Negara Takut Buku
Menyita buku bukan hanya tindakan hukum. Ia memperlihatkan cara negara menilai pikiran: bukan sebagai hak, tapi sebagai ancaman yang bisa disita sewaktu-waktu.
Dalam proses hukum terhadap sejumlah demonstran yang dituduh terlibat kerusuhan, polisi menyita beberapa buku sebagai barang bukti. Buku-buku itu, menurut keterangan resmi, dianggap memuat paham anarkis dan dikaitkan dengan niat melawan hukum. Tidak dijelaskan bagaimana isi buku-buku itu secara langsung mendorong tindakan kriminal. Tapi penyitaan itu sendiri menyampaikan satu hal yang patut dipertanyakan: bahwa membaca bisa dianggap berbahaya.
Yang perlu digugat bukan hanya tindakan penyitaannya, melainkan cara berpikir yang mendasarinya. Yakni cara berpikir yang menyamakan membaca dengan menyetujui, menyimpan buku dengan menyebarkan paham, dan mempelajari gagasan dengan merencanakan pelanggaran. Cara berpikir seperti ini menyederhanakan relasi antara teks dan tindakan, dan dalam banyak hal, menempatkan tafsir sebagai bukti niat.
Padahal seseorang bisa membaca kritik terhadap negara tanpa menjadi anti-negara. Bisa membaca tentang gerakan kiri tanpa menjadi bagian dari gerakan itu. Bisa mempelajari sejarah kekerasan tanpa sekalipun berniat mengulangnya. Buku tidak memaksa. Buku tidak menyuruh. Yang membuat seseorang bertindak adalah kesadarannya, bukan kalimat dalam halaman. Maka yang seharusnya diuji adalah kesadaran, bukan bacaan.
Menganggap isi buku sebagai cermin niat, tanpa menyelami konteksnya, adalah bentuk kemalasan intelektual yang bisa dilegalkan. Dari situ, penyalahgunaan bukan lagi risiko, tapi konsekuensi. Jika membaca dijadikan dalih, maka semua yang berpikir bisa dicurigai, dan semua yang bertanya bisa dibungkam.
Negara yang percaya pada kekuatannya tidak takut pada buku. Hanya kekuasaan yang rapuh merasa perlu melawan pikiran. Sebab buku bisa dibantah, bisa dikritik, bisa diabaikan. Tapi ketika buku disita tanpa dibaca, yang sedang diberantas bukan isi buku, melainkan kemungkinan berpikir yang tak bisa dikendalikan.
Kita sudah pernah ada di titik ini. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, khususnya tetralogi Bumi Manusia, pernah dilarang beredar. Bukan karena mengajak kekerasan, tetapi karena menantang narasi resmi. Pelarangan itu kemudian diakui sebagai kekeliruan. Tapi kini, dengan wajah baru, kebiasaan lama muncul kembali, yakni saat negara menghindari debat, dan lebih memilih menyita.
Negara yang takut pada buku sesungguhnya sedang menunjukkan ketidakmampuan untuk berdialog dengan warganya. Ia tidak melawan isi, tapi membungkam kemungkinan. Dan dalam ruang di mana kemungkinan dibatasi, demokrasi hanya hidup sebagai simbol, bukan sebagai sistem berpikir.
Dan yang lebih mengkhawatirkan: tidak semua pelarangan perlu diumumkan. Ada bentuk lain yang lebih halus, rasa takut. Ketika satu buku disita, banyak orang mulai ragu membaca buku serupa. Ketika satu bacaan dicurigai, orang-orang akan menjauh, bukan karena setuju, tapi karena tak ingin disalahpahami. Inilah bentuk sensor yang paling berhasil: ketika masyarakat mulai membatasi dirinya sendiri.
Buku tidak pernah memaksa. Yang memaksa adalah rasa takut yang tidak mau berdebat. Maka pertanyaannya bukan lagi tentang buku mana yang disita, tapi tentang siapa yang dibiarkan bicara, dan siapa yang pelan-pelan dibungkam lewat rasa curiga.
Kalau hari ini kita diam saat buku dianggap berbahaya, besok mungkin giliran pikiran kita yang ikut disita. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)