Politeknik AIR: Filosofi, Identitas, dan Arah Baru
Gagasan pendidikan tinggi yang lahir dari ladang, sistem, dan pengalaman

Diumumkan langsung oleh Syaykh AS Panji Gumilang dalam acara Milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, pendirian Politeknik AIR bukan sekadar inisiatif kelembagaan. Ia merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan yang telah berjalan lebih dari dua dekade: berbasis kehidupan, produksi, dan kemandirian. Nama dan konsepnya mencerminkan arah baru dalam melihat pendidikan tinggi: bukan dari atas, tapi dari bawah; bukan dari wacana, tapi dari kerja nyata.
Tulisan ini merupakan bagian dari seri Milad ke-26 Al-Zaytun yang merekam gagasan, refleksi, dan arah baru pendidikan dari Syaykh AS Panji Gumilang:
- Mengapa Al-Zaytun Tidak Goyah. Menjelaskan bagaimana Al-Zaytun tetap bertahan di tengah tekanan dengan sistem pangan dan struktur internal yang kokoh.
- Panji Gumilang: Tak Goyah, Tak Menyesal. Fragmen refleksi perjalanan hidup Syaykh, dari prinsip mandiri, membangun sistem, hingga menghadapi ujian.
- Politeknik AIR: Filosofi, Identitas, dan Arah Baru. Menguraikan lahirnya gagasan Politeknik AIR sebagai pendidikan tinggi berbasis praktik, kemandirian, dan pengalaman.
- Milad ke-26 Al-Zaytun: Mungkinkah 15 Tahun Mengubah Indonesia. Mengangkat kritik atas sistem lama dan visi pendidikan berasrama untuk menjawab tantangan Indonesia 2045.
Gagasan pendirian Politeknik AIR muncul dari pengalaman panjang membangun kehidupan pendidikan yang utuh di Al-Zaytun. Bukan dari ruang diskusi akademik, melainkan dari praktik sehari-hari yang terus dijalani: bertani, beternak, mengelola logistik, membangun sistem, dan mendidik secara langsung. Di situlah pendidikan tidak hanya diajarkan, tapi dijalani. Politeknik AIR tumbuh dari situ sebagai kelanjutan yang alamiah, bukan sebagai sesuatu yang dirancang di luar konteks.
Nama “AIR” yang disematkan pada politeknik ini bukan dipilih secara kebetulan. Ia merupakan singkatan dari Al-Zaytun Indonesia Raya, sebuah nama yang mengandung cita-cita besar tentang kontribusi pendidikan bagi bangsa. Namun lebih dari sekadar singkatan, kata “air” itu sendiri mengandung makna simbolik yang kuat dalam tradisi dan kesadaran kolektif bangsa Indonesia.
Air adalah sumber kehidupan, unsur yang tidak bisa dipisahkan dari proses tumbuh dan berkembang. Ia bersih, mengalir, menyatukan, dan menjangkau seluruh lapisan tanpa membedakan tinggi atau rendah. Filosofi inilah yang hendak ditanamkan dalam Politeknik AIR: pendidikan yang menjadi penghidup, yang hadir di mana-mana, dan yang bisa menyatu dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Dalam pidatonya, Syaykh Panji Gumilang menyebutkan bahwa nama ini terinspirasi dari “Universidad de la Tierra” di Costa Rica, yang secara harfiah berarti “Universitas Bumi”. Jika ada Universitas Bumi, maka dari Indonesia lahirlah Politeknik AIR. Bumi dan air, dua unsur yang menjadi dasar kehidupan dan juga dasar kebangsaan Indonesia.
Dalam pidato milad, Syaykh Panji Gumilang menyoroti realitas pendidikan tinggi di Indonesia yang dinilai terlalu teoritis, terpusat di kota-kota besar, dan masih sangat bergantung pada dukungan negara atau sektor swasta. Ia menyebut kondisi ini sebagai bentuk ketimpangan struktural yang harus diatasi dengan pendekatan baru.
Politeknik AIR ditawarkan sebagai alternatif: sebuah lembaga pendidikan tinggi yang mandiri, berbasis praktik, dan berakar pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Gagasan ini lahir dari pengalaman panjang menjalankan pendidikan berbasis asrama di Al-Zaytun, di mana para peserta didik tidak hanya belajar teori, tetapi juga hidup bersama, bekerja bersama, dan membangun sistem secara nyata.
Syaykh Panji Gumilang menggambarkan Politeknik AIR sebagai bentuk koreksi terhadap ketergantungan. Menurutnya, jika sebuah lembaga pendidikan tidak bisa berdiri tanpa bantuan negara, maka ia belum sepenuhnya menjadi lembaga yang mendidik untuk kemandirian. Sebaliknya, politeknik ini dirancang untuk melatih keterampilan, menghasilkan produk, dan membangun ekonomi lokal di sekitarnya.
Dengan pendekatan seperti ini, pendidikan tidak lagi berhenti di ruang kelas. Ia menjadi bagian dari sistem produksi, kehidupan sosial, dan proses pembangunan. Politeknik AIR diharapkan menjadi contoh bahwa pendidikan tinggi bisa relevan, aplikatif, dan berdampak langsung.
Politeknik AIR tidak diarahkan untuk menjadi kampus yang sibuk dengan teori, seminar, atau perkuliahan konvensional. Fokusnya adalah pada bidang-bidang terapan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat dan pembangunan lokal. Beberapa program utama yang disebutkan antara lain agronomi, peternakan, perikanan, kehutanan, teknologi pangan, dan teknik terapan.
Semua bidang itu bukan sekadar rencana di atas kertas. Ia tumbuh dari praktik yang sudah berjalan selama bertahun-tahun di lingkungan Al-Zaytun. Di sana, pertanian dijalankan secara serius, peternakan dikelola sebagai bagian dari sistem pendidikan, dan dapur umum beroperasi layaknya institusi logistik besar. Inilah yang menjadi fondasi kurikulum Politeknik AIR: belajar dari sistem yang sudah nyata dan terbukti berfungsi.
Para peserta didik diharapkan tidak hanya belajar secara akademik, tapi juga mengalami langsung proses kerja, manajemen, hingga produksi. Dengan begitu, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga keterampilan dan tanggung jawab. Pendidikan menjadi bagian dari kehidupan yang dijalani, bukan hanya materi yang dihafal.
Politeknik AIR menawarkan model pendidikan tinggi yang tumbuh dari realitas, berpijak pada praktik, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Dalam pemaparannya, Syaykh Panji Gumilang menyebutkan tiga wilayah sebagai titik awal pendirian Politeknik AIR: Indramayu, Garut, dan Tasikmalaya. Ketiganya bukan kota besar, melainkan kawasan yang memiliki potensi agraris dan karakter masyarakat lokal yang kuat. Pemilihan lokasi ini mencerminkan arah dari visi Politeknik AIR: membangun dari pinggiran, bukan dari pusat.
Tidak ada rencana untuk mendirikan kampus di ibukota provinsi atau kota metropolitan. Politeknik AIR justru diarahkan untuk menyatu dengan wilayah yang membutuhkan penguatan sumber daya manusia berbasis lokalitas. Dengan pendekatan ini, pendidikan tinggi tidak lagi memusat, tapi menyebar dan menyatu dengan kebutuhan riil masyarakat.
Lebih jauh, gagasan ini merupakan bagian dari visi nasional: menyambungkan Indonesia lewat pendidikan, bukan hanya lewat jalan tol atau infrastruktur fisik. Jika institusi seperti Politeknik AIR bisa dikembangkan di berbagai wilayah, maka ia bisa menjadi perekat baru bagi Indonesia, melalui kompetensi, pengabdian, dan kemandirian.
Dalam konteks ini, politeknik bukan sekadar tempat belajar, tapi pusat transformasi sosial. Ia hadir sebagai institusi yang membantu masyarakat memahami dan mengelola sumber dayanya sendiri.
Politeknik AIR bukan hanya tentang lembaga baru. Ia adalah penanda arah baru dalam memandang pendidikan tinggi, bahwa pendidikan bisa lahir dari pengalaman nyata, berdiri di atas kaki sendiri, dan menyatu dengan kebutuhan masyarakat sekitar.
Nama AIR memang singkatan dari Al-Zaytun Indonesia Raya, tetapi maknanya jauh lebih dalam. Ia mewakili prinsip bahwa pendidikan harus menjadi bagian dari kehidupan, tidak mengambang di atas realitas, dan tidak terputus dari tanah tempat ia berdiri. Air menyusup, menghidupkan, dan mengalirkan manfaat. Begitu pula harapannya terhadap politeknik ini.
Dalam rangkaian milad ke-26 Ma’had Al-Zaytun, gagasan Politeknik AIR menjadi bukti bahwa refleksi masa lalu bisa melahirkan langkah nyata ke depan. Pendidikan tidak harus bermula dari rancangan pusat kekuasaan. Ia bisa tumbuh dari tanah, dari praktik yang dijalani, dan dari keberanian merancang masa depan secara mandiri dan kontekstual. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)