Page 37 - Majalah Berita Indonesia Edisi 46
P. 37
BERITAINDONESIA, 20 September 2007 37LENTERAtoleran, katanya, mampu menemukanjalan keluar dan problem solving yangpantas dan mengangkat martabat danharga diri dalam berbagai bidangkehidupan.Guru, Cita-cita MuliaPria kelahiran Gresik 30 Juli 1946 ini,telah berhasil mewujudkan ide agungsebuah paradigma baru pendidikan(pendidikan terpadu) di Al-Zaytun. Dipondok pesantren modernkomprehensif ini, ia mewujudkanpendidikan terpadu yangdisimpulkannya pada pendidikanekonomi dan ekonomi-pendidikan, dimana pendidikan harus diciptakansebagai gula dan ekonomi sebagaisemutnya.Jangan malah ekonomi yangdiciptakan sebagai gula dan pendidikan(rakyat) jadi semutnya. Bila pendidikansebagai gula dan ekonomi sebagaisemut, maka semut (ekonomi) akanmendatangi orang yang terdidik. Karenasemut adalah makhluk yang mengertikualitas dirinya terhadap gula, sehinggasemut tidak akan terkena sakit gula.Itulah prinsip dasar dalam pendidikanterpadu yang diwujudkannya di AlZaytun, sebuah kampus peradabanmilenium ketiga sebagai pusatpendidikan dan pengembangan budayatolerasi dan perdamaian. Lembagapendidikan sekaligus lembaga ekonomimandiri yang diimpikannya sejak belia.Sejak kecil, dia telah bercita-citamenjadi guru dan mendirikan sebuahlembaga pendidikan. Dengan maksudagar peradaban umat manusia tidakputus, maka dengan berbagaikemampuan yang ada padanya, diaberusaha menyambungnya. Itulah citacita mulianya mendirikan pesantren(kampus) ini, di samping untukmerangkum kehendak bangsa Indonesiasendiri, menjadi bangsa yangdiperhitungkan di antara bangsa-bangsalain.Pria yang sejak kecil bercita-cita jadiguru, dan yang hingga akhir hayat akantetap menjadi pembelajar dan pendidik,ini berpendapat bahwa peradabantersebut harus disambung denganmanajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan’dalam visi demokrasi, toleransi danperdamaian. Visi inilah yang dipakainyadalam membangun dan mengelola AlZaytun.Sekilas berkisah mengenai awal mulaadanya ide atau cita-cita pendirianlembaga pendidikan ini. Diamengatakan bahwa sebagaimana orangpada umumnya selalu punya cita-citauntuk berlaku, berbuat dalam kebaikan,demikian juga halnya dengan dirinya.Dimotivasi sosok ayahnya, yangsangat memengaruhi dan menguatkancita-citanya menjadi guru danmendirikan lembaga pendidikanterpadu. Ayahnya, seorang pemimpin,seorang kepala desa. Walaupun hanyasebagai kepala desa, namun ayahnyaditakdirkan oleh Ilahi menjadi orangyang suka mendidik di lingkungannya,sampai mendirikan sebuah sekolah yangdinamai orang ketika itu ‘Sekolah Arab’karena setiap hari mengajarkan bacaAlquran dan menulis Arab.Di samping itu, Sang Ayah jugaseorang pejuang. Sebagai seorangpejuang, Sang Ayah sengaja mempunyaibanyak nama, sekali waktu dipanggilPanji Gumilang, Syamsul Alam,Mukarib, atau Imam Rasyidi. MelihatSang Ayah yang berdimensi majemukitu, tumbuh perasaan bangga dansenang pada diri Panji Gumilang kecil.Bangga melihat orang tuanya yangkepala desa, yang konon setiap hariharus lapor kepada Belanda, tapisekaligus juga pejuang dan mendirikansekolah.Sehingga dalam kebanggaan PanjiGumilang kecil itu, timbul juga rasapenasaran melihat sikap ayahnya.“Pihak mana dipilih oleh orang tua ini?”begitu pertanyaan dalam hatinya saatitu. Maka ia akhirnya bertanya, “Ayah!Kenapa harus laporan ke Ndoro AsistenWedana?”“Karena dia yang menjadi pimpinan dikecamatan ini,” jawab Sang Ayah.Namun jawaban Sang Ayah belummenjawab keingintahuan dan teka-tekidi hatinya. “Lalu, mengapa ayah ini kokikut berjuang?”“Karena kita akan merdeka,” jawabSang Ayah.Panji kecil masih penasaran danbertanya lagi: “Mengapa Ayah membuatsekolah?”“Karena kamu dan kawan-kawanmuharus pintar, agar bangsa kita tidakdijajah bangsa lain,” begitu jawabanSang Ayah saat itu.Jawaban itu direnungkan sampaiakhirnya dia paham dan semakinbangga terhadap ayahnya. Perenunganitu semakin mendalam dalam hati, jiwadan pikirannya, hingga ia masuksekolah. Pagi hari, Panji Gumilang kecilmasuk Sekolah Rakyat (SR), SekolahDasar sekarang. Lalu petang, masuksekolah yang didirikan orang tuanya,‘Sekolah Arab’. Sejak kelas satu SRtumbuh cita-citanya menjadi guru.Saat itu ada program pemberantasanbuta huruf (PBB) untuk orang dewasa.Lalu, suatu hari, saat baru pulangsekolah, ia ditanya orang tuanya: “Kamudiajar apa tadi di sekolah?”Kemudian ia jawab, “Ini pak, diajaribaca po,lo,wo, go, ro, no, go, sos, ro, to,mo, ho,…”. Masa itu yang diajarkanbukan a,b,c,d, tapi po, lo, wo, danseterusnya.Orang tuanya pun bertanya lagi,“Kamu sudah bisa baca dan nulis?”“Bisa, Pak,” jawabnya.Sejenak Sang Ayah menatap. Laluayahnya menganjurkan: “Nanti malam,kamu mengajar ya…!”“Mengajar siapa, Pak?”“Itu, orang-orang tua yang butahuruf.”Tanpa pikir panjang, Panji kecil punmengiyakan, menurut. Dia pun lantasmengajar sebagai upaya pemberantasanbuta huruf orang-orang yang sudahsepuh. Ia merasa bangga dan senang.Apa yang dipelajarinya di sekolah padapagi hari, itu yang diajarkannya padamalam hari. Pagi hari ditanya Pak Guru,disuruh menulis, dia bisa. Malamharinya, dia mengajar beberapa orangbuta huruf, sekaligus mengulangpelajaran yang diterima di sekolah padapagi harinya.Orang-orang sepuh itu pun menjadimelek huruf. Hal ini menanamkan rasabangga tersendiri baginya. Mengajarorang-orang tua sepuh itu,membangkitkan perasaan sangat banggadan senang. Sejak itu, rasa senangnyajadi guru pun makin tumbuh.Saat itu, suasana belajar membuatsesama murid senang berkompetisi.Siapa di antara mereka yang palingpintar, tercermin dari ponten (nilai)yang diberikan gurunya. Nilai itumenjadikan kebanggaan danditunjukkan pada orang tua mereka.Alat-alat belajar yang terdiri dari sabak(batu tulis) dan grip (pensil batu),merupakan warna lain dari suasanasekolah ketika itu. Buku tulis masihdianggap langka dan mahal.Semua hasil pelajaran mendapat nilaidari sang guru, dengan menuliskanangka atau ponten di sabak tersebutdengan kapur tulis. Manakala Gumilangkecil mendapat angka 9 atau 10, makaasbak bertuliskan ponten kapur tulis itupun dia tempelkan di pipinya. Angka itutercetak di pipinya, meski denganterbalik. Nilai yang kemudian diatunjukkan kepada orang tuanya. “Lihat,Pak. Aku dapat nilai 9,” katanya denganbangga.Sesaat setelah dia tamat SR, sekolah(madrasah) yang tadinya dibina olehorang tuanya, entah kenapa diambil-alihsebuah yayasan. Bukan orang tuanyalagi yang mengurus. Pengambilalihanmadrasah itu berkesan bagi diri dankeluarganya. Bersamaan dengan itu, iapun kemudian meninggalkan Gresik,kampung kelahirannya itu. Tidak mautinggal di sana lagi. Tekadnya, ia harusbelajar jauh entah ke mana. “Biar