Page 22 - Majalah Berita Indonesia Edisi 78
P. 22


                                    22 BERITAINDONESIA, 15 Juli - 15 Agustus 2010 foto: thejakartapost.comBERITA UTAMASoekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,Megawati hingga SBY, selalu mengumandangkan tekad untuk mengakhiri kemiskinan yang membelenggu rakyat. Tapi target mengakhiri (mengurangi) kemiskinanitu, masih jauh dari harapan. Lebih 90juta rakyat Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan, jika mengacupada kriteria Bank Dunia, berpendapatanminimal USD 2 per kapita per hari.Pemerintah yang terjebak dalam ketergantungan pada utang (kebijakan instan)untuk menutupi defisit anggaran, telahmemperpanjang masa penderitaan rakyat. Setiap tahun utang semakin banyakdengan tingkat kenaikan yang amat tinggitapi penurunan (pengurangan) kemiskinan stagnan. Kecemasan atas makinbesarnya utang itu pun pantas mencuat.Walaupun pemerintahan SBY berulangkali menjelaskan bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini sudah semakin baik yakni sekitar 26 persen.Namun demikian, seharusnya hal itubukan suatu alasan yang baik untuk terusmelanjutkan kegemaran berutang. Parapengamat ekonomi kerakyatan berpandangan pengurangan utang harus diprioritaskan supaya rakyat tidak semakinterbebani dan semakin miskin. Kebijakanyang mengandalkan utang (dengan harusmemenuhi syarat-syarat kreditor) untukmemberantas kemiskinan sudah seharusnya ditinggalkan. Sebab hal itu tidakmungkin mujarab karena terbukti tidaksecara langsung menyentuh akar penyebab kemiskinan rakyat banyak.Pengurangan (penghentian) utang luarnegeri, memang memerlukan pemimpinyang visioner dan punya integritas tinggi.Berani bersikap, jujur dan sungguhsungguh antikorupsi. Akan sangat sulitmeninggalkan ketergantungan (ketagihan) berutang jika korupsi masih merajalela dan bahkan semakin canggih. Sebabkorupsi telah membuat rakyat semakinsengsara yang pada gilirannya membuatmereka apatis.Korupsi telah mengakibatkan kesiapanrakyat untuk berkorban, bekerja keras danberpartisipasi semakin rendah. Termasukdalam hal keikhlasan rakyat (golonganmenengah ke atas) membayar pajak.Padahal, kesadaran rakyat (golonganmenengah ke atas) membayar pajaksangat diyakini akan mampu mengurangiketergantungan pemerintah pada utangluar negeri.Jika pun pemerintah masih berutang,peruntukannya jangan lagi bertumpupada kegiatan-kegiatan yang sifatnyakonsumtif, tetapi seharusnya bulat padaprogram (investasi) yang langsung menukik mematikan akar kemiskinan. Tentubukan dengan bantuan langsung tunai(BLT) atau sejenisnya, tetapi dengan program yang membangkitkan kemandirian.Pola pembangunan ekonomi yang bertitik sentral pada angka persentase pertumbuhan, tampaknya juga sudah terbukti kurang berhasil mengurangi kemiskinan. Pola pembangunan dengan mengejar persentasi pertumbuhan (grwothatau GNP/GDP) yang diterapkan dinegara-negara maju (industrialized) itutelah membuai Indonesia larut dalammimpi yang akan membawa Indonesiamenjadi negara yang industrialized samaseperti negara-negara maju (kreditor)yang telah lebih dulu maju.Sebenarnya, Mahbub Ul Haq sudahlama mengingatkan bahwa pola pembangunan dengan mengejar angka pertumbuhan seperti itu adalah model pembangunan palsu (the catching up fallacy).Dalam pandangan Mahbub Ul Haq sangattidak mungkin negara-negara berkembang dengan mengandalkan utang akanmengejar dan menyamai negara-negaramaju (kaya). Apalagi bila dikaitkandengan penelitian Prof. Dr. Jeffry Wintersbahwa sepertiga dari total utang telahdikorupsi oleh para elit penguasa bersamaBank Dunia. Semakin sempurnalah kepalsuan pembangunan tersebut.Kini saatnya para elit (penguasa) pengambil kebijakan politik ekonomi Indonesia segera bertobat, supaya rakyat tidakmakin miskin. Guru Besar IPB Prof AliKhomsan dalam artikelnya bertajukMenggugat Ukuran Kemiskinan mengakhirinya dengan pertanyaan: Apakahpemerintah telah gagal dalam programpenanggulangan kemiskinan? Bagaimanadampak program beras untuk rakyatmiskin (raskin), Asuransi Kesehatanuntuk Rakyat Miskin (Askeskin),sekolahgratis, kompor gas gratis yang selama inidimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin?Dia pun menjawab sendiri pertanyaanitu secara diplomatis. Menurut Prof AliKhomsan, kehidupan yang kini dirasakansemakin sulit membuat rakyat miskinmemimpikan kembali zaman normalataupun zaman Orde Baru yang meskisama-sama sulit, saat itu harga panganrelatif terjangkau oleh daya beli mereka.Kondisi terakhir, setelah pemerintahmenaikkan tarif dasar listrik, mulai 1 Juli2010, berdampak langsung pada semakinmembubung tingginya harga berbagaibarang, termasuk kebutuhan bahanpokok. “Kondisi ini membuat bebanrakyat yang sudah berat semakin berat,”tulis Kompas (13/7/2010).Kenaikan harga kebutuhan pokok ini,menurut Presiden Konfederasi SerikatBuruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban, jelas memukul daya beli buruhdengan pendapatan yang relatif tidakberubah. Menurutnya, penurunan dayabeli buruh terjadi karena kenaikan upahburuh lebih lambat dari inflasi. Dalamlima tahun terakhir, kata Rekson, buruhsemakin sulit memenuhi kebutuhan hidupkarena kenaikan harga barang yangsangat cepat.Hal yang hampir sama juga dialamipara petani. Meski produksi pangan terusmeningkat, tetapi pendapatan riil petanitidak juga meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar petani terusGayus Halomoan TambunanUtang seharusnya dimanfaatkan untuk mematikan akar
                                
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26