Page 22 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 22


                                    22 BERITAINDONESIA, Juni 2010 foto: istBERITA UTAMAterhadap patron’ telah bermetamorfosapada ketertundukan pejabat publik terhadap kepentingan sponsor yang telahberjasa menempatkan mereka dalamposisinya.Lebih lanjut dia menyebutkan, apakahitu patron partai politik, cukong/konglomerat dan lainnya, dalam praktek telahmenjadi faktor kendala mental. Stigmatebang pilih dalam praktek pemberantasan korupsi kian mengalami pembenaran psikologis. Utang budi politik danfinansial dalam praktek telah menjeratpenegak hukum untuk menutup kasuskasus korupsi dalam lingkaran patronase.Dengan demikian, budaya dan perilakuelit politik/birokrasi serta kepentinganpatron telah menjadi faktor dominan yangsemakin merusak mentalitas penegakhukum. Menurutnya, integritas danindepedensi penegak hukum sekarangterjerat oleh faktor ini.Melihat beberapa indikasi pada waktulalu, beberapa pihak bahkan mendugabahwa penguasa dengan kekuatan modaldan kekuasaan yang dimilikinya telahmendesain sebuah konspirasi untukmendiskreditkan KPK karena pada peTemuannya Sekadar Kosmetikenegak hukum yang lebih seringtidak menindaklanjuti temuanPPATK diduga karena dampakkultur feodalisme yang sudahmerasuki aparat.Mencuatnya kasus korupsi pegawaiDitjen Pajak Departemen KeuanganGayus H Tambunan beberapa waktu lalumembuat mata publik semakin tercelikmelihat beberapa hal yang selama inikelihatan abu-abu. Dalam hal ini, termasuk fungsi dan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK) yang sebelumnya tidak banyakdiketahui masyarakat.Dari laporan temuan PPATK belumlama ini, kita semakin menyadari bahwamemang sudah ada yang salah dalampemberantasan korupsi di negeri ini.Disebut demikian karena, di satu sisilembaga-lembaga pendukung pemberantasan korupsi seperti PPATK didirikan sedemikian rupa. Namun di sisi lain,temuannya tidak maksimal dimanfaatkan. Semua pejabat publik bagaikankoor, satu suara menyatakan dirinyaseorang pahlawan pemberantas korupsi.Namun realitasnya, bagaikan koor juga,temuan lembaga berwenang sepertiPPATK cuma sedikit yang ditindaklanjuti. Gejala ini diduga tidak lepas daripengaruh kultur feodalisme di dalamlingkaran aparat sendiri.Seperti diberitakan beberapa waktuyang lalu, ketika menyelidiki aliran danaterkait dugaan korupsi Gayus Tambunan,PPATK melaporkan, bahwa selain rekening Gayus dan Bahasyim Assifie, ditemukan juga sejumlah rekening mencurigakan milik menteri, anggota DPR, danpejabat pemerintah setingkat dirjen.Bahkan menurut PPATK, mulai tahun2005 juga telah dilaporkan sebanyak1.050 laporan “transaksi mencurigakan”kepada Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), kejaksaan, dan kepolisian untukditindaklanjuti.Namun, dari laporan yang cukupbanyak itu, hanya sedikit yang ditindaklanjuti hingga ke pengadilan. Contohyang paling dekat adalah dugaan korupsidalam pengucuran dana talangan padaBank Century. Dalam kasus itu, BPKtelah menyebut adanya dugaan korupsidi dalam prosesnya. Selanjutnya, PPATKjuga telah melaporkan rekam jejaktransaksi mencurigakan. Namun apahasil penyelidikan penegak hukum hingga saat ini belum diketahui masyarakat.Sementara kasus Gayus kemudianterus diselidiki diduga hanya karenatelah dibuka oleh mantan KabareskrimPolri Komjen Susno Duadji dan diikutiterus menerus oleh publik, khususnyamedia massa.Memang bukan tidak mungkin bahwaprestasi aparat penegak hukum selamaini adalah karena ada back up data dariPPATK. Namun melihat minimnya tindak lanjut hasil temuan PPATK itu, kitamerasa prihatin dengan posisi lembagaini. Karena, di satu sisi mereka dituntutbekerja cepat dan terbuka, namun di sisilain keberadaannya seakan dianggaptidak berguna. Buktinya, hasil temuanmereka tidak ditindaklanjuti secaraserius.Walau tidak secara eksplisit menyatakan kecewa atas minimnya tindak lanjuttemuan lembaganya, Ketua PPATKYunus Husein menilai penegakan hukumdi Indonesia memang masih lemah.Untuk itu, penegakan hukum, utamanyapemberantasan korupsi menurutnyaperlu ketegasan lembaga penegak hukumdan dukungan politik.“Di China, di samping hukuman berat,komite dispilin partai juga tegas memberihukuman. Kita harus belajar dari sini,dalam pemberantasan korupsi harus adadukungan legislasi dan politik,” kataYunus usai rapat dengan Komisi III DPRdi Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa(18/5/2010).Yang menjadi ganjalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, menurutYunus, adalah banyaknya kekuatan yangmencoba menghalangi kerja KPK. “Karena korupsi itu kan banyak. Tau sendiriPriode tertentu pemimpin lembaga KPKtidak bisa “diatur” sesuai keinginanpenguasa. Strategi yang digunakan tampaknya dengan merusak terlebih dahulucitra KPK, kemudian mempreteli hak-hakeksklusifnya secara gradual.Dugaan itu disebutkan terasa ketikaAntasari Azhar memimpin KPK. AntasariAzhar ketika itu memang diakui merupakan simbol gerakan anti-korupsi yangtidak mau “tunduk’’ pada penguasa.Apalagi ketika itu, Ketua KPK yangdikabarkan tidak sudi “membungkuk” didepan Presiden itu sedang berniat menyelidiki indikasi korupsi di KPU terkaitteknologi informasi pada pemilu 2009.Maka diduga, dengan menyerang Antasari, pencitraan masyarakat akan KPKdiharapkan menjadi negatif dan kinerjaKPK secara kelembagaan akan berkurang.Untuk mencapai target ‘pembunuhankarakter’ itu, langkah yang dipilih pundiduga dengan melakukan jebakan yangterkesan sensasional dan menyangkutmasalah personal, bukan kelembagaan.Seperti diketahui, Antasari Azhar pundituduh terlibat pembunuhan berencanaatas Nazaruddin Sjamssudin. Antasarisendiri jadi tersangka utama sebagai aktorintelektual di belakang pembunuhan yangberlatar motif asrama itu. Masih menurutdugaan, motif itu dipilih untuk merusakcitra Antasari sebagai bukan pejabat yangbersih melainkan laki-laki berhidungbelang.Jika dugaan itu benar, konspirasi ituterbukti berhasil. Seperti diketahui, untukThamrin Amal Tomagola
                                
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26