Mengapa Al-Zaytun Tidak Goyah
Apa yang membuatnya tetap tegak saat banyak yang menjauh?

Dalam dua tahun terakhir, Ma’had Al-Zaytun menghadapi tekanan yang tidak ringan. Dari opini publik hingga proses hukum, sorotan datang bertubi-tubi. Namun di tengah itu semua, lembaga pendidikan ini tampak tetap berjalan normal. Tidak gaduh, tidak gentar, dan yang paling mencolok: tidak goyah.
Tulisan ini merupakan bagian dari seri Milad ke-26 Al-Zaytun yang merekam gagasan, refleksi, dan arah baru pendidikan dari Syaykh AS Panji Gumilang:
- Mengapa Al-Zaytun Tidak Goyah. Menjelaskan bagaimana Al-Zaytun tetap bertahan di tengah tekanan dengan sistem pangan dan struktur internal yang kokoh.
- Panji Gumilang: Tak Goyah, Tak Menyesal. Fragmen refleksi perjalanan hidup Syaykh, dari prinsip mandiri, membangun sistem, hingga menghadapi ujian.
- Politeknik AIR: Filosofi, Identitas, dan Arah Baru. Menguraikan lahirnya gagasan Politeknik AIR sebagai pendidikan tinggi berbasis praktik, kemandirian, dan pengalaman.
- Milad ke-26 Al-Zaytun: Mungkinkah 15 Tahun Mengubah Indonesia. Mengangkat kritik atas sistem lama dan visi pendidikan berasrama untuk menjawab tantangan Indonesia 2045.
Ma’had Al-Zaytun genap berusia 26 tahun pada 27 Agustus 2025. Dalam usia yang telah melewati seperempat abad ini, institusi pendidikan yang berlokasi di Indramayu, Jawa Barat itu kembali menegaskan keberadaannya. Bukan sekadar bertahan, tapi justru memperkuat pondasi dan memperluas visi ke depan, di tengah tekanan, kritik, bahkan kriminalisasi terhadap pendirinya, Syaykh AS Panji Gumilang.
Milad ke-26 yang digelar secara terbuka dan dihadiri berbagai unsur masyarakat, akademisi, dan pejabat publik menjadi penanda penting. Di saat banyak pihak menjauh dan opini publik dilanda polemik, Al-Zaytun tetap menjalankan roda pendidikannya seperti biasa. Tidak ada kekacauan logistik, tidak ada kegagapan operasional, tidak ada jeda dalam proses belajar mengajar. Dalam istilah sederhana: Al-Zaytun tetap tegak berdiri.
Pertanyaan penting kemudian muncul: Apa yang membuat lembaga ini tetap kokoh saat diterpa gelombang kencang?
Jawabannya bukan terletak pada strategi hukum atau kekuatan jejaring eksternal, melainkan pada ketahanan internal yang telah dibangun sejak awal berdiri. Ketahanan yang bukan hanya bersifat teknis, tapi melekat dalam sistem, budaya, dan cara hidup komunitas pendidikan di dalamnya.
Sejak awal didirikan, Ma’had Al-Zaytun dikenal membangun sistem yang mandiri, terutama dalam urusan pangan dan pengelolaan kehidupan kampus. Kemandirian ini bukan sebatas jargon, tapi diwujudkan secara praktis dalam pengelolaan pertanian, peternakan, hingga dapur umum yang memasok kebutuhan harian ribuan santri.
Model pendidikan yang dijalankan berbasis berasrama dan terintegrasi, dengan sistem yang mereka sebut sebagai one pipe education. Semua lini operasional: dari kebutuhan logistik, pembelajaran, sampai pelayanan kebersihan, dikelola secara internal. Dengan sistem ini, proses pendidikan berjalan dalam satu kesatuan yang saling menopang.
Ketika lembaga ini menghadapi tekanan eksternal yang masif, sistem tersebut tetap bekerja sebagaimana mestinya. Tidak ada laporan tentang aktivitas belajar yang terhenti, tidak ada distribusi pangan yang terganggu, tidak pula terjadi kekacauan organisasi. Hal-hal yang dalam banyak kasus bisa melumpuhkan lembaga pendidikan, di sini justru menjadi bukti bahwa sistem yang dibangun mampu bertahan.
Bagi Al-Zaytun, ketahanan bukanlah kondisi darurat, melainkan bagian dari struktur harian. Ia dibentuk dan dijaga sejak awal, bukan dibangun karena krisis.
Dalam dua tahun terakhir, tekanan terhadap Ma’had Al-Zaytun dan Syaykh Panji Gumilang datang dari berbagai arah. Mulai dari opini media, desakan politik, hingga proses hukum yang menyita perhatian publik. Namun di tengah situasi itu, kehidupan kampus tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada penghentian aktivitas, tidak ada kepanikan kolektif, dan tidak ada eksodus santri.
Selama 351 hari, Syaykh Panji Gumilang tidak berada di lingkungan kampus, namun sistem yang dibangunnya tetap berjalan. Para guru tetap mengajar, para santri tetap belajar, dan logistik tetap mengalir. Bahkan, rutinitas simbolik seperti menyanyikan lagu “Indonesia Raya” tetap dilakukan, sebagai bentuk konsistensi nilai kebangsaan yang telah ditanamkan sejak awal.
Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan institusi tidak semata bergantung pada figur pemimpin, melainkan terletak pada sistem yang solid dan struktur yang fungsional. Ketika banyak pihak mengambil jarak, baik secara sosial maupun administratif, Al-Zaytun memperlihatkan bahwa kekuatan sistem internal mampu menopang keberlangsungan pendidikan.
Model ini menjadi penting untuk dicatat, bukan hanya dalam konteks Al-Zaytun sebagai satuan institusi, tetapi juga sebagai pembelajaran bagi sistem pendidikan nasional yang selama ini rentan terhadap guncangan eksternal.
Dalam dunia pendidikan, banyak lembaga berjalan baik selama situasi normal. Namun ketika terjadi gangguan, baik dari sisi regulasi, pendanaan, maupun sosial-politik, tidak sedikit yang kemudian goyah. Ketergantungan pada sumber daya eksternal seringkali membuat institusi menjadi rapuh di saat krisis.
Al-Zaytun menghadirkan pendekatan berbeda. Ia membangun dirinya sebagai lembaga yang tidak menggantungkan kelangsungannya pada anggaran pemerintah, donatur luar, atau jaringan relasi yang bersifat politis. Kebutuhan pokok dikelola secara mandiri. Tenaga pengajar adalah bagian dari sistem yang terintegrasi, dan siswa hidup dalam lingkungan asrama yang tertata secara kolektif.
Kondisi seperti ini memungkinkan Al-Zaytun untuk tetap beroperasi penuh meskipun dalam tekanan. Dalam konteks pendidikan nasional, ini memberikan contoh bahwa ketahanan institusi tidak hanya ditentukan oleh legalitas dan reputasi, tetapi oleh kesiapan sistem internal dalam menghadapi situasi tidak normal.
Al-Zaytun bisa disebut sebagai sebuah prototipe pendidikan yang tahan uji. Ia tidak hanya mampu menjalankan fungsi pendidikan, tapi juga memiliki ketahanan sosial, logistik, dan kultural yang menyatu dalam keseharian.
Apa yang ditunjukkan Al-Zaytun dalam situasi krisis memberi pelajaran penting bagi desain pendidikan nasional. Ketahanan lembaga pendidikan seharusnya menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks negara kepulauan yang rawan bencana, instabilitas politik, dan disparitas pembangunan.
Banyak lembaga pendidikan di Indonesia masih sangat bergantung pada pendanaan negara, bantuan luar negeri, atau sponsor. Ketika salah satu sumber terganggu, proses belajar-mengajar pun ikut terhambat. Ketahanan bukan hanya soal kemampuan bertahan secara ekonomi, tetapi juga terkait manajemen, sumber daya manusia, dan struktur kelembagaan yang memungkinkan fungsi pendidikan tetap berjalan dalam kondisi apapun.
Model seperti yang diterapkan Al-Zaytun memperlihatkan bahwa ketahanan bisa dibangun sejak awal dengan pendekatan integratif:
- Pendidikan berbasis asrama
- Sistem pangan mandiri
- Tenaga pengajar yang tinggal di lingkungan kampus
- Pembelajaran yang menggabungkan teori dan praktik secara langsung
Jika pendekatan ini diadopsi lebih luas (dengan tentu menyesuaikan konteks lokal), Indonesia bisa memiliki jaringan lembaga pendidikan yang tidak hanya berfungsi dalam kondisi normal, tetapi juga mampu bertahan dan tetap berjalan dalam tekanan.
Ketahanan yang dibangun oleh Ma’had Al-Zaytun bukanlah sebuah kebetulan, tetapi hasil dari perencanaan jangka panjang dan filosofi pendidikan yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Selama lebih dari dua dekade, lembaga ini menempatkan kemandirian sebagai prinsip dasar, baik dalam urusan pangan, tata kelola, maupun pola pembelajaran.
Dalam konteks yang lebih luas, Al-Zaytun menghadirkan satu kemungkinan baru: bahwa lembaga pendidikan tidak harus bergantung sepenuhnya pada faktor eksternal untuk bertahan dan berkembang. Dengan sistem yang tepat, lembaga pendidikan dapat menjadi entitas yang berdiri kokoh, bahkan saat menghadapi ujian besar sekalipun.
Sebagai bangsa yang terus berupaya membangun sistem pendidikan yang kuat dan merata, pengalaman Al-Zaytun layak dijadikan bahan renungan. Bukan untuk ditiru mentah-mentah, tetapi untuk direnungkan esensinya: bahwa daya tahan institusi adalah fondasi penting dalam menjamin mutu pendidikan jangka panjang. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)