Prof. Triyono Bramantyo: Bangun Pendidikan Holistik Lewat Seni

Prof. Drs. Triyono Bramantyo, M.Mus.Ed., Ph.D. membuka pidatonya dengan satu kalimat reflektif: “Pendidikan adalah art of cultivating humanity.” Menurutnya, pendidikan bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan, tetapi tindakan sadar untuk menumbuhkan manusia sebagai makhluk utuh yang memiliki rasa, akal, dan budi.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Hal itu dia sampaikan di hadapan para peserta Pelatihan Pelaku Didik Jilid Kedua, 8 Juni 2025, di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Al-Zaytun. Ahli musikologi, etnomusikologi, dan kajian budaya yang juga merupakan pendiri Nusantara Symphony Orchestra ini menekankan bahwa seni bukanlah pelengkap dalam pendidikan, melainkan pusat dari proses membangun karakter.
Dengan kerangka pikir tersebut, ia mengajak peserta untuk memandang seni sebagai medium yang mampu membentuk disiplin, kepekaan sosial, dan kemampuan bekerja sama. Dalam musik, misalnya, tak ada harmoni tanpa kesadaran akan ruang, waktu, dan irama bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa. Ia menyinggung bagaimana musik dan seni memiliki daya membentuk manusia agar mampu hidup berdampingan, saling mendengar, dan saling menghormati.
Ia menekankan bahwa pendidikan bukan semata-mata soal konten, tetapi cara mengajarkannya. “Musik bukan hanya soal notasi dan melodi, tetapi tentang bagaimana guru dapat menyentuh hati peserta didik.” Pendidikan seni yang baik tidak hanya membuat anak mampu menyanyi atau memainkan alat musik, tetapi juga membangun kesadaran sosial dan spiritual. Dalam konteks ini, guru tidak hanya sebagai pengajar, tapi sebagai pengasuh dan pembentuk karakter.
Prof. Triyono memaparkan bahwa pengalamannya berkolaborasi secara akademik lintas budaya di Jepang, Malaysia, Portugal, hingga Amerika Serikat menunjukkan bahwa dunia sudah lama mengintegrasikan seni dalam pendekatan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Bahkan, di berbagai negara, pendekatan STEAM yang menambahkan “Arts” di dalamnya terbukti memperkaya daya nalar, kreativitas, dan inovasi peserta didik. “Seni membuka ruang berpikir yang lebih luas, menyatukan logika dan empati dalam satu tarikan napas.”
Ia menyebut praktik di Jepang, di mana pelajaran musik menjadi bagian dari kurikulum inti sejak sekolah dasar, sebagai contoh konkret pendidikan yang menempatkan seni dalam posisi strategis. “Sejak SD mereka belajar musik secara sistematis. Bukan hanya bernyanyi, tapi mengenal teori dan harmoni.”
Lebih jauh, alumni studi S2 dan S3 di Jepang ini menggarisbawahi pentingnya sistem pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri, bukan sekadar mengejar nilai. Ia mencontohkan bagaimana pendidikan seni bisa menjadi landasan bagi pembentukan karakter, mulai dari hal kecil seperti disiplin waktu hingga rasa tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan. “Keberhasilan pendidikan dapat diukur dari kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah, bekerja sama, dan memahami makna hidup.”
Ia juga menyoroti pentingnya mendengarkan dalam pendidikan. Dalam musik, seseorang tak bisa bermain dengan baik tanpa terlebih dahulu mendengarkan. Begitu pula dalam kehidupan. “Kalau kita tidak belajar mendengar, bagaimana kita bisa memahami?” ujarnya. Di sini, seni menjadi pintu masuk untuk membentuk kepekaan dan empati. Dunia pendidikan yang mengabaikan ini, katanya, akan menghasilkan generasi yang pintar tetapi tumpul rasa.
Ia mengkritisi sistem pendidikan nasional yang terlalu sibuk mengejar standar-standar administratif namun melupakan esensi membangun manusia seutuhnya. Ia mendukung sistem pendidikan terpadu berbasis asrama seperti yang diterapkan di Al-Zaytun. Dalam pandangannya, sistem One Pipe yang diterapkan Al-Zaytun bisa menjadi contoh model pendidikan nasional yang menyatu dari hulu ke hilir, dari visi, kurikulum, hingga praktik pembelajaran.
Ia juga mengusulkan gagasan pendirian Al-Zaytun Symphony Orchestra. “Bayangkan kalau Al-Zaytun punya simfoni orkestra yang dilatih di Jogja, lalu menjadi model pendidikan seni yang disiplin, kolektif, dan estetik. Ini bisa menjadi percontohan nasional,” ucapnya. Gagasan tersebut disambut antusias oleh peserta pelatihan.
Di tengah arus tersebut, ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap menurunnya selera seni generasi muda akibat dominasi budaya populer yang instan. “Anak-anak kita dijejali tontonan dan hiburan yang dangkal. TikTok dan media sosial mendangkalkan selera rasa. Ini tantangan bagi dunia pendidikan,” katanya. Ia menyerukan agar guru dan institusi pendidikan tidak membiarkan seni dikerdilkan oleh tren sesaat.
Menurutnya, pendidikan seni adalah jalan untuk membaca dan mengubah dunia. Ia mengatakan, “Seni bukan sekadar ekspresi. Ia adalah cara memahami realitas, menyusun makna, dan mentransformasikan kehidupan.”
Sebagai mantan Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan seni, ia tak hanya mengutip teori, tapi mengajak semua melihat kenyataan di Al-Zaytun. Dalam amatan singkatnya, ia melihat bagaimana para pelajar di Al-Zaytun hidup dalam kedisiplinan yang tidak bersifat militeristik, melainkan berbasis gotong royong dan kepedulian kolektif. “Lingkungan yang terawat, interaksi yang sopan, serta kehadiran seni dalam keseharian menjadi bukti bahwa konsep pendidikan holistik bukan sekadar ide, melainkan kenyataan yang tumbuh di tempat ini.”
Dalam bagian akhir pidatonya, ia mengajak para pelaku didik untuk terus belajar dan membuka diri. Dunia berubah cepat, dan pendidikan harus bisa menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang lentur namun berakar. “Seni memberi manusia kemampuan untuk beradaptasi, menyerap makna, dan memberi nilai dalam setiap tindakan. Pendidikan yang berakar pada seni adalah pendidikan yang memanusiakan.”
Pidatonya ditutup dengan harapan bahwa para pelaku didik di Al-Zaytun maupun di seluruh Indonesia mampu menjadi agen pembaharu. “Perubahan besar dalam pendidikan bukanlah hasil kebijakan semata, melainkan buah dari kesadaran dan ketekunan para pendidik.” Ia pun menyatakan kesiapannya untuk terus mendampingi Al-Zaytun sebagai mitra berpikir dan bertindak demi pendidikan Indonesia yang lebih manusiawi, kreatif, dan bermartabat.
Setelah sesi penyampaian materi selesai, forum dilanjutkan dengan tanya jawab yang memperdalam poin-poin yang telah disampaikan. Sejumlah peserta mengajukan pertanyaan yang relevan, mulai dari peran seni dalam pembelajaran sains hingga strategi penerapan pendidikan karakter di tengah padatnya kurikulum. Salah satu peserta bertanya, “Bagaimana agar seni tidak hanya menjadi kegiatan ekstrakurikuler, tapi bagian dari struktur utama pembelajaran?” Prof. Triyono menjawab, “Guru harus terlebih dahulu percaya bahwa seni adalah media belajar, bukan hiburan. Kalau gurunya tidak percaya, bagaimana bisa menyampaikannya kepada murid?”
Dalam sesi itu juga dibahas pentingnya kesenian daerah untuk menumbuhkan identitas kebudayaan sejak dini. “Jangan malu memainkan alat musik tradisional. Itu bagian dari harga diri kebudayaan kita,” tegas Prof. Triyono. Ia menekankan pendekatan tematik yang memadukan seni dengan pelajaran lain sebagai cara untuk memperkuat karakter siswa tanpa harus menambah beban kurikulum.
Diskusi yang berlangsung hangat ini menjadi penutup yang menegaskan pentingnya kolaborasi antara pelaku didik dan institusi pendidikan dalam membangun pendidikan yang lebih bermakna. Kehadiran Prof. Triyono Bramantyo di pelatihan ini memberikan perspektif segar tentang peran seni dalam pendidikan dan membuka ruang dialog yang relevan bagi pengembangan sistem pendidikan nasional. (Atur/TokohIndonesia.com)