Kepercayaan Batak Persiapan dan Kecenderungan Teologi Trinitas
Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (6)

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (6)
Diskursus mengenai inkulturasi pengudusan kebudayaan Batak, atau yang diistilahkan sebagian besar orang, perjumpaan Injil dengan Adat Batak, tentu akan berlangsung lebih substansial jika para misionaris memahami Teologi Debata Mulajadi Nabolon dan tidak menjauhkan Si Singamangaraja dari Injil. Bukankah sebelum misi Kristen masuk ke Tanah Batak, bahwa dalam kehidupan dan percakapan sehari-hari sudah menjadi tradisi mengatakan ‘Saluhutna panggulmit ni ngolu on saguru tu lomo ni Debata do.’ (Seluruhnya denyut kehidupan ini adalah tergantung kepada kehendak Allah).[1]
Leluhur Batak, mustahil hidup tanpa relasi dengan Debata. Hanya saja sistem kepercayaan leluhur Batak itu belum sempurna dan dihambat (dalam perspektif Gereja) penyembahan-penyembahan sumangot dan sombaon. Jika didalami, seperti temuan studi Thomas Ebenezer Slater, kepercayaan leluhur Batak kepada Debata Mulajadi Nabolon na so marmula so marujung, Na Sada Sitolu Suhu (Debata Sang Khalik Mahabesar, yang tidak bermula dan tidak berujung, yang Esa dalam Tiga Unsur) adalah suatu agama kuno yang sudah ‘tinggi’ sebagai “persiapan dan kecenderungan” (preparations and predispositions), agama wahyu monoteisme, alfa-omega, lebih khusus Tritunggal, atau Trinitas.
Sebagai komparasi, Dr. Ch. Coster (1932) dalam Christendom en Bewustwording mengatakan, “seperti halnya kaum Gnostik, melihat sejarah sebagai realisasi terencana dari pikiran Tuhan. Orang-orang Yahudi telah dipersiapkan untuk Kekristenan oleh hukum (Taurat), orang-orang Yunani oleh para filsuf mereka, terutama Plato. Hanya satu jalan menuju kebenaran, tetapi dengan cara itu mengalir dari tempat lain dari jalan lain, seperti aliran di sungai yang terus mengalir.”[2]
Narasi Mededeelingen over den stand van het werk van de zending op Sumatra, Nias en Mentawei, No. 1, 1935 (Laporan kemajuan pekerjaan misionaris di Sumatera, Nias dan Mentawei, No. 1, 1935) yang diedit H. IJdens, mantan guru Rijnsche Zending di tanah Batak tentang keindahan kawasan pusuk buhit Danau Toba, sangat inspiratif untuk mendalami kekurangtepatan, untuk tidak menyebut kekeliruan, awal para misionaris tentang kepercayaan leluhur Batak. Setelah H. IJdens menarasikan keindahan dan keagungan Danau Toba dan puncak-puncak bukit yang mengelilinya, selanjutnya disebut:
“Tetapi orang Batak tidak begitu bahagia selama lebih dari satu abad, sebaliknya; puncak gunung yang megah ditumbuhi hutan lebat adalah tempat tinggal roh-roh jahat, yang selalu mengancam akan mengubah berkah menjadi kutukan jika mereka tidak cukup dihormati. Danau yang indah dengan warna tropisnya menunggu untuk melahap mereka, jika mereka tidak cukup berkorban untuk semangatnya. Roh-roh jahat di sana juga, ketika embusan angin tiba-tiba turun dari pegunungan di hamparan air yang luas, yang menyapu gelombang tinggi, menjungkirbalikkan perahu ramping para nelayan, dan membawanya ke kedalaman, tempat tinggal roh-roh perairan.
Tetapi kegelapan malam masih lebih menakutkan bagi mereka: ketika mata mereka gagal (oleh kegelapan), dan mereka harus mengandalkan nalurinya, sebagian besar pergi ke luar rumah hanya ketika mereka membutuhkannya. Karena kemudian roh-roh jahat akan berkeliaran mencari siapa yang bisa mereka perbudak di akhirat; kemudian ular, harimau, dan binatang buas lainnya merayap keluar dari sarangnya untuk mencari makanan; maka itu adalah saat yang menguntungkan bagi orang yang ingin menghancurkan musuhnya, dan bagi pedagang budak bajak laut, yang berusaha mendapatkan barang rampasan, kebal terhadap penderitaan tanpa nama yang ditimbulkannya pada banyak keluarga.
Tidak, penduduk daerah ini begitu kaya diberkati oleh alam jauh dari bahagia; ketakutan akan bahaya yang terus-menerus mengancam mereka telah meninggalkan bekas di wajah mereka; mereka menghela nafas untuk penebusan.
Dan Allah memandang orang-orang ini, dengan belas kasihan-Nya yang besar. Dan pada waktu-Nya Dia akan masuk dan memindahkan orang-orang miskin ini keluar dari kegelapan kekafiran ke dalam terang yang mulia dari Injil yang Disalibkan (in het heerlijke licht van het evangelie van den Gekruisigde)”.
Narasi yang sangat indah walau masih jauh dari perspektif Batak. Namun (dimana) akan sangat lebih indah jika para misionaris berusaha lebih dahulu mendalami dan menghormati (tidak menista) kepercayaan leluhur Batak kepada Debata Mulajadi Nabolon na sada sitolu suhu (yang esa tiga unsur), di mana leluhur Batak sangat menggantungkan hidupnya kepada Debata tersebut dalam totalitas persekutuan hidupnya dalam roh (tondi);[3] Bagi leluhur Batak, roh adalah yang utama dan materi adalah yang kedua. Hal ini tercermin dalam ucapan selamat orang Batak: Horas tondi madingin, pir tondi matogu. Bagi orang Batak (dasar pemikiran, filsafat dan kepercayaan), Debata adalah penyebab keberadaan segala sesuatu; sementara dalam pemikiran filsafat Barat, materi adalah sumber utama dan sumber penciptaan.[4] Maka, alangkah bijaksana jika para misionaris menempatkan kepercayaan leluhur Batak tersebut sebagai “persiapan dan kecenderungan” (preparations and predispositions) terhadap Injil.
Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan Thomas Ebenezer Slater, dalam kehidupan dan kekuatan spiritual, melalui pelaksanaan usaha misionaris, menyebarkan agama kemajuan dan peradaban; bahwa mereka memasok bangsa-bangsa dengan moralitas paling murni, dan satu-satunya kekuatan regenerasi, dengan menghadirkan untuk penerimaan mereka atas agama tertinggi, di mana semua agama lain menemukan pemenuhannya – pertimbangan seperti ini pasti akan membangkitkan minat, membangkitkan antusiasme, dan mendapatkan pengabdian, dari semua pikiran yang bijaksana dan hati yang tulus.[5]
Keinginan Si Singamangaraja XI dan XII untuk menempuh perdamain (tanpa penjajahan) dan menemui (menjalin komunikasi) dengan misionaris adalah salah satu realitas cinta kasih dan damai yang tulus. Friedrich Heiler (1986) dalam La Historia de Las Religiones Como Preparacion Para La Cooperacion Entre Las Religiones (Sejarah Agama Sebagai Persiapan Kerja Sama Antar Agama) mengatakan kasih adalah jalan tertinggi menuju Tuhan. Semua agama diarahkan olehnya menuju tujuan akhir dari ketuhanan ilahi, di mana segala sesuatu yang terbatas menemukan pemenuhannya, meskipun tujuan ini dapat divisualisasikan dalam gambar yang berbeda.[6] Lebih lanjut Friedrich Heiler memaparkan:
“Persatuan (kasih) ini ada terlepas dari semua perbedaan dalam doktrin dan sekte; tidak perlu membangunnya dengan cara buatan, tetapi, seperti penyelam, cukup mengangkat harta yang terletak di dasar lautan. Namun, terkadang aset berharga itu muncul dengan sendirinya di permukaan perairan dan terlihat oleh semua orang. “Salah satu fakta paling mengejutkan dalam sejarah agama”, kata Max Müller, adalah masuknya Sang Buddha ke kalender orang-orang kudus Romawi. Salah satu legenda orang suci abad pertengahan yang paling tersebar luas adalah Barlaam dan Jehoshaphat; Ini adalah legenda Sang Buddha yang memasuki Timur, seperti gereja Roma, melalui Persia, Arab, Suriah dan Bizantium. Saint Jehoshaphat, yang peringatannya dicatat setiap tahun baik dalam kalender Gereja (Menaean) Ortodoks Yunani seperti dalam Martyrologium Romanum, tidak lain adalah Bodhisattva. Penampakan ini memiliki makna simbolis: membuktikan keabsahan pernyataan penjelajah terkenal Marco Polo: “Seandainya Buddha menjadi seorang Kristen, ia akan menjadi orang suci yang hebat. Tuhan kita Yesus Kristus, yang begitu baik dan tulus adalah hidupnya.“[7]
Hal yang persis bermakna sama, kita dengan penuh pertimbangan dan kedalaman suara hati mengatakan bahwa: “Seandainya Si Singamangaraja menjadi seorang Kristen, ia akan menjadi orang suci (malim) yang hebat. Tuhan kita Yesus Kristus, yang begitu baik dan tulus adalah hidupnya”. Sebagai bahan renungan: Bukankah semua keluarga Si Singamangaraja XI dan XII tidak satu pun yang menolak dibabtis? Bahkan, menurut DWN de Boer, tidak satu pun tokoh Parbaringin (Lembaga penyelenggara upacara ritual SSM) yang ikut mendirikan Ugamo Malim (Parmalim).[8]
Bersambung || Sebelumnya
Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1. Hlm. 1944-1947.
Footnotes:
[1] Schmidt, PW. S.V.D., 1910: Grundlinien Einer Vergleichung der Religionen und Mythologien der Austronesischen Völker; Vorgelegt in der Sitzung Am 3. März 1909 (Kapitel Zwei: Die Batak auf Sumatra); Denkschriften der Kaiserlichen Akademie der Wissenschaften in Wien. Philosophisch-Historische Klasse. Band LIII, Wien: Alfred Holder – Akademie Deü Wissenschaften. s.38; dan, Renes-Boldingh, M.A.M., 1933: Bataksche Sagen en Legenden, Nijkerk: G.F. Callenbach, b.7.
[2] Coster, Ch., 1932: Christendom en Bewustwording. Den Haag: Servire, bl. 65.
[3] Renes-Boldingh, M.A.M., 1933: b.7.
[4] Bandingkan: Sandeelo, Naveed, 2004: Wings of Wisdom. The Age of Greek Philosophy. Karachi: N.K Printing Press, p. 2.
[5] Slater, Thomas Ebenezer, 1882, p.127.
[6] Heiler, Friedrich, 1986: La Historia de Las Religiones Como Preparacion Pa-ra La Cooperacion Entre Las Religiones; in Metodologia de La Historia de Las Religiones (Eliade, Mircea & Kitagawa, Joseph M., Ed.), Barcelona – Buenos Aires – México: Paidos Orientalia, p.189-190.
[7] Heiler, Friedrich, 1986: p.190.
[8] Situmorang, Sitor, 2004. Toba na Sae, h. 343.