Dari Sistem Hidup ke Sistem Didik

Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai Arah Baru Pendidikan Nasional

0
Politeknik Tanah Air Indonesia Raya
Para tamu dan tokoh pendidikan membubuhkan tanda tangan di atas papan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya, 28 Oktober 2025 di Al-Zaytun. Momentum ini menandai peralihan dari sistem hidup berbasis komunitas menuju sistem pendidikan tinggi mandiri yang berakar pada kerja, spiritualitas, dan kemandirian.
Lama Membaca: 4 menit

Di tengah krisis makna pendidikan tinggi, Politeknik Tanah Air Indonesia Raya hadir bukan sebagai sekolah baru, tapi sebagai koreksi mendalam atas sistem lama. Dirancang dari kehidupan nyata, politeknik ini menawarkan jalan lain: pendidikan yang menyatu dengan kerja, spiritualitas, dan keberdayaan. Sebuah manifesto. Bukan lembaga.

Pendidikan tinggi hari ini semakin mahal, semakin abstrak, dan semakin jauh dari realitas hidup masyarakat. Di banyak tempat, kampus berubah menjadi menara gading. Dipenuhi teori, tapi miskin kontribusi nyata. Lulusan sibuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan kerja. Kampus tumbuh megah di tengah kota, tapi tak jarang terputus dari akar sosial dan kultural tempat ia berdiri.

Di tengah krisis orientasi itulah, gagasan Politeknik Tanah Air Al-Zaytun muncul. Bukan sebagai sekolah baru dalam daftar panjang institusi vokasi, melainkan sebagai jalan lain dalam memandang pendidikan itu sendiri. Ini bukan hanya lembaga, tapi manifesto. Bukan tempat menimba ilmu semata, tapi ruang hidup yang mengintegrasikan spiritualitas, kerja, pengetahuan, dan kebudayaan dalam satu sistem kehidupan yang utuh.


Kritik terhadap Sistem Lama

Syaykh Panji Gumilang tidak menutupi kritiknya terhadap sistem pendidikan nasional. Dalam berbagai pidato dan tulisan, ia menyebut pendidikan tinggi di Indonesia terlalu bergantung pada negara, terjebak dalam administrasi, dan semakin menjauh dari fungsi dasarnya: mendidik manusia yang utuh dan mandiri. Universitas dibangun megah, tapi lupa bertanya: apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat?

Pendidikan yang tidak bisa berdiri sendiri, menurutnya, belum bisa disebut sebagai pendidikan yang membebaskan. Ia hanya memperpanjang ketergantungan: pada anggaran pemerintah, pada ijazah formal, atau pada pasar kerja yang terus berubah. Lembaga pendidikan semacam ini justru mencetak lulusan yang “terdidik” tapi tidak siap hidup. Mereka tahu teori, tapi asing terhadap tanah, air, dan masyarakat tempat mereka berpijak.

Politeknik Tanah AIR hadir untuk membalik situasi itu. Ia tidak dimulai dari gedung atau kurikulum yang dirancang di atas kertas, tapi dari kehidupan yang nyata. Dari bagaimana pangan dikelola, bagaimana nilai ditanamkan, dan bagaimana manusia dibentuk lewat kerja, bukan hanya wacana. Ia bukan pabrik gelar, tapi tempat membangun keberdayaan dari bawah. Sebuah koreksi sistemik terhadap pendidikan yang terlalu lama menggantung di udara, dan lupa pada tanah di bawahnya.


Lahir dari Sistem Hidup, Bukan dari Ruang Diskusi

Politeknik Tanah AIR bukan gagasan yang muncul dari ruang seminar. Ia tidak dirumuskan lewat proposal donor atau rekomendasi pakar. Gagasan ini lahir dari pengalaman panjang Al-Zaytun membangun sistem pendidikan yang hidup. Bukan sekadar mengajar, tapi membentuk kehidupan itu sendiri. Bertani, beternak, membangun dapur umum, mengatur logistik, menjalankan asrama, hingga menyusun sistem kedisiplinan berbasis spiritualitas: semua ini bukan simulasi pendidikan, tapi pendidikan itu sendiri.

Selama lebih dari dua dekade, Ma’had Al-Zaytun telah menunjukkan bahwa pendidikan bisa menjadi ekosistem. Di sana, para santri dan mahasiswa tidak sekadar mengikuti pelajaran di kelas, tapi hidup dalam sebuah sistem yang menuntut tanggung jawab, kerja, dan solidaritas. Mereka menanam makanan yang mereka makan. Mereka menjaga kebersihan ruang yang mereka tinggali. Mereka belajar menyelesaikan konflik, menyusun strategi, dan membangun struktur kehidupan sehari-hari secara nyata.

Politeknik Tanah AIR adalah kelanjutan dari sistem ini, bukan pelengkap. Bedanya, kini sistem itu dibuka lebih luas: menjadi pendidikan tinggi berbasis praktik, keterampilan, dan keberanian berpikir mandiri. Kampus bukan lagi tempat menyerap ilmu, tapi tempat membangun kehidupan. Bagi Panji Gumilang dan Al-Zaytun, inilah pendidikan yang sesungguhnya: tidak terpisah dari kehidupan, tapi menyatu di dalamnya.


L-STEAM: Menyatukan Disiplin, Teknologi, dan Spiritualitas

Di banyak tempat, pendidikan teknologi dipisahkan dari nilai-nilai. Sains dianggap netral, hukum dianggap kaku, seni dianggap opsional, dan spiritualitas sering kali dianggap gangguan terhadap efisiensi. Tapi di Politeknik Tanah AIR, dikotomi itu sengaja diruntuhkan. Yang ditawarkan bukan sekadar integrasi bidang ilmu, tapi penyatuan cara hidup. Inilah esensi dari pendekatan L-STEAM: Law, Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics.

Advertisement

Bagi Panji Gumilang, pendidikan harus melatih logika dan etika sekaligus. Disiplin hukum ditanamkan tidak hanya lewat pelajaran, tapi lewat kebiasaan: siapa yang makan duluan, siapa yang membersihkan, bagaimana waktu digunakan, semua diatur dalam sistem yang menumbuhkan tanggung jawab. Teknologi tidak dipelajari dalam ruang steril, tapi dalam laboratorium hidup: sawah, peternakan, dapur, dan manajemen produksi.

Seni bukan pelengkap, melainkan bagian dari membangun rasa dan ekspresi kemanusiaan. Dan spiritualitas bukan sekadar ibadah, tapi jantung dari keseluruhan sistem: menyadarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal masa depan individu, tapi tanggung jawab terhadap sesama dan alam semesta. Dengan pendekatan L-STEAM, Politeknik Tanah AIR hendak melahirkan manusia teknokrat yang tidak kehilangan akar: berilmu, bekerja, dan tetap tahu arah.


Visi Besar: 500 Pusat Pendidikan Terpadu

Politeknik Tanah AIR hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dalam pidato Milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang menyebutkan bahwa pemerintah perlu membangun 500 pusat pendidikan terpadu di seluruh Indonesia. Bukan sekadar jaringan lembaga pendidikan, tapi gerakan menyambungkan ulang bangsa lewat pengetahuan, kerja, dan spiritualitas.

Di balik angka itu tersembunyi ide besar: bahwa pembangunan nasional tidak harus dimulai dari Jakarta atau ibukota provinsi. Ia bisa tumbuh dari desa, dari tanah kosong, dari tempat yang dulu dianggap pinggiran. Asalkan ada keberanian, kemandirian, dan sistem yang teruji, maka dari tempat seperti Gantar pun bisa lahir pusat peradaban.

Konsep 500 pusat pendidikan terpadu ini bukan ambisi kosong. Ia berpijak pada praktik nyata yang sudah berjalan di Al-Zaytun. Polanya bisa direplikasi, disesuaikan, dan ditumbuhkan sesuai dengan konteks lokal. Di setiap titik, pusat ini akan menjadi ekosistem mandiri: ada pertanian, peternakan, teknologi terapan, spiritualitas, dan pendidikan vokasi yang menyatu. Bukan hanya mencetak lulusan, tapi menghidupkan masyarakat di sekitarnya.

Dengan membangun 500 titik seperti ini, Panji Gumilang ingin menunjukkan bahwa pendidikan bukan beban negara, tapi sumber daya strategis untuk membangun bangsa dari bawah. Politeknik Tanah AIR adalah pionirnya. Dan jika proyek ini terus tumbuh, ia bisa menjadi cetak biru baru bagi arah pendidikan Indonesia yang berbasis kemandirian, berakar pada tanah, dan bertujuan membentuk manusia utuh.


Politeknik Sebagai Jalan Menuju Kemandirian Bangsa

Politeknik Tanah AIR bukan proyek akademik, tapi proyek kebangsaan. Ia tidak hadir untuk bersaing dalam peringkat kampus terbaik, tapi untuk menjawab pertanyaan paling dasar: bagaimana mendidik manusia agar bisa hidup, mandiri, dan membangun? Di tengah krisis identitas pendidikan tinggi, kampus ini menawarkan jalan lain: hidup bersama, bekerja bersama, tumbuh bersama.

Nama “AIR” memang singkatan dari Al-Zaytun Indonesia Raya. Tapi ia juga simbol tentang sesuatu yang menyusup, menyatu, dan menghidupkan tanpa gaduh. Politeknik ini tidak dibangun untuk menjadi pusat kekuasaan, melainkan simpul peradaban baru. Dari tempat yang dulu dianggap pinggiran, lahir konsep yang bisa mengubah arah.

Mungkin politeknik ini belum sempurna. Tapi sebagai gagasan, ia sudah menantang status quo. Ia sudah menjadi undangan untuk berpikir ulang tentang apa itu pendidikan, untuk siapa ia dibuat, dan bagaimana ia harus dijalankan. Dalam langkahnya yang sunyi tapi tegas, Politeknik Tanah AIR membawa pesan: bahwa bangsa ini bisa dibangun bukan dari pusat kekuasaan, tapi dari kesadaran paling dalam, bahwa pendidikan sejatinya adalah cara kita merawat kehidupan. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini