Page 26 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 26
26 BERITAINDONESIA, Juni 2010 ilustrasi: dendyBERITA KHAS26 BERITAINDONESIA, Juni 2010 foto: vivanews.comKetika GuruIkut DemoMenjalani profesi guru di negeri ini masih menjadi dilema.Di satu sisi dituntut lebih profesional, tapi di sisi lain,kejelasan status dan kesejahteraannya kurangdiperhatikan. Guru pun terpaksa turun ke jalan memintaperhatian pemerintah.uru sebagai warga masyarakatyang diangkat secara khususdalam tugas mendidik danmengajar, memiliki posisi yangsangat strategis dalam menjaga nilai-nilaidan norma-norma. Sosok seorang guruyang demikian bisa kita temukan dalambuah karya Umar Kayam yang berjudul\ Priyayi (Sebuah Novel)\Dalam novel itu kita dapat melihatgambaran kehidupan seorang guru padazaman pendudukan Belanda maupunJepang yang berada pada posisi terhormat. Mereka disegani oleh masyarakatdan menjadi tumpuan ekonomi sanaksaudaranya. Sosok Sastrodarsono sebagaiguru dalam novel itu patut diteladani. Iabertanggung jawab dan sungguh-sungguhmengabdi sebagai guru yang mendidikdan mengajar.Namun jika kita melihat sosok gurupada novel tersebut dan sosok guru yangada pada saat ini, sangat jauh berbeda.Keluarga guru, pada waktu itu dianggapsebagai keluarga priyayi dan memilikiposisi yang strategis dalam masyarakat.Lain halnya dengan sekarang, kepriyayianseorang guru sedikit demi sedikit memudar.Penghargaan masyarakat terhadapguru makin berkurang dan pemerintahyang diharapkan memberikan perhatianbelum sepenuh hati bergerak. Profesi guruyang begitu mulia itu belum diimbangidengan kesejahteraan mereka. Bahkankepastian status sebagian guru masihbanyak yang tidak jelas.Masih banyak guru, baik yang sudahpegawai negeri sipil (PNS) maupun yangmasih honor/guru bantu dan guru sekolah swasta, di kota maupun di desa yangbelum bisa mengandalkan gajinya untukmenghidupi keluarganya. Contohnya,Sianipar, guru PNS di salah satu SekolahDasar (SD) negeri di Bekasi Utara Kotamadya Bekasi, Jawa Barat, harus dibantuistrinya dengan berjualan sayur setiappagi di pasar tradisional dekat rumahnyauntuk menutupi kebutuhan keluarganya.Sedangkan Shoddiq Nurjainuri yangmenjadi guru bantu di SD Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Desa Singkuang, Kecamatan Muara Batang Gadis,Kabupaten Mandailing Natal, SumateraUtara, harus menopang ekonomi keluarganya dengan bercocok tanam karenahonornya hanya Rp710.000 per bulan.Honor itu pun harus diambil ke Kecamatan Natal yang menghabiskan ongkossekitar Rp200.000 sekali pergi.Kecilnya honorarium bahkan sangatdirasakan oleh Drs Imam Maznan Ali,guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Azzahidinyang beralamat di Jalan Hang TuahUjung, Tenayan Raya, Pekanbaru, Riau.Seperti yang dilaporkan Antara 11 Mei2010, Maznan hanya digaji Rp72 ribu perbulan. Gaji itu pun tidak selalu dibayarkansetiap bulan tapi biasanya dirapel hinggadua bulan. Karena gajinya sangat kecil,Maznan terpaksa harus nombok berbagaibiaya termasuk biaya transportasi. Iamemilih bertahan menjadi guru hanyakarena sudah menjadi cita-citanya sejakkecil. Baginya, menghasilkan murid yangakan menjadi orang berhasil di kemudianhari adalah kebahagiaan.Masih banyak guru yang bernasib samadengan Sianipar, Shoddiq, dan ImamMaznan. Dibandingkan di luar negeri,seperti Malaysia dan Brunei Darussalam,secara umum kesejahteraan guru diTanah Air jauh lebih rendah. Di duanegara jiran itu, keberadaan guru cukupdihargai negaranya. Ada saja penghargaan dan penghormatan khusus yang diberikan kepada guru selaku abdi negara.Sedangkan di Indonesia, ketidakseimbangan antara penghargaan dan pengabdian menempatkan guru harus bersusah payah hidup dalam serba keterbatasan. Rendahnya gaji yang diterimadiperparah lagi oleh biaya hidup yangsangat tinggi. Di sisi lain, di tengahpergelutan guru meningkatkan tarafhidupnya agar tidak sampai diolok-olokmurid karena kemiskinannya, merekajuga dituntut untuk terus meningkatkanprofesionalitas seperti penguasaan teknologi informasi dan lain sebagainya.Di samping permasalahan seputarkesejahteraan, persoalan nasib para guruhonorer yang masih terkatung-katungdan status guru sekolah swasta jugamenambah persoalan guru di negeri ini.Berbagai persoalan itu membuat pahlawan tanpa tanda jasa ini terkadang tidakkuat lagi berdiam rasa. Mereka punakhirnya merasa perlu turun ke jalan,berdemo meminta perhatian pemerintah.Aksi demo para guru di berbagai kota/provinsi belakangan ini semakin seringterjadi. Sebagai contoh, pada 12 Mei 2010,ribuan guru yang tergabung dalam Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) berunjuk rasa didepan Kantor Kementerian PendidikanNasional, Gedung MPR/DPR, dan KantorKementerian Agama. Para guru yangdatang dari berbagai kota di Tanah Air itumenuntut pembatalan rencana pemerintah meniadakan Direktorat JenderalPeningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK).Menurut Ketua PB-PGRI, Sulistiyo,rencana pemerintah itu cenderung kembali ke pola lama di zaman Orde Baru.Rencana itu akan semakin memperpanjang jalur birokrasi dan kembali ke sistemkastanisasi yang semakin memperlihatkan fungsi dan manajemen yang berbedaantara guru SD dan SMP. Guru dan tenagakependidikan juga akan kembali terkotakkotak. Jika PMPTK ditiadakan, pengelolaan guru dan tenaga kependidikan dariGPara guru bantu atau honorer di Jakarta beberapa wak