Dari Sistem Hidup ke Sistem Didik
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai Arah Baru Pendidikan Nasional

Di tengah krisis makna pendidikan tinggi, gagasan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya muncul bukan sebagai tambahan lembaga, melainkan sebagai koreksi mendalam atas sistem lama. Belum dibangun sebagai institusi fisik, politeknik ini telah dimaknai sebagai jalan baru: pendidikan yang tumbuh dari kerja nyata, spiritualitas, dan keberdayaan. Sebuah gagasan yang hendak ditanamkan sebagai sistem hidup yang mendidik.
Pendidikan tinggi hari ini semakin mahal, abstrak, dan jauh dari realitas hidup masyarakat. Di banyak tempat, kampus berubah menjadi menara gading: dipenuhi teori, miskin kontribusi. Lulusannya sibuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan kerja. Gedung-gedung akademik menjulang, tapi akar sosial dan kulturalnya rapuh.
Dalam krisis orientasi inilah, Politeknik Tanah Air Indonesia Raya dirancang. Ia tidak dimaksudkan sebagai lembaga biasa dalam daftar institusi vokasi. Ia adalah pernyataan arah. Lebih dari tempat menimba ilmu, politeknik ini diniatkan sebagai ruang hidup yang menyatu dengan kerja, spiritualitas, pengetahuan, dan kebudayaan. Bukan kampus di atas tanah, tetapi pendidikan yang lahir dari tanah.
Koreksi terhadap Sistem Lama
Syaykh AS Panji Gumilang sejak lama melontarkan kritik atas pendidikan nasional: terlalu bergantung pada negara, terjebak administrasi, dan makin menjauh dari fungsi dasarnya yaitu membentuk manusia utuh. Ia menggarisbawahi: jika lembaga pendidikan tidak bisa berdiri tanpa subsidi, bagaimana mungkin ia mendidik tentang kemandirian?
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya hadir sebagai tawaran pembalikan arah. Bukan dimulai dari kurikulum atau proposal, tetapi dari kehidupan. Dari bagaimana pangan diproduksi, nilai ditanamkan, dan keterampilan dibentuk lewat kerja langsung. Ia tidak diniatkan menjadi pabrik gelar, tapi fondasi keberdayaan masyarakat.
Lahir dari Sistem Hidup, Bukan dari Ruang Diskusi
Gagasan politeknik ini bukan hasil seminar. Ia muncul dari pengalaman panjang sistem hidup yang dibangun di Al-Zaytun sejak 1999. Di sana, pendidikan berarti membentuk sistem hidup: bertani, beternak, mengelola dapur, menjaga kebersihan, menyusun logistik, dan hidup dalam disiplin spiritual.
Politeknik ini adalah kelanjutan alamiah dari sistem tersebut. Bedanya, kini ia hendak dihadirkan dalam bentuk pendidikan tinggi yang berbasis praktik dan keberanian berpikir mandiri. Kampus tidak lagi dimaknai sebagai ruang kuliah, tetapi sebagai ekosistem kehidupan.
L-STEAM: Menyatukan Disiplin, Teknologi, dan Spiritualitas
Pendekatan kurikulum yang dirancang untuk politeknik ini adalah L-STEAM: Law, Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics. Tapi ia bukan sekadar akronim. Ia adalah kerangka berpikir yang menyatukan kerja intelektual, nilai sosial, dan spiritualitas dalam sistem yang menyeluruh.
Pendidikan hukum tidak diajarkan lewat teks, tapi lewat tata hidup. Teknologi tidak dipelajari dalam ruang steril, melainkan dalam laboratorium nyata: sawah, peternakan, dapur. Seni hadir bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai cara membangun rasa dan ekspresi nilai. Dan spiritualitas menjadi nadi: mendasari semua kegiatan dengan kesadaran ekologis dan sosial.
Visi Besar: 500 Pusat Pendidikan Terpadu
Dalam pidato Milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang menyampaikan dorongan kepada pemerintah untuk membangun 500 pusat pendidikan terpadu di seluruh Indonesia. Usulan ini bukan sekadar gagasan retoris, melainkan lahir dari keyakinan bahwa membangun pendidikan dari pinggiran itu bisa, dan Al-Zaytun adalah contohnya.
Bagi Panji Gumilang, pembangunan nasional tidak harus dimulai dari Jakarta atau kota besar lainnya. Ia bisa tumbuh dari desa, dari lahan biasa, bahkan dari tempat yang lama dianggap “pinggiran.” Dengan keberanian, kemandirian, dan sistem yang teruji, pendidikan bisa menjadi pusat kehidupan.
Model Al-Zaytun yang telah berjalan selama dua dekade diyakini dapat direplikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Dalam bayangannya, pusat-pusat pendidikan ini akan menjadi ekosistem: ada pertanian, peternakan, teknologi, spiritualitas, dan kerja produktif yang menyatu. Bukan hanya tempat belajar, tapi ruang untuk menghidupkan masyarakat secara menyeluruh.
Menuju Kemandirian Bangsa
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya hadir sebagai jawaban atas pertanyaan paling dasar: bagaimana mendidik manusia agar bisa hidup, mandiri, dan membangun?
Dirancang bukan dari teori, tapi dari sistem hidup yang telah berjalan, politeknik ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus dimulai dari kurikulum tapi dari keberanian merancang kehidupan. Inilah yang menjadikannya arah baru pendidikan nasional: tidak lagi berpusat pada ijazah dan ruang kelas, melainkan pada nilai, kerja, dan pengalaman yang membentuk manusia utuh.
Gagasan ini belum menjadi bangunan fisik, tapi sudah menjadi pijakan baru. Ia menantang status quo, sekaligus mengajak kita berpikir ulang: apa itu pendidikan, untuk siapa, dan bagaimana ia dijalankan.
Dari sistem hidup ke sistem didik, Politeknik Tanah Air Indonesia Raya berdiri sebagai benih kemandirian dan keberdayaan. Dari tanah, untuk bangsa.
(Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)
Baca juga:


 
               
               
               
               
               
               
               
              