Page 32 - Majalah Berita Indonesia Edisi 43
P. 32
32 BERITAINDONESIA, 02 Agustus 2007BERITA MEDIARUU PemasungKebebasan PersRUU revisi Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Persdiluncurkan pemerintah. Beberapa pasal dalam RUU ituberpotensi menghidupkan kembali otoritarian Orde Baru yangmemasung pers.ebebasan pers sebagaimana diaturdalam UU No.40/1999, kembali dicoba dipasung pemerintahdalam hal ini DepartemenKomunikasi dan Informatikadengan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan UU No.40/1999 tentang pers.Secara garis besar, draft revisi UU Pers itu mengungkapkan tiga hal penting yangmengancam kebebasan pers.Pertama, ketentuan yangmengatur sensor terhadappers Indonesia. Ketentuan inimemungkinkan pers bisa sampai dibredel. Kedua, ketentuanyang mengatur adanya syarattertentu yang harus dilewatiperusahaan pers. Ketiga, ketentuan yang menyebutkanbahwa persyaratan dimaksudakan diatur dengan PeraturanPemerintah (PP). Ketentuanini memungkinkan pemerintah “memainkan” UU Persmelalui PP tersebut.Lebih terperinci, beberapaketentuan dari RUU Perubahan UU No.40/1999 itu yangbanyak diprotes kalangan persadalah: Pertama, Pasal 9 ayat3 dan 4. Pasal ini mengaturberbagai persyaratan yangharus digenapi perusahaanpers, persyaratan yang disebutdengan istilah Standar Persyaratan Perusahaan Pers(SPPS). Ketentuan ini mengindikasikan bahwa pemerintahingin mengembalikan sistemSurat Izin Usaha PenerbitanPers (SIUP) seperti di era OrdeBaru. Salah satu ketentuanSPPS itu misalnyamenyebutkan, pemerintahmenetapkan modal minimumbagi seseorang untuk mendirikan perusahaan pers. Dengan ketentuan itu, pemerintah mungkin berusaha membatasi munculnya media-media cetak yang sebentar terbit-sebentar tutup. Tapi ketentuan itu juga sekaligus menyiratkan, bahwa hanya pemodalbesarlah yang bisa menerbitkan media cetak.Hal lain yang juga mendapatprotes adalah ketentuan yangmengatur tata cara pers melayani hak koreksi dan hak jawab. Menurut Pasal 5 ayat 4RUU tersebut, hak koreksi danhak jawab akan ditetapkandengan PP. Padahal di negaramana pun, hak koreksi dan hakjawab adalah hak dari redaksi.Ketentuan yang menetapkanstandar “pendapatan yanglayak” bagi wartawan dalamRUU itu, juga mendapat protesdari industri pers. Ketentuanitu dianggap sebagian pihakmerupakan upaya pemerintahmencampuri urusan perusahaan pers. Dalam hal ini, perancang revisi UU ini barangkalilupa satu hal yakni, bahwapekerjaan wartawan itu adalahpekerjaan profesional. Jadi,mengingat tingkat kompetensidan profesionalisme wartawanyang berbeda-beda, maka soalgaji wartawan seharusnya adalah urusan antara media danwartawannya. Dicantumkannya ketentuan ini menurutberbagai pihak, diduga hanyatrik Depkominfo mencoba merebut hati sejumlah wartawanyang selama ini mengeluhkangaji tak cukup. Seperti dikatakan Abdullah Alamudi, anggota Dewan Pers dan Pengajarpada Lembaga Pers Dr. Soetomo dalam tulisannya di Majalah Tempo (18-24/6), “Dengan RUU Perubahan UUPers, Depkominfo agaknyaberusaha menghabisi mediamedia cetak yang dikelolasecara tidak profesional. Padasaat yang sama, departemenitu mencoba merebut hati sejumlah wartawan yang selamaini mengeluh mendapat gajitak cukup dan karenanya berdalih terpaksa menerima “amplop”. Kita tahu ini sebuahpelanggaran Kode Etik Jurnalistik.”Berbagai protes mengalirdari berbagai lembaga pers terhadap RUU ini. “Tampaknyakesadaran pemerintah perludibangunkan lagi menyangkutsoal betapa pentingnya persyang merdeka. Ini bukan melulu soal wacana politik, yaknikontrol kekuasaan yang selalucenderung korup. Atau wacanateoritis yang menyelipkan perssebagai tesis tambahan daritrias politika, eksekutif, legislatif, dan judikatif, dengantambahan yang disebut pilarKHak koreksi dan hak jawab ditetapkan dengan PP.Modal Minimum: Pemerintah menetapkan