Page 31 - Majalah Berita Indonesia Edisi 33
P. 31


                                    BERITAINDONESIA, 15 Maret 2007 31BERITA UTAMAruntungen 45bagai perubahan dalam sistem, amandemen tersebut mengubahat, padat dan fleksibel.dalam melaksanakan fungsi legislasinya,sangat tergantung pada DPR.Lebih ironis lagi, di tingkat UU, kewenangan DPD semakin direduksi. Sebagaicontoh, dalam UU Nomor 22/2003 tentangSusunan dan Kedudukan (Susduk) MPR,DPR, DPD, dan DPRD. Di dalam undangundang tersebut kewenangan DPD semakin dipersempit. Fungsi legislasi DPD dibatasi pada hak mengajukan pendapat pada pembicaraan tingkat pertama, dan hanya memberi masukan pada tahap pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah.Demikian juga dalam hal fungsi pengawasan. UUD memberikan hak pengawasanyang sama kepada DPD dan DPR, namundalam UU Susduk, rumusan pengawasanuntuk DPD justru dibedakan dengan DPR.Tirani YudisialTidak hanya DPD yang membawamasalah-masalah baru dalam penyelenggaraan negara pasca amandemen. Lembaga negara lainnya, yang juga dianggapberpotensi mengintrodusir permasalahan-permasalahan baru terhadap penyelenggaraan negara adalah MahkamahKonstitusi (MK). Lembaga tinggi negarayang lahir melalui Amandemen ketigaUUD 1945 ini, ditengarai terlalu powerfull, hingga dikhawatirkan memberiimplikasi-implikasi tidak sehat terhadappenyelenggaraan negara.Kewenangan MK sebagai bagian darilembaga judikatif diatur dalam Pasal 24CUUD 1945 yang diamandemen. Ayat (1)menetapkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhiryang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketakewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentanghasil pemilihan umum.UUD memberikan kewenangan luarbiasa terhadap MK, jelas memperlihatkankewenangan yang luar biasa. Bahkan kewenangan itu semakin strategis ketika MKmenjadi lembaga penentu dilangsungkanatau tidaknya proses impeachment (pemasygulan) terhadap Presiden. Pasal 24C,ayat (2) menetapkan bahwa MK wajibmemberikan putusan atas pendapat DPRmengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. (Baca juga Berita Utama: Pasal Karet Bisa Jatuhkan Presiden).MK beranggotakan sembilan hakimkonstitusi yang ditetapkan Presiden.Mereka diajukan masing-masing tiga orangoleh Mahkamah Agung, tiga orang olehDewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orangoleh Presiden. Ketua dan Wakil Ketua MKdipilih dari dan oleh hakim konstitusi.Banyaknya putusan MK yang kontroversial, bahkan beberapa di antaranyamemutus sesuatu yang tidak dimintapemohon hak uji, dapat membuat MKmenjadi tirani yudisial. Terutama dengankewenangannya untuk memutus sesuatuyang bersifat final dan mengikat. Dantidak ada satu lembaga pun yang ditugaskan oleh UUD untuk mengawas MK. Lainhalnya dengan lembaga kepresidenanyang diawasi oleh DPR.Wakil Ketua MPR AM Fatwa mengatakan, ke depan perlu dipikirkan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk dapatmengontrol setiap putusan MK dan dapatmengajukan permohonan keberatan terhadap putusan tersebut. Pandangan semacamini muncul dalam diskusi publik yang digelar Komisi Hukum Nasional. Diskusi itudihadiri oleh banyak pakar hukum tata negara, seperti Harun Alrasjid, Mahfud MD,Ketua KHN JE Sahetapy dan SekretarisKHN Mardjono Reksodiputro.Komisi Yudisial dan AbsennyaPengawasan HakimKomisi Yudisial yang dibentuk padaamandemen ketiga UUD 1945, dalam Pasal 24B ayat(1) menyebutkan merupakanlembaga mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangkamenjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim.Dalam pengaturan lebih lanjut tentangKomisi Yudisial, pemerintah bersamaDPR telah membentuk UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yangdi dalamnya mengatur tentang pengawasan hakim. Namun belakangan, fungsipengawasan hakim dibatalkan putusanMahkamah Konstitusi melalui putusanperkara judicial review No 005/PW-N/2006, dengan menyebut segala ketentuanUU KY yang menyangkut pengawasanharus dinyatakan bertentangan denganUUD 1945, tidak mempunyai kekuatanhukum mengikatDalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyebut Pasal 24BAyat (1) UUD 1945 menyiratkan bahwa KYhanya dapat mengawasi pelaksanaan kodeetik dan kode perilaku hakim dalamrangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Namun, pengertian danruang lingkup perilaku hakim tidak diaturdi dalam UU KYHal tersebut menyebabkan adanyapenafsiran yang tidak tepat, terutama olehKY yang menafsirkan bahwa penilaianperilaku dilakukan dengan penilaianputusan. Kewenangan pengawasan etikyang diberikan UUD telah secara sadaratau tidak ditafsirkan dan dipraktikkansebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan.Selain itu, MK menyoroti tidak jelasnyapengaturan tentang mekanisme pengawasan di dalam UU KY. UU itu tidak mengatur bagaimana prosedur pengawasan, siapayang mengawasi, obyek yang diawasi, daninstrumen yang digunakan di dalam pengawasan. Konsepsi pengawasan yang digunakan oleh UU KY pun dinilai tidak tepat.Namun berbagai elemen masyarakatmenyesalkan putusan Mahkamah Konsitusi tersebut. Bahkan, seperti dilaporkanHarian Kompas, 25 Februari 2006, tidakkurang dari Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum IndonesiaPatra M Zen bersama beberapa LSM mengecam putusan tersebut. „ MH, SHfoto-foto: berindo wilson
                                
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35