Page 18 - Majalah Berita Indonesia Edisi 78
P. 18
18 BERITAINDONESIA, 15 Juli - 15 Agustus 2010BERITA UTAMAfoto-foto: istHentikan SindromUtang Luar NegeriUtang Indonesia kian mencemaskan. Sebab, utang,terutama utang luar negeri dan SBN valas, itu dinilaimerupakan skenario untuk melanggengkanketergantungan dan sekaligus mengeruk habis sumberdaya alam Indonesia. Lalu, kenapa pemerintah tidakmenghentikan sindrom kebijakan mencari pinjaman luarnegeri?ara aktivis reformasi ‘mencacimaki’ pemerintah Orde Barukarena kegemarannya menengadahkan tangan berutang (meminjam) ke luar negeri maupun melaluiSurat Berharga Negara (SBN) valas,sementara sebagian utang itu (diperkirakan sekitar 33,33 persen) justrudikorupsi. Namun, dalam 12 tahun erareformasi kegemaran meminta-mintapinjaman luar negeri dan menimbunutang lewat SBN itu, bukan surut apalagiberhenti, bahkan semakin merisaukan.Jika pada era Orde Baru utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pada era reformasi digunakan untukmenutupi defisit anggaran, membiayaiinsentif pajak, gaji dan tunjangan khusus(renumerasi) pegawai negeri, bantuanlangsung tunai (BLT) dan beras miskin(Raskin). Jika pada era Orde Baru korupsimerajalela, justru pada era reformasikorupsi semakin canggih (malah berbajudemokrasi dan hukum). Pegawai rendahanKemenkeu (Pajak) saja bisa meraup uangratusan miliar dan bail out Bank Centuryyang menelan lebih Rp.6,7 triliun bisasecara hukum dinyatakan belum ada buktiwalaupun pemeriksaan BPK dan DPR telahmenyatakan berbau korupsi.Rezim Orde Baru yang memerintahselama 32 tahun meninggalkan utangpemerintah tahun 1998 sebesar Rp.553triliun terdiri dari pinjaman Rp.453triliun dan Surat Berharga Negara (SBN)Rp.100 triliun. Meningkat tajam pada 31Mei 2010 (angka sangat-sangat sementara) menjadi Rp.1.610 triliun terdiri daripinjaman Rp.583 triliun dan SBNRp.1.027 triliun. (Posisi Utang Pemerintah (1998-2010) yang dirilis Ditjen Pengelolaan Utang, Kemenkeu, Juni 2010).Pakar ekonomi dari Universitas Andalas Padang Prof Dr Elfindri berharappemerintah meninggalkan kebijakanmencari pinjaman luar negeri (LN), danmenghapus “sindrom” utang seperti yangdilakukan rezim Orde Baru. Menurutnya,jika utang itu dibuat oleh pemerintah,konsekuensinya bangsa ini tentu akan terus membayar cicilan untuk negarakreditur. “Dampaknya, tentu kemandirian bangsa ini akan semakin jauh atausulit dicapai,” katanya.Prof Dr Elfindri pun mempertanyakanuntuk apa defisit anggaran itu dinaikkan?Sebab, menurutnya, semakin besar defisit, tabungan tentu akan menjadi rendah,serta kemampuan fiskal akan semakinterancam. Maka, dia menyarankan, agarpemerintah lebih menyeleksi keperluantahunan guna menekan defisit tersebut.Hal senada dikemukakan pengamatekonomi Rizal Ramli dari Tim IndonesiaBangkit. Dia mengatakan, ketergantungan pada utang luar negeri bisa dikurangisecara drastis melalui berbagai langkahantara lain peningkatan efisiensi anggaran, perang terhadap korupsi, sertapenegakan hukum tanpa tebang pilih.Menurut Rizal Ramli, efisiensi anggaran antara lain dapat dilakukan dengancara penghentian pembelian mobil danrumah pejabat serta pengurangan pemPKURANGI UTANG: Kesadaran membayar pajak diyakini mampu mengurangi ketergantunganpemerintah pada utang luar negeri.