Page 20 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 20


                                    20 BERITAINDONESIA, Juni 2010BERITA UTAMAfoto-foto: istdulu sudah menjadi kebiasaan, seoranglurah yang merupakan penguasa lokalberkewajiban mengumpulkan upeti berupa hasil bumi suatu desa kepada pejabatdi atasnya. Demikian selanjutnya, pejabatmenengah mengumpulkan upeti daribeberapa desa untuk kemudian diserahkan kepada pejabat yang lebih tinggi lagi.Dalam hal-hal inilah cikal-bakal mulaiterjadinya praktek korupsi, dimana parapejabat itu mulai tergiur akan potensikeuntungan yang lebih besar. Untukmemperoleh itu, tidak mungkin dilakukandengan cara memotong hasil upeti yanghendak diserahkan kepada penguasapusat. Akhirnya, mereka pun mengeksploitasi petani untuk menyerahkanupeti yang lebih banyak. Praktek itu terusberlangsung pada masa kolonialisasiBelanda bahkan hingga masa kemerdekaan.Pada masa Orde Baru, praktek korupsimencapai puncaknya. Ketika itu, tindakkorupsi seakan bukan lagi hal yangditakutkan. Bahkan, pejabat yang tidaktahu mengumpulkan uang dari negaramaupun rakyat dianggap pejabat yangbodoh. Sementara itu, rakyat hanya dapatmelihat tanpa bisa berbuat apa-apa.Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mahfud MD, dalam menanggapi banyaknyakasus korupsi di daerah bahkan mengatakan bahwa korupsi di Indonesiajustru timbul sesaat setelah Orde Baru.Namun, berbeda dengan pendapat yanglain, dia menyebut bahwa banyaknyakasus korupsi itu bukan indikator bahwakorupsi telah membudaya di Indonesia.“Jika korupsi budaya, berarti sudahmenjadi kebiasaan yang sulit dihapus,”katanya waktu itu. Jadi menurutnya,korupsi mulai merambah di Indonesiasejak 1974 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Sebelum Indonesia merdeka, praktik korupsi menurutnya cenderung tidak ada.Praktek korupsi terus berlanjut padamasa reformasi. Sebagai salah satu agenda dari reformasi, pemerintah memangtampaknya berupaya memberantas praktik korupsi. Namun, akibat masih melekatnya kultur feodalisme, upaya selamaini dirasa belum maksimal. Bahkan padaera reformasi ini, korupsi cenderungsemakin canggih.Salah satu yang mendukung pendapatini, datang dari Denny Indrayana PhD.Pakar tata negara dari UGM yang kiniberada di belakang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu,tahun 2007 lalu ketika masih menjadiDirektur Pusat Studi Antikorupsi UGMdalam wawancaranya dengan Jawa Posmenyebutkan, agenda pemberantasankorupsi berada dalam tahap paling kritis.Tahap seperti itu katanya sudah berkalikali dilewati, tapi selalu saja gagal,terpuruk, dan kembali ke awal lagi.Lebih lanjut ketika itu dia mengatakan,kita dihadapkan pada keniscayaan tugasKorbankan Hak Warga Negaraalah satu tonggak demokrasiadalah pelaksanaan pemilihanumum. Namun, indikasi tercemarnya Komisi PemilihanUmum (KPU) oleh kultur feodalisme,membuat banyak hak dasar warga negara rusak.Pemilihan umum (Pemilu) dalammasyarakat demokratis seperti Indonesia dimaksudkan sebagai langkah ataucara untuk memilih pemimpin eksekutifdan anggota legislatif, dua lembaga yangsangat menentukan maju mudurnyalangkah kehidupan bangsa. Untuk memperoleh hasil yang benar-benar demokratis, Komisi Pemilihan Umum (KPU)sebagai pelaksana pemilu harus independen, yang tentu juga harus dimulaidari penyaringan anggotanya yang independen. Yakni, orang yang terbebas darikepentingan satu kelompok politik tertentu, juga terbebas dari sikap ewuhpakewuh pada penguasa, sikap yangselama ini sering dianggap sebagaidampak kultur feodal.Anggota KPU juga seharusnya orangyang tegas dan berani menolak godaanpihak tertentu untuk melakukan penyelewengan data, teknis, maupun hasilpemilu, yang bertujuan untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihaklainnya. Yang tak kalah penting lagiadalah, anggota KPU tersebut bukan tipeorang yang suka “menjilat” penguasa.Demokrasi harus ditempatkan di atasasumsi bahwa setiap warga negara setaradi hadapan hukum. Dengan cara itu,segala bentuk feodalisme diharapkanbisa dimusnahkan. Karena jika masyarakat masih hidup dalam alam feodalisme, demokrasi tidak akan pernahterbentuk. Praktek diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan pemusnahan kelompok minoritas akan tumbuhsubur.Melihat pengalaman beberapa waktulalu, kultur feodalisme sampai sekarangini masih melekat dalam jiwa orang Indonesia, sekaligus menjadi salah satu penyebab bangsa ini tidak bisa melakukanpemilu secara efektif dan efisien.Slogan kesetaraan di hadapan hukumyang sering diutarakan selama ini dirasakan masih sekadar slogan belaka. Faktanya, banyak orang berpikir feodal denganmenempatkan diri atau orang lain padastatus lebih tinggi daripada status orangpada umumnya. Sebaliknya, ada jugaorang, bahkan pemegang jabatan lembaga independen justru menempatkandirinya di bawah kekuasaan penguasa.Melihat semrautnya daftar pemilihtetap (DPT) pada Pemilu 2009 lalumisalnya, sulit diterima logika jikakesemrautan itu tidak ada kaitan denganpengaruh kultur feodalisme. Banyakyang menduga, kalau bukan pihak pemerintah berkuasa saat itu yang memerintahkan, mungkin KPU yang waktu itudiketuai Abdul Hafiz Anshary sendiriyang berusaha mengabdikan diri kepadapemerintah, yakni diam-diam membiarkan DPT amburadul untuk mendukungpemerintah yang sedang berkuasa.Walau susah membuktikan, namunindikasinya sangat terasa.Wajar jika banyak orang mendugademikian. Sebab, daftar pemilih sementara (DPS) diperoleh KPU dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, untuk kemudian diperbaiki. Namundalam beberapa kali perbaikan, tetap sajaada kekeliruan daftar pemilih. Anehnya,dalam beberapa kali kekeliruan tersebut,tampaknya partai politik yang merupakanpartai pendukung pemerintah tidakpernah mengalami kerugian signifikan.Mereka pun terkesan melindungi KPUdengan berbagai cara. Di sinilah masyarakat menduga-duga, “apakah mungkinada persekongkolan di antara keduanya?Baru-baru ini, wacana tentang KPUkembali hangat dibicarakan publik.Sebelumnya, beberapa politisi partaipolitik (parpol) mengatakan niat mengikuti seleksi anggota KPU. MenanggapiSJakob Oetama
                                
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24