Page 29 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 29
BERITAINDONESIA, Juni 2010 29BERITA NASIONALApa yang SalahMaraknya kekerasan berkelompok diperkirakan akibatlemahnya penegakan hukum dan wibawa aparatur negara.ika dirunut ke belakang, kekerasanatau kerusuhan marak setelah reformasi 1998. Hal itu mungkin terpengaruh atas keberhasilan massamenurunkan Presiden Soeharto darikursinya. Semakin banyak massa yangdikerahkan, semakin besar pula harapankalau tuntutannya akan dikabulkan.Fenomena kekerasan beramai-ramai inisangat terasa belakangan ini. Dalam duabulan terakhir saja misalnya, di IbukotaJakarta terjadi dua kekerasan yang melibatkan banyak massa. Pertama, kekerasandi Tanjung Priok pada pertengahan April2010 yang menewaskan tiga orang SatpolPP dan merusak puluhan kendaraan.Kedua, di kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat akhir Mei 2010 yangmenewaskan satu orang warga dan merusak puluhan mobil dan rumah.Mengenai faktor pemicu, jika sebelumnya kekerasan berkelompok ini berkaitandengan persolan politik seperti sengketapilkada atau pilkades, belakangan pemicunya semakin merambah ke persoalanmacam-macam, seperti klan, kampung,kerja, bahkan persoalan pribadi.Di bidang politik, Indonesia yang masihdalam proses pendewasaan demokrasimemang cukup rentan dengan konflikkonflik berkelompok. Misalnya, sebagianmasyarakat masih belum terbiasa menerima kekalahan dalam sistem pemungutan suara. Di lain pihak, belum semua masyarakat mau dengan ikhlas menyelenggarakan pemilihan yang jujur. Bahkan,beberapa kelompok menganggap kekuatan massa itu juga merupakan bagiandari demokrasi. Peristiwa kekerasandalam demonstrasi menuntut pembentukan provinsi tapanuli di Medan Sumatera Utara beberapa waktu lalu misalnya,karena pendemo menganggap tuntutannya lama direspon DPRD, massa punmelakukan demo kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya ketua DPRDProv Sumut waktu itu.Di bidang sosial, seperti bentrok antardesa, antar-klan ataupun yang lain,pemicunya diduga akibat kesenjangansosial dan berkurangnya rasa kebersamaan dan toleransi di tengah masyarakat. Di masyarakat Papua dan NusaTenggara Barat, bentrok antar desa ataudusun seperti menjadi bagian dari kehidupan mereka. Fenomena ini diduga karena kurangnya rasa kebersamaan antarawarga bertetangga. Demikian halnya dilingkungan kampus, kalangan mahasiswapun sudah terbawa menyampaikan protesyang bernuansa anarkis seperti melakukan pengrusakan kampus dan lain sebagainya. Sementara kekerasan yang terjadidi berbagai perusahaan, seperti yangterjadi di Pulau Batam baru-baru inididuga dipicu oleh kesenjangan sosialantara pimpinan dan karyawan. Sedangkan kekerasan yang terjadi terhadappemeluk agama, seperti kekerasan terhadap Ahmadiyah, jelas karena kurangnya rasa toleransi di antara pemelukagama.Dalam beberapa kasus, bentrok antardua kelompok masyarakat juga kadangterjadi hanya karena masalah sepele.Dalam kasus bentrok di kawasan DuriKosambi, Cengkareng misalnya, bentrokan antara kelompok Betawi danMadura itu sebenarnya hanya dipicumasalah sederhana, bukan konflik antaradua etnis. Kejadiannya hanya karena adadua mobil serempetan. Pengemudi sedanHonda Jazz cekcok mulut dengan sopirtaxi di dekat lapak milik etnis Madura.Mereka yang terlibat cekcok diminta pergidan tidak mengganggu arus lalulintas.Ketika meminta menjauh, rupanya adakata-kata yang dirasakan oleh pengemudiHonda Jazz sebagai pelecehan. Karenatidak terima, malamnya dia kembalibersama beberapa temannya dari organisasi Forkabi. Malam itu, bentrokan puntak terhindarkan.Masih banyak lagi contoh kekerasanmassa yang sudah terjadi selama ini.Semuanya itu diperkirakan karena masihlemahnya penegakan hukum di negeri ini.Seiring dengan itu, ketaatan hukumsebagian besar masyarakat juga masihjauh dari yang diharapkan. Karena menurut sebagian orang, hukum tidak bisadipercaya dan dianggap hanya milik orangtertentu saja.Di samping penegakan hukum, menjamurnya perilaku kekerasan massa inidiperkirakan tidak lepas juga dari merosotnya wibawa aparatur negara di matamasyarakat. Kemerosotan wibawa ituterjadi karena perilaku para elit politikdan penyelenggara dianggap tidak menunjukkan keteladanan.Seperti pendapat Ketua Setara InstituteHendardi, kekerasan bukanlah konstruksisosial masyarakat Indonesia. Tetapi buahdari para elit politik dan penyelenggaranegara yang gemar melakukan politisasiidentitas untuk memupuk dukunganpolitik publik.Belajar dari pengalaman berbagai peristiwa kekerasan massa selama ini, sudahseharusnya bangsa ini mereformasi berbagai hal dalam kehidupan bernegara danbermasyarakat. Di antaranya, melakukanpenegakan hukum sesegera mungkin, menegakkan wibawa aparatur negara denganmenunjukkan keteladanan, dan menanamkan kembali jiwa kebersamaan dangotong royong kepada masyarakat. BIJKESETANAN: Walau sudah tak berdaya, seorang petugas Satpol PP DKI Jakarta terus dipukulisaat kerusuhan di Koja, Tanjung Priok (14/04/2010)Mobil polisi dibakar perusuhfoto-foto: ist