Milad ke-26 Al-Zaytun: Mungkinkah 15 Tahun Mengubah Indonesia
Visi pendidikan berasrama untuk Indonesia 2045

Di Milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang tidak hanya bicara tentang lembaganya. Ia mengajukan pertanyaan yang lebih luas: mungkinkah pendidikan menjadi jalan untuk mengubah Indonesia hanya dalam waktu 15 tahun? Pertanyaan itu ia jawab dengan kritik tajam pada sistem lama dan tawaran model baru berbasis pendidikan berasrama.
Tulisan ini merupakan bagian dari seri Milad ke-26 Al-Zaytun yang merekam gagasan, refleksi, dan arah baru pendidikan dari Syaykh AS Panji Gumilang:
- Mengapa Al-Zaytun Tidak Goyah. Menjelaskan bagaimana Al-Zaytun tetap bertahan di tengah tekanan dengan sistem pangan dan struktur internal yang kokoh.
- Panji Gumilang: Tak Goyah, Tak Menyesal. Fragmen refleksi perjalanan hidup Syaykh, dari prinsip mandiri, membangun sistem, hingga menghadapi ujian.
- Politeknik AIR: Filosofi, Identitas, dan Arah Baru. Menguraikan lahirnya gagasan Politeknik AIR sebagai pendidikan tinggi berbasis praktik, kemandirian, dan pengalaman.
- Milad ke-26 Al-Zaytun: Mungkinkah 15 Tahun Mengubah Indonesia. Mengangkat kritik atas sistem lama dan visi pendidikan berasrama untuk menjawab tantangan Indonesia 2045.
Dalam pidatonya, Syaykh Panji Gumilang menyoroti persoalan mendasar pendidikan di Indonesia. Sistem yang ada dinilainya terlalu tersebar, tidak terkontrol, dan menimbulkan ketimpangan kualitas. Ia menyinggung masih ada sekolah dasar dengan hanya satu guru untuk semua murid, sementara di kota-kota besar fasilitas melimpah. Kondisi seperti ini, menurutnya, tidak akan mampu membawa Indonesia sejajar dengan bangsa lain. Karena itu, ia menawarkan gagasan pendidikan terpusat dan berasrama di 500 titik nasional, dengan orientasi vokasional agar kualitas lebih merata dan mudah diawasi.
Ia membandingkan dengan negara lain: Amerika Serikat yang datarannya menyatu, Finlandia dengan sistem pendidikan yang maju, hingga Singapura yang relatif mudah ditata karena hanya satu pulau. Indonesia, menurutnya, membutuhkan pendekatan berbeda. Pendidikan perlu dipusatkan agar terkonsolidasi dan mudah diawasi, bukan terus disebar tanpa arah.
Usulannya cukup tegas: pendidikan dasar hingga menengah diselenggarakan secara terpusat dalam bentuk berasrama. Bukan lagi tersebar di tiap desa atau kecamatan, melainkan terkonsentrasi di 500 titik nasional. Dengan cara itu, standar pendidikan bisa dijaga, fasilitas bisa terjamin, dan proses belajar bisa berlangsung lebih merata.
Selain menyoroti pendidikan yang tersebar, Syaykh Panji Gumilang juga menyinggung soal biaya dan tata kelola. Menurutnya, kapitalisme telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Biaya sekolah dan perguruan tinggi kian mahal, sementara kualitas tidak merata. Akibatnya, pendidikan justru memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Ia juga menyinggung praktik korupsi yang terus menggerogoti pembangunan, termasuk di sektor pendidikan. Baginya, sehebat apa pun program yang dirancang, tidak akan berhasil jika dana terus bocor. Karena itu, ia menekankan perlunya politik yang beretika, politik yang menempatkan keadilan sosial di atas kepentingan kelompok atau transaksi.
Dalam pidatonya, ia mengingatkan kembali pada sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menurutnya, pendidikan adalah salah satu instrumen utama untuk mewujudkan sila tersebut. Jika pendidikan hanya bisa diakses oleh sebagian kecil masyarakat, maka sila kelima tinggal menjadi semboyan.
Dalam pandangan Syaykh Panji Gumilang, pendidikan tidak hanya berfungsi mencetak lulusan, tetapi juga menyambungkan Indonesia sebagai bangsa. Ia menekankan, dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yang dibutuhkan bukan hanya jembatan atau jalan tol, melainkan sumber daya manusia yang mampu menghubungkan semuanya.
Karena itu, usulan pendidikan terpusat di 500 titik nasional diarahkan bukan sekadar untuk efisiensi, melainkan juga untuk integrasi. Di kampus berasrama, peserta didik dari berbagai daerah dan latar belakang hidup bersama, belajar bersama, dan tumbuh bersama. Dari situ, mereka bukan hanya terampil secara vokasional, tetapi juga memiliki kesadaran kebangsaan yang sama.
Lebih jauh, ia menilai bahwa dari kampus berasrama inilah kelak pemimpin bangsa harus lahir. Mulai dari bupati, gubernur, hingga presiden seharusnya berasal dari lembaga pendidikan yang membentuk mereka secara utuh, bukan hanya secara akademik, tetapi juga dalam hal disiplin, kemandirian, dan integritas. Dengan cara ini, pendidikan menjadi fondasi bagi penyatuan bangsa sekaligus regenerasi kepemimpinan.
Gagasan yang disampaikan Syaykh Panji Gumilang pada milad ke-26 Al-Zaytun bukanlah mimpi kosong. Ia menegaskan bahwa transformasi pendidikan nasional bisa dilakukan dalam waktu 15 tahun. Jika dimulai sekarang, hasilnya bisa dirasakan menjelang 2045, tahun ketika Indonesia merayakan seratus tahun kemerdekaan.
Pendidikan berasrama yang terpusat, mandiri, dan berorientasi vokasional dianggapnya sebagai kunci. Dengan sistem yang kuat, biaya yang terkelola, serta politik yang beretika, pendidikan dapat menjadi alat pemerataan sekaligus perekat bangsa.
Pertanyaan “Mungkinkah 15 tahun mengubah Indonesia?” tidak hanya retoris. Bagi Syaykh Panji Gumilang, jawabannya: mungkin, asal pendidikan tidak dikelola sebagai rutinitas, tapi sebagai revolusi kebangsaan. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)