Page 24 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 24


                                    24 BERITAINDONESIA, Juni 2010BERITA UTAMAilustrasi: sonny pAman SetelahTidak BerkuasaSesuai dengan sifatnya yang selalu ingin dihormati,pemerintahan yang masih dipengaruhi kultur feodal akanmenempuh berbagai cara termasuk memanipulasi hukumuntuk mempertahankan kekuasaannya.ika dahulu cara-cara yang ditempuh sering dibarengi dengankekerasan, maka pemerintahantersebut disebut pemerintahanyang diktator. Dari sifatnya, sebenarnyapemerintahan yang feodal otoriter dandiktator, sama saja yakni sama-samamemaksakan kehendaknya untuk mempertahankan kekuasaan. Bedanya, hanyadari kualitas caranya.Kini di era demokrasi ini, pemerintahanfeodal yang otoriter dan diktator ataubertangan besi sudah semakin sedikitjumlahnya. Namun, pemerintahan yangdipengaruhi kultur feodal diyakini masihlanggeng. Gaya pemerintahan tersebutmasih eksis tapi sering menyaru sepertiseorang yang demokratis. Upaya yangdilakukan untuk mempertahankan kekuasaan sering tidak kasat mata, sepertilewat jaringan intelijen, bahkan seringbertameng kepentingan rakyat sepertimemberi bantuan dan sebagainya.Merujuk pada cara-cara seperti disebutkan di atas, maka tidak terlalu salah jikabeberapa pengamat menganggap pemerintahan Republik Indonesia, mulai dariPresiden Soekarno, Presiden Soeharto,Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati,hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini sebagai pemerintahan yang masih akrab denganpengaruh feodalisme. Anggapan bahwapengaruh feodalisme masih melekat hingga era pemerintahan SBY tersebut dikemukakan karena menurut mereka, pemerintah juga sering memakai jaringan inteluntuk mempertahankan kekuasaannya.Di samping itu, beberapa kebijakan pemerintahan sekarang yang seolah-olahhendak membantu rakyat, tapi menurutpara pengamat dianggap hanya untukpencitraan diri penguasa dalam upayamempertahankan kekuasaan.Adanya upaya membatasi kebebasanmedia massa juga merupakan indikasimasih kuatnya pengaruh feodalisme.Dugaan ini mencuat, antara lain, setelahsempat muncul draft Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia melalui Kementerian Komunikasi danInformasi, yang notabene bisa berdampakpembatasan kebebasan media massa.Berdasarkan pasal 23 RPM Konten Multimedia itu disebutkan, bahwa Tim Konten Multimedia akan melaksanakan pemeriksaan terhadap satu atau serangkaiankonten yang berdasarkan Laporan dan/atau Pengaduan dari masyarakat, penegakhukum, dan/atau Penyelenggara didugamerupakan Konten yang dilarang. Setelahmendapat protes dan kritikan keras dariberbagai pihak, pembahasan RPM KontenMultimedia ini sejenak macet. Namunusulan itu dianggap sudah cukup menjelaskan bahwa pemerintah punya niatanuntuk mengontrol informasi publik.Setelah itu, sempat pula muncul Rancangan Undang Undang (RUU) IntelijenNegara yang cenderung akan memanfaatkan fungsi intel untuk kepentingankekuasaan. Draft RUU Intelijen Negaramisalnya, memasukkan kewenanganintelijen untuk melakukan penangkapandan penahanan terhadap siapa pun yangdicurigai. Tujuan yang tersirat dari RUUini cukup jelas yakni agar tidak ada pihakyang bisa mengutak-atik kekuasaanpenguasa. Jika RUU ini tadinya lolos, ituberarti rezim penguasa sekarang bakallebih otoriter dari pemerintahan OrdeBaru.Bukti yang paling nyata adalah beritatentang dibekuknya seorang anggotaintelijen dari TNI AD saat mengikuti rapatGerakan Indonesia Bersih (GIB). Inteltersebut dikatakan sempat mengakuaktivis saat diinterogasi. Kedok sang intelterbongkar ketika rapat di markas GIB,Sabtu (27/2). Menurut aktivis GIB LaluHilman, peserta rapat yang berasal dariberbagai gerakan, sebelumnya curigaJ
                                
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28