Manifesto Peradaban dari Hutan Gantar
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai Tanda Zaman

Di tengah kawasan hutan Gantar, Indramayu, daerah yang lama dipandang sebelah mata, gagasan besar tentang pendidikan tinggi alternatif sedang disiapkan. Politeknik Tanah Air Indonesia Raya bukan sekadar kampus, tapi manifesto untuk membangun peradaban dari pinggiran, berlandaskan kerja nyata, keberlanjutan, dan keberanian berdiri di atas kaki sendiri.
Indramayu kerap disebut daerah tertinggal. Dalam bahasa yang lebih kasar, sebagian menyebutnya “tempat jin buang anak.” Julukan ini tidak datang tanpa alasan: akses terbatas, infrastruktur tertinggal, prestasi pendidikan rendah, dan indeks pembangunan manusia yang cenderung stagnan. Nama Indramayu jarang muncul dalam diskursus pembangunan nasional, kecuali dalam statistik tentang buruh migran dan kemiskinan.
Namun justru dari wilayah yang kerap dipinggirkan inilah, sebuah kampus masa depan dirancang: Politeknik Tanah Air Indonesia Raya. Kampus ini tidak dibangun di tengah kota, bukan pula di zona ekonomi khusus. Ia disiapkan di Gantar, Indramayu. Di atas tanah itu, tidak ada pohon yang ditebang untuk memulai pembangunan. Pohon-pohon besar dipindahkan dengan hati-hati, bukan dimusnahkan. Bagi sebagian orang, ini hanya soal teknis. Tapi bagi Al-Zaytun, ini adalah simbol.
Peletakan batu penjuru politeknik ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2025. Di hadapan tokoh nasional, civitas akademika Al-Zaytun, serta perwakilan pemerintah daerah, prosesi ini digelar dengan sederhana namun sarat makna.
Salah satu yang hadir adalah Bupati Indramayu, Lucky Hakim. Dalam sambutannya, ia menyoroti bagaimana Al-Zaytun telah memberi warna berbeda bagi wajah Indramayu. Ia menyatakan kekaguman atas filosofi pembangunan tanpa pengrusakan yang diterapkan: “Tidak menebang pohon, tapi memindahkan dengan bijak. Ini bukan hanya teknik, tapi nilai.” Ia menyebut Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai “langkah nyata menuju masa depan Indramayu yang lebih baik”, serta menyampaikan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan kampus ini sebagai pusat peradaban dan keberdayaan.
Hutan yang Melahirkan Teknokrat
Gagasan mendirikan politeknik di tengah kawasan hutan bukan keputusan logistik. Ini adalah pernyataan sikap. Hutan, dalam konteks ini, bukan hanya wilayah ekologis. Ia adalah simbol dari keterasingan, kesunyian, sekaligus potensi mentah yang belum digali. Al-Zaytun memilih untuk tidak membuka lahan dengan ekskavator, tetapi dengan imajinasi.
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya diproyeksikan sebagai lembaga pendidikan tinggi berbasis praktik dan produktivitas, bukan teori semata. Setiap mahasiswa akan diberi tanggung jawab mengelola 1.400 meter persegi lahan praktik. Ini bukan sebatas ruang agrikultur, tapi ladang hidup: tempat mereka menanam, memelihara, memanen, mengelola hasil, dan mengalami sendiri relasi antara ilmu, kerja, dan keberlanjutan.
Bukan kampus yang hadir di hutan. Tapi hutan yang menjadi kampus. Filosofinya sederhana tapi tegas: pendidikan tidak harus menguasai alam untuk disebut maju. Ia bisa tumbuh dari dalam, menyatu, dan menjadi bagian dari ekosistem yang sudah ada. Dalam pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya belajar “bagaimana cara bertahan hidup”, tetapi “bagaimana hidup dengan cara yang berkelanjutan.”
Koreksi terhadap Pembangunan yang Membakar Akar
Kita hidup di masa ketika kampus sering dibangun sebagai proyek infrastruktur. Gedung-gedung menjulang, investasi miliaran, tapi sering kehilangan relasi dengan lingkungan sekitar. Tidak jarang, tanah produktif digali untuk logam dan tambang, bukan untuk menanam masa depan. Syaykh Panji Gumilang pernah menyindir kondisi ini dalam pernyataannya, “Topsoil kita gali untuk nikel, bukan untuk kehidupan.”
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya berdiri sebagai antitesis dari pembangunan semacam itu. Ia tidak menjanjikan kemegahan fisik, tapi menjanjikan keberlanjutan. Ia bukan sekadar tempat untuk “belajar agar bisa bekerja,” tetapi tempat untuk menciptakan sistem kerja yang adil, ekologis, dan mandiri.
Secara bertahap, politeknik ini akan membuka lima program studi unggulan: Agronomi Presisi, Peternakan Presisi, Perikanan Presisi, Teknik Mesin, dan Kehutanan. Semuanya didesain dengan pendekatan terapan berbasis teknologi. 70% praktik, 30% teori. Didukung oleh Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT), setiap jurusan diarahkan untuk menjawab tantangan sektor pangan, energi, dan lingkungan masa depan.
Pendidikan sebagai Ekologi Sosial
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya lahir dari rahim sistem pendidikan berasrama yang telah dibangun di Al-Zaytun sejak 1999. Sistem yang mengintegrasikan belajar, hidup bersama, kerja, dan spiritualitas dalam satu kesatuan.
Kurikulum politeknik ini berbasis L-STEAM: Law, Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics. Tapi lebih dari akronim, pendekatan ini menekankan bahwa pendidikan harus menyentuh seluruh aspek kehidupan: mulai dari nilai hukum dan kedisiplinan, hingga penguasaan teknologi dan kepekaan artistik.
Fasilitas kampus disiapkan bukan untuk gaya, tapi fungsi. Termasuk di antaranya: gedung pembelajaran 7 dan 9 lantai, dua asrama masing-masing 12 lantai, greenhouse dan bioflok 4 hektare, serta lahan praktik tambahan 300 hektare. Semua itu bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dijalankan. Di sinilah pendidikan menjadi bagian dari ekologi sosial yang utuh: antara manusia, lingkungan, dan nilai.
Membangun dari Pinggiran, Melawan dari Akar
Memilih Gantar sebagai lokasi awal bukan keputusan simbolik semata. Dalam pidato Milad ke-26, Syaykh Panji Gumilang menyebut Indramayu, Garut, dan Tasikmalaya sebagai titik awal pengembangan Politeknik. Ketiganya bukan kota besar. Tapi justru karena itulah mereka dipilih. Pusat pembangunan nasional terlalu lama tertuju ke metropolitan. Sementara desa dan pinggiran dibiarkan menghidupi diri sendiri. Tanpa dukungan, tanpa arah.
Kehadiran Bupati Lucky Hakim dalam prosesi peletakan batu penjuru menjadi isyarat penting: bahwa pembangunan dari pinggiran bukan wacana kosong. Ia mulai dijalankan dengan tanah yang nyata, dengan manusia yang siap, dan dengan visi yang melampaui kota-kota besar.
Dari Hutan ke Peradaban – Sebuah Manifesto
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya bukan sekadar sekolah baru. Ia adalah deklarasi bahwa pendidikan tinggi bisa dibangun dari praktik, dari keberanian untuk mandiri, dan dari kepercayaan pada potensi lokal. Kampus ini belum selesai dibangun secara fisik. Tapi sebagai gagasan, ia sudah berjalan. Dalam sistem, dalam nilai, dan dalam semangat membangun dari bawah.
Dalam dunia yang semakin pragmatis, politeknik ini mengajukan sesuatu yang sederhana: mari belajar dari tanah yang kita injak, dari air yang kita minum, dan dari kerja yang benar-benar menghidupi. Hutan ini tidak akan ditebang. Ia akan tumbuh bersama teknokrat masa depan. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)























