
Pada Milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang berbicara dua kali. Ia tidak berpidato dari podium, melainkan duduk di tempatnya dan menuturkan potongan cerita hidup: bagaimana ia membangun sistem, menjaga prinsip, dan menghadapi ujian.
Tulisan ini merupakan bagian dari seri Milad ke-26 Al-Zaytun yang merekam gagasan, refleksi, dan arah baru pendidikan dari Syaykh AS Panji Gumilang:
- Mengapa Al-Zaytun Tidak Goyah. Menjelaskan bagaimana Al-Zaytun tetap bertahan di tengah tekanan dengan sistem pangan dan struktur internal yang kokoh.
- Panji Gumilang: Tak Goyah, Tak Menyesal. Fragmen refleksi perjalanan hidup Syaykh, dari prinsip mandiri, membangun sistem, hingga menghadapi ujian.
- Politeknik AIR: Filosofi, Identitas, dan Arah Baru. Menguraikan lahirnya gagasan Politeknik AIR sebagai pendidikan tinggi berbasis praktik, kemandirian, dan pengalaman.
- Milad ke-26 Al-Zaytun: Mungkinkah 15 Tahun Mengubah Indonesia. Mengangkat kritik atas sistem lama dan visi pendidikan berasrama untuk menjawab tantangan Indonesia 2045.
Salah satu hal yang sering muncul dalam penuturan Syaykh Panji Gumilang adalah pentingnya prinsip kemandirian. Ia menyebut bahwa sejak duduk di bangku SMP, ia sudah membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno. Dari sana, ia menangkap satu kata yang melekat kuat: mandiri. Kata itu menjadi pegangan, bahkan sampai hari ini.
Dalam berbagai cerita yang ia sampaikan, baik saat membangun sistem pendidikan maupun ketika menghadapi tekanan, prinsip itu selalu hadir. Mandiri bukan berarti menutup diri, tapi bebas dari ketergantungan. Membangun sistem sendiri, berjalan di jalur sendiri, dan menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
Di kesempatan lain, ia juga menyebut tentang pentingnya “Raya” dalam nama “Indonesia Raya.” Kata itu bukan sekadar tambahan, tapi bagian dari kesadaran historis. Ia mengaitkan dengan semangat kebangsaan yang seharusnya tidak hilang dari pendidikan. Karena itu pula, nama “Politeknik AIR” yang sebelumnya hanya berarti Al-Zaytun Indonesia kemudian ditambahkan kata “Raya”, sebagai koreksi dan penguatan nilai.
Dalam salah satu ceritanya, Syaykh Panji Gumilang menyebut bahwa membangun Al-Zaytun tidak dimulai dari kelengkapan, tetapi dari tekad dan sistem. Ia menuturkan bagaimana di masa awal, yang ada hanya keyakinan dan kemauan. Bahkan, ia menyebut salah satu kawan dekatnya sebagai “penagih utang” yang setia mendampingi di masa-masa sulit. Mereka membangun sambil menyelesaikan utang, dan tetap jalan.
Bagi Syaykh, membangun lembaga pendidikan bukan soal dana besar atau dukungan luas. Yang lebih penting adalah adanya sistem yang bisa berjalan dan berkembang, sekalipun tanpa jaminan dari luar. Karena itu, sejak awal ia tidak membentuk sekolah yang bergantung pada bantuan pemerintah atau sponsor tertentu. Sistem yang dibuat harus bisa menopang dirinya sendiri.
Kisah membangun ini juga menunjukkan satu hal: bahwa sistem lebih penting daripada simbol. Ia tidak membangun berdasarkan citra, tapi pada struktur dan fungsi. Dalam pandangannya, jika sistemnya kuat, maka lembaganya akan tetap berjalan, meskipun orang-orangnya silih berganti.
Dalam periode hampir satu tahun tidak berada di kampus, Syaykh Panji Gumilang menyebut dirinya “tidak hadir secara fisik, tapi tetap hadir dalam sistem.” Ia tidak bercerita panjang soal proses hukum yang dijalaninya, tapi menekankan bagaimana Al-Zaytun tetap berjalan seperti biasa karena sistemnya memang dirancang untuk mandiri.
Ia bahkan mengaku sempat khawatir apakah sistem itu akan goyah tanpa kehadirannya langsung. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: semua tetap berjalan. Produksi tetap berlangsung, pendidikan tetap berputar, kegiatan internal tetap hidup. Hal ini, baginya, menjadi bukti bahwa apa yang selama ini dibangun bukan bergantung pada figur.
Dalam salah satu bagian cerita, ia menyebut bahwa selama masa ‘topo broto” itu pun ia tetap menjaga rutinitas menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” setiap malam. Tidak sebagai formalitas, tapi sebagai pengingat arah dan semangat. Sistem internal yang ia maksud bukan hanya tentang manajemen, tetapi juga ritme hidup, kedisiplinan, dan nilai-nilai yang terus dijaga bersama.
Dalam berbagai pernyataannya, Syaykh Panji Gumilang tidak terdengar menyesali jalan yang telah ia pilih. Ia justru menjadikannya sebagai titik refleksi termasuk saat menyinggung perubahan nama Politeknik AIR, dari “Al-Zaytun Indonesia” menjadi “Al-Zaytun Indonesia Raya.” Perubahan itu ia sebut sebagai bagian dari pertobatan sejarah sekaligus penegasan bahwa apa yang dibangun bukan hanya untuk lingkungan terbatas, melainkan untuk Indonesia secara luas. Menurutnya, kata “Raya” mengandung makna kebangsaan yang selama ini memang dijalani di Al-Zaytun, bukan sekadar diajarkan.
Ia juga menyampaikan bahwa tidak semua langkah akan mudah, dan tidak semua keputusan akan disukai. Tapi selama pijakannya jelas yakni sistem yang mandiri dan nilai kebangsaan yang hidup, maka langkah tetap bisa diteruskan, tanpa harus mundur karena tekanan.
Apa yang disampaikan Syaykh Panji Gumilang dalam dua kesempatan bicara di milad ke-26 bukanlah kisah hidup utuh. Tidak runut, tidak lengkap, dan tidak diarahkan untuk menjelaskan semuanya. Tapi dari potongan-potongan yang muncul, kita bisa menangkap garis besar: bagaimana prinsip dipegang, bagaimana sistem dibangun, dan bagaimana ia tetap berada di jalurnya, bahkan saat situasi tidak mudah.
Cerita-cerita itu bukan testimoni atau pembelaan, melainkan refleksi yang menunjukkan karakter: tidak banyak bicara, tapi terus melangkah. Dalam pembangunan jangka panjang seperti Al-Zaytun, keteguhan semacam ini menjadi bagian dari fondasi: diam, tapi tetap bekerja. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)