentululus dan tidaknya seorangsiswa, baik pada tingkat SD,SLTP, maupun SLTA. Seandainya lulusdan tidaknya siswa tidak hanya berdasarkan nilai hasil ujian nasional, namun juganilai harian dan nilai ujian umum, makakontroversi tidak akan setajam sekarangini.Sebab hanya dengan mengadalkan nilaiujian nasional dan mengabaikan nilainilai harian dan prestasi belajar lainnya,akan mengesankan bahwa waktu yang tigatahun hanya akan selesai dengan dua harisaja. Artinya, mereka merasa sia-sia telahbelajar selama tiga tahun. Bagaimanajadinya jika seorang siswa yang sejak kelasI hingga kelas II pada setiap semesternyamendapat rangking, kemudian setelahmengikuti ujian nasional ada satu sajamata pelajaran yang tidak memenuhistandard nilai UN, kemudian dia dinyatakan tidak lulus? Bagaimana dengan siswayang selalu mendapat nilai rendah setiapsemesternya, namun pada ujian nasionaldia bisa memenuhi standard nilai UN?Tentu, bukan hanya siswa dan orangtuanya yang kecewa, namun guru-gurunya pun akan sesak dada. Sebab merekaakan mendapati siswa yang setiap saatmendapat rangking di kelas namun akhirnya tidak ‘lulus’. La Ode Ida, Wakil KetuaDPD berpendapat bahwa kebijakan initelah mengabaikan proses selama tigatahun belajar. Sehingga para siswa yangtelah mempelajari sejumlah materi pelajaran di bawah bimbingan guru sebagaipendidik langsung yang bertanggungjawab. “Di sinilah luarbiasanya kebijakanitu. Yakni waktu belajar tiga tahun hanyadiganti dengan sistem penilaian berdasarkan proses belajar satu atau dua malamsaja. Anehnya, yang diuji hanya tiga matapelajaran yang berati secara langsung pulatidak memberi apa-apa terhadap matapelajaran lain. Tepatnya pengorbananguru dan siswa selama tiga tahun samasekali tak dihargai oleh kebijakan pemerintah yang konyol ini,” katanya.Guru Penentu KelulusanLa Ode Ida merujuk, dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional,guru atau pendidiklah yang berhak melakukan evaluasi belajar tahap akhir siswa.“Ini artinya, guru dan sekolah secaraTakaran Nilai Lulus dan TidakPara pengamat pendidikanberpendapat bahwa takaran lulus dantidak yang hanya mengandalkan nilaihasil Ujian Nasional adalah tidak fair.Mestinya kelulusan tidak hanyadidasarkan pada UN. Karena prosesbelajar yang sudah dijalani selama 3tahun akan sia-sia belaka.bersama-sama memiliki otonomi untukmenentukan kelulusan para siswanya.Karena memang merekalah yang seharihari berinteraksi dan mengetahui persiskondisi murid-muridnya,” ungkapnya.Senada dengan itu, pengamat pendidikan Prof. Dr. Arief Rahman mengusulkan agar kelulusan dikembalikanpada kepala sekolah dan dewan guru.Sebab, katanya merekalah yang pahambetul bagaimana siswa tersebut belajarselama tiga tahun di sekolah masingmasing.Untuk itu, seperti dikutip Kompas, 22/6 Arief Rachman mengusulkan agar siswayang nilai UN-nya masih dalam ambangbatas toleransi tetap diluluskan tanpaperlu mengikuti ujian ulangan. Sebagaipraktisi pendidikan yang sudah berpengalaman puluhan tahun, Arief Rachmanpercaya bahwa kemampuan dan kecerdasan anak didik bukan hanya ditentukandengan ujian yang hanya dua jam. Namun, perlu juga mempertimbangkankeberhasilan proses belajar dari kelas I,II dan III. Dan itu, hanya dewan guru dankepala sekolah yang tahu masing-masingprestasi siswanya. ■ ADKebijakan ujian nasional yang dicanangkan pemerintah salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikannasional. Dengan membuat standar soal yang sama untuk mendapatkan jawaban yang sama pula dari semua pesertadidik di seluruh pelosok negeri ini.Namun, tidakkah pemerintah menyadari bahwa kondisi pendidikan di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda, bahkanmengalami kesenjangan yang demikian tinggi. Kesenjangan itu berupa infrastruktur pendidikan, tenaga pengajar dan materipelajaran yang tidak semuanya sama. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil belajar.Menyimak pernyataan dua kepala sekolah di SMK Kelautan Majene, Sulawesi Barat dan SMA Dharma Kirti di KabupatenKarangasem, Bali, yang semua siswanya tidak lulus Ujian Nasional, mereka mengakui betapa dalamnya jurang kesenjanganpendidikan di daerah itu. “Guru-guru yang kami punyai hanya dua yang berstatus pegawai negeri. Itu pun dengan gaji yangsangat minim. Bagaimana mereka bisa konsentrasi mengajar jika harus cepat-cepat mencari nafkah di luar karena gajinyasebagai guru tidak layak. Para siswa kami pun juga belajar sambil mencari nafkah,” ujar Kepala Sekolah SMA Dharma Kirti,Karangasem, Bali pasrah ketika diwawancar SCTV.Fasilitas yang tidak memadai serta guru-guru yang kurang berkualitas dengan gaji yang sangat minim memang akanmempengaruhi hasil didik. La Ode Ida berpendapat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, bukan Ujian Nasionalyang perlu dilakukan. Melainkan terlebih dahulu mendukung berbagai keperluan dalam proses belajar mengajar sehinggapara guru dan murid secara bersama-sama konsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan. ■ ADMeningkatkan Kualitas Pendidikan
                                
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58