Page 48 - Majalah Berita Indonesia Edisi 18
P. 48
48 BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006APBN-P 2006 Masih Terlalu OBertitik tolak dari kinerja perekonomian, baik secaraeksternal maupun internal, sepertinya akan membuat APBN2006 bernasib sama dengan APBN tahun sebelumnya, yangmendapat revisi.ika kondisi perekonomianmengalami perubahan yangsignifikan, revisi APBN kerap,bahkan wajib ditempuh. Tidak berarti tidak ada persoalan samasekali jika pemerintah merevisiAPBN. Bagi banyak pelaku usaha, revisi APBN memicu persoalan pelik,terlebih bagi unit-unit usaha yangmenjadi rekanan pemerintah ataupun unit-unit usaha yang memilikibasis bisnis di bidang infrastrukturdan barang-barang publik. Umumnya, mereka selalu menempatkanAPBN sebagai barometer utama dalam menyusun rencana bisnis (business plan).Itulah sebabnya, dalam kondisi perekonomian yang tidak cukup stabil,kalangan pengusaha berharap agarpenyusunan APBN lebih moderat,sehingga penyusunan rencana bisnismereka pun tidak terdorong untukikut-ikutan optimis dan akhirnya merugikan, karena harus mengevaluasirencana bisnis yang telah merekabuat sebelumnya.AsumsiAPBN 2006 harus menjalani prosesrevisi, semata-mata karena faktor optimisme pemerintah. Kenyataannya,asumsi-asumsi yang dipergunakanuntuk membangun dalam APBN2006, jauh dari takaran realistis. Initerlihat dari perekonomian nasionalyang tidak menunjukkan kinerjayang membaik, jika tidak mau disebutjustru mengalami penurunan.Lalu apa yang sesungguhnya mendorong pemerintah menyusunasumsi-asumsi APBN yang sedemikanoptimis? Nampaknya pemerintah hanya mencoba menyemangati diri sendiri agar bekerja lebih serius untukmencapai target-target yang telah ditetapkan.Ironisnya, hasil revisi APBN 2006,bagi banyak kalangan, justru dipandang masih tetap terlalu optimis, sehingga dikhawatirkan target-targetyang ditetapkan tidak akan dapat dicapai. Hal ini dapat ditelusuri kembalidengan mengkaji tingkat kelayakanasumsi-asumsi yang digunakan untuk membangun APBN-Perubahan2006, inflasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomiDari sisi pertumbuhan ekonomi misalnya, penetapan tingkat pertumbuhan 6,2% pada PDB yang kemudiandalam APBN 2006 direvisi menjadi5,9%, tidak cukup beralasan. MenurutBank Dunia, tingkat pertumbuhanekonomi yang dapat dicapai Indonesia tahun 2006, akan relatif sama dengan tahun sebelumnya, yakni 5,5%.Rendahnya pencapaian pertumbuhan ekonomi ini tidak terlepas dari volume investasi yang rendah, baik Penanaman Modal Dalam Negeri(PMDN) maupun Penanaman ModalAsing (PMA). Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPN) sebagaimana yang dilaporkan HarianBisnis Indonesia, pertumbuhan PMAmencapai 165% dengan nilai investasiUS$ 8,55 miliar dari tahun sebelumnya US$ 3,22 miliar. SementaraPMDN pada tahun 2005 tumbuh sebesar 36,5% dengan total investasi sebesar Rp 16,635 triliun dari tahun sebelumnya Rp 12,19 triliun.Dengan pertumbuhan investasiyang cukup baik pada tahun 2005,ternyata hanya mampu mendorongpertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%.Dengan demikian dibutuhkan volumeinvestasi yang lebih besar lagi untukmencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,9% sebagaimana yangditetapkan dalam APBN-P 2006.Namun untuk mencapai pertumbuhan investasi yang lebih besar harusmampu membangun iklim investasiyang kondusif.Iklim investasi menjadi permasalahan akut dalam perekonomian Indonesia. Dalam acara Presidential Roundtable with Foreign Investor di IstanaMerdeka, Desember 2005, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para investor asing mengeluhkan masalah perburuhan dan perpajakan, sebagai kendala berinvestasi di Indonesia.Di samping itu, juga ditengaraiperilaku birokrasi yang lamban dankorup, ketiadaan penegakan hukum,infrastruktur yang minim, serta keamanan yang tidak kondusif.Sementara jika mengandalkan duasumber investasi dalam negeri, pemerintah melalui APBN dan PMDN,sama-sama tidak memiliki performaninvestasi yang baik. APBN, selaindibayang-bayangi defisit, juga tidakmemiliki tingkat penyerapan yangbaik. Bahkan baru-baru ini dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang diharapkan sebagai stimulus pembangunan di daerah,justru diparkir di BI dalam bentuk SBI,jumlahnya tidak kurang dari Rp 32triliun.Di sisi lain, harapan peningkatan investasi kalangan swasta dalam negeri, lebih tidak memungkinkan lagi ditengah tingginya tingkat suku bungaperbankan. Sementara itu, GubernurBank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, sebagaimana yang dilaporkanHarian Kompas (6/6), masih engganmenurunkan BI Rate secara drastis.Mei 2006, BI Rate masih berada padakisaran 12,50%. Burhanuddin berkilah kondisi internal maupun eksternal tidak memungkinkan penurunan BI Rate dalam waktu dekat, karena ditakutkan justru mengganggustabilitas ekonomi.Bagi pihak perbankan, tingginyatingkat suku bunga perbankan yangmendorong tingginya tingkat BI Rate,JBERITA EKONOMI