Page 38 - Majalah Berita Indonesia Edisi 46
P. 38


                                    38 BERITAINDONESIA, 20 September 2007LenteraL ENTERA38Lulus dari PondokPesantren Gontor,Panji Gumilangmelanjutkanstudinya keInstitut AgamaIslam Negeri (IAIN)SyarifHidayatullah diCiputat.bagaimanapun saya harus belajar jauh.Jauh dari kampung,” itulah yang selaluada di benaknya.Tepatnya pada tahun 1961, Panji kecilmembuka lembar baru dalam bukukehidupannya. Dia melanjutkansekolahnya di Pondok Pesantren Gontor,sebuah pesantren terkemuka dandikenal dengan pondok pesantrenmodern yang menghasilkan santriberkualitas. Gresik dan Gontor yangberjarak 210 km itu terasa tambah jauhkarena bus waktu itu masih bus kayuyang setiap 10 km harus diengkol lagi.Sehingga jika naik bus, subuhberangkat, magrib baru tiba.Dia amat mengagumi Gontor, sebagaisekolah yang dibanggakannya. Kurunwaktu enam tahun, tentu tak sedikituntuk mencangkul ilmu, mengerukpengetahuan. Dia banyak memetikhikmah, pelajaran dan ilmu yangkemudian sebagian ditularkannya dalammendidik santri di Al-Zaytun yangdikembangkannya kemudian. Karenakebanggaannya dengan PesantrenGontor tersebut, anaknya yang pertamasampai yang keempat pundisekolahkannya di sana.Hikmah paling berharga darimenuntut ilmu di Gontor, acapkalimenemukan pengalaman dalam prosespembelajarannya. Motivasi dankeinginan selalu menjadi guru,membuatnya sangat tertarik mengamaticara mendidik dari berbagai guru yangmengajar. Metode dalam membimbingatau pun cara memberi pelajaran, amatmenjadi perhatiannya.Suatu saat, dia pun mendapat didikanyang cukup keras dari seorang guru. Diapernah dihukum, ditempeleng danrambutnya dicukur. Lalu terbersit dalamhatinya, apakah dapat dibenarkan caramendidik semacam ini? Kenangan ituterasa susah dibuang dan malah terusdiingat sampai sekarang. Bukan karenadendam, tapi karena dia tidak setujudengan cara mendidik seperti itu.Pengalaman itu akhirnya begitu cepatdan kuat menanamkan hal positif dalamhatinya. “Kalau saya punya tempatpendidikan, saya akan memberikebebasan, tidak akan aku cukurrambutnya, tidak akan aku hukumdalam bentuk kekerasan fisik, aku hanyaakan beri isyarat agar dimengerti,”begitulah kata hatinya ketika itu yangakhirnya dibuktikannya kemudiansepanjang karirnya sebagai guru,terutama di Al-Zaytun.Selesai dari Gontor, pada 1966, iaberangkat ke Jakarta. Ketika itusuasananya masih belum tenang, setelahperistiwa Gerakan 30 September/PKI.Karena itu, orang tuanya, awalnya tidakmengijinkan, karena konon kataorangtuanya, Jakarta adalah tempatkekerasan.Tanggal 30 Setember 1965 memangtelah mengubah wajah negeri ini. Situasipolitik saat itu memanas. Pascaperistiwa itu, tahun 1966 mahasiswaberhamburan ke jalan. Jakarta menjadiseperti bara api. Saat itu, PanjiGumilang menyatakan niatnya untukpergi ke Jakarta, maka kepergiannyatidak direstui orang tuanya.“Semua bisa terjadi di Jakarta,sementara kamu belum punya kawandan kami juga tidak punya kawan disana,” kata orang tuanya.Bukanlah Panji, jika dia langsungsurut. Semangatnya terus menggebu.Dia meyakinkan orang tuanya, untuktidak merasa khawatir, “Saya inginmembuat kawan bertambah di sana,doakan saja.” Akhirnya, orang tuanyamerestui, walau dengan berat hati.Dia pun menjejakkan kaki di ibukotanegeri ini. Di Jakarta, dia kemudianmasuk ke Institut Agama Islam Negeri(IAIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat,sekarang menjadi Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Saatitu jalan menuju Pasar Jumat hingga keCiputat, tempat institut itu berada,belum semulus seperti saat ini, jalanbelum aspal, masih tanah merah.Kendaraan dari Kebayoran Lama keCiputat juga hanya ada sampai pukulempat sore.Panji datang ke Jakarta bukan untukSyaykh Panji Gumilang sedang bercengkrama dengan cucu-cucunya. bersenang-senang. Apa pun
                                
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42