Page 23 - Majalah Berita Indonesia Edisi 78
P. 23
BERITAINDONESIA, 15 Juli - 15 Agustus 2010 23BERITA UTAMAfoto: wordpres.commerosot. Pada tahun 1976, nilai tukarpetani sudah mencapai 113. Bahkan padatahun 1979 dan 1989 telah mencapaiangka tertinggi, yakni 117. Lalu, ironisnya,pada tahun 2009, nilai tukar petanibulanan tertinggi hanya 101, jauh merosotdari nilai tukar petani 1979 dan 1989 (117).Ketua Umum Perhimpunan EkonomiPertanian yang juga Guru Besar EkonomiPertanian Universitas Jember, RudiWibowo, mengatakan peningkatan produksi pangan tidak mampu memberikanpeningkatan pendapatan riil yang memadai bagi aktor utama peningkatanproduksi pangan, yaitu petani.Menurut Rudi, hal ini terjadi karenakebijakan pangan nasional terjebak dalampeningkatan produksi yang membabibuta. Peluang investasi usaha budidayapangan diberikan kepada swasta nasionaldan multinasional, yang selama ini menggarap sarana produksi yang menjadi kuncipenguasaan pangan nasional. “Kesejahteraan petani terabaikan akibat ketidakjelasan arah pengembangan teknologi dantidak konsistennya kebijakan. Sementaraitu, kelembagaan yang berkenaan denganpetani dan pertanian cenderung makintergerus,” kata Prof. Rudi Wibowo.Pendapat senada kerap disampaikanGuru Besar Emeritus Institut PertanianBogor, yang juga mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, bahwa politikpertanian pada masa lalu yang berorientasi pada peningkatan produksi‘menjebak’ petani pada kegiatan usahatani yang nilai tambahnya kecil. Karenakegiatan ekonomi yang memiliki nilaitambah besar, seperti perdagangan,pengadaan sarana produksi pertanian,serta kegiatan pengolahan hasil danperdagangan produk pertanian (off farm)diserahkan kepada yang bukan petani.Penguasaan lahan petani juga makinsempit. Bahkan jumlah petani yangberubah status menjadi buruh tani punmakin banyak karena tidak lagi memilikilahan sendiri. Kini banyak di antaramereka menjadi buruh di tanah sendiri.Petani sudah semakin miskin dan termarginalkan dalam proses pembangunan.Sebab kebijakan pangan saat ini justrumenempatkan produksi pangan dalamskema industrialisasi yang mengedepankan kapitalisme sebagai ujung tombaknya.Pendekatan kapital dalam produksi pangan itu, ternyata justru semakin meminggirkan peranan jutaan kaum tani.Karena petani langsung diperhadapkanberkompetisi dengan kekuatan modalyang dimiliki perusahaan-perusahaanbesar. Apalagi tanpa subsidi yang memadai petani pasti kalah. Sebab merekatidak punya kekuatan modal, efisiensiproduksi, kesenjangan pengetahuan, sertatidak menguasai akses menuju pasarkomoditi pangan.Semua itu, berdampak pada tetaptingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dengan mengikuti standar yangdigunakan pemerintah (BPS), jumlahpenduduk miskin (penduduk denganpengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan yakniRp.211,726) di Indonesia pada Maret 2010mencapai 31,02 juta (13,33 persen).Hanya turun 1,51 juta dibandingkandengan Maret 2009 sebesar 32,53 juta(14,15 persen).Penurunan ini jauh lebih kecil daripadapenurunan angka kemiskinan dari Maret2008 ke Maret 2009. Sebagaimana dikemukakan Kepala BPS Rusman Herawa,pada Maret 2009 jumlah pendudukmiskin mencapai 32,53 juta jiwa, sementara pada Maret 2008 mencapai34,96 juta jiwa, turun 2,43 persen. Sedangkan penurunan angka kemiskinandari Maret 2009 ke Maret 2010 hanyasebesar 0,82 persen.Jika dilihat dalam realita, jumlah penduduk miskin Indonesia jauh dari angkayang dipublikasikan pemerintah (BPS)tersebut. Pertanyaannya, apakah realistisorang yang berpengeluaran Rp.7000 perhari untuk semua kebutuhannya, mulaidari makan dan segala kebutuhan lainnya,tidak lagi tergolong miskin.Barangkali akan lebih realistis bila penentuan garis kemiskinan mengacu padaBank Dunia yakni berpendapatan sebesarUSD 2 per kapita per hari, ekuaivalen Rp.552.000 per bulan (kurs Rp.9.200/USD1). Jika mengacu pada Bank Dunia, makajumlah orang miskin di Indonesia lebih 90juta orang. BI/crs/msar kemiskinan.Pemberian utang dianggap sebagai skenario untuk mengeruk sumber daya alam.