Krisis Ekologis di Tanah Batak, FORJUBA Minta PT TPL Ditutup
Robin Simanullang: Negara Harus Hadir untuk Keadilan Ekologis

Jakarta, TokohIndonesia.com – Forum Jurnalis Batak (FORJUBA) menyampaikan pernyataan sikap tegas terhadap keberadaan PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL) yang dinilai telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di wilayah Tanah Batak, Sumatera Utara. Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Jumat (25/7/2025), FORJUBA menyatakan dukungan penuh terhadap seruan Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt Dr Victor Tinambunan, untuk menutup secara permanen operasional perusahaan tersebut.
PT Toba Pulp Lestari merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi pulp dari hutan tanaman industri (HTI), terutama eukaliptus. Perusahaan ini sebelumnya dikenal sebagai PT Inti Indorayon Utama, berdiri sejak 1983 dan mulai beroperasi pada akhir 1980-an. Berlokasi di kawasan sekitar Danau Toba, PT TPL memiliki wilayah konsesi luas yang sebagian tumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat adat Batak.
Riwayat konflik antara masyarakat dengan perusahaan sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Pada 1999, operasional perusahaan pernah dihentikan sementara oleh pemerintah menyusul gelombang protes terkait pencemaran lingkungan dan konflik tanah adat. Namun sejak beroperasi kembali pada 2003 dengan nama baru, PT TPL tetap menghadapi penolakan di sejumlah wilayah. Komunitas adat di Natumingka, Pargamanan-Bintang Maria, dan daerah lainnya secara terbuka menolak ekspansi konsesi perusahaan.
FORJUBA menilai bahwa aktivitas PT TPL selama ini menyebabkan dampak ekologis dan sosial yang serius. Dalam pernyataan resminya, FORJUBA menyebut bahwa “Tanah Batak telah berada dalam kondisi krisis ekologis akibat eksploitasi alam yang dilakukan TPL.” Mereka juga menuding perusahaan telah menyalahgunakan konsesi dari Kementerian Kehutanan dengan praktik yang merugikan masyarakat dan lingkungan, seperti perusakan hutan, pencemaran air dan udara, serta pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
Berbagai upaya damai telah dilakukan masyarakat dan gereja, termasuk empat kali doa bersama dan arak-arakan yang melibatkan ribuan warga. Namun, aspirasi tersebut tidak mendapat tanggapan yang serius dari perusahaan. “TPL seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan,” kata FORJUBA dalam pernyataannya.
Ketua Dewan Penasihat FORJUBA, Drs. Ch. Robin Simanullang, menyatakan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk merespons kondisi ini secara adil dan proporsional. “Pemerintah harus hadir. Ini momen penting untuk memilih keadilan ekologis, bukan kepentingan korporasi,” ujarnya dalam konferensi pers.
FORJUBA menekankan bahwa penutupan PT TPL harus didasarkan pada pertimbangan yang menyeluruh. “Analisis menyeluruh mengenai dampak ekonomi dan sosial perlu dirumuskan agar solusi alternatif dapat ditemukan tanpa mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal,” ujar Sekretaris Umum FORJUBA, Dr. Rifal Marbun.
Menurutnya, penghentian operasional TPL bukan semata-mata persoalan industri, tetapi berkaitan langsung dengan upaya memulihkan lingkungan hidup dan menegakkan keadilan bagi masyarakat adat. “Penutupan TPL bukan semata soal menghentikan aktivitas industri. Ini tentang menyelamatkan lingkungan dan memulihkan keadilan bagi masyarakat adat,” tegas Rifal.
Dalam pernyataan tersebut, FORJUBA juga mencantumkan nama-nama pengurus yang hadir dalam konferensi pers, yakni Ketua Harian Hotman J Lumban Gaol, S.Th (Hojot Marluga), Bendahara Umum Mula Sitanggang, ST, Ketua Organisasi Asdon Hutajulu, SH, dan anggota Ludin Panjaitan, MM serta Jonro I. Munthe, S.Sos.
Organisasi ini menyerukan agar pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret, termasuk mengevaluasi izin usaha PT TPL dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang terjadi. Pendekatan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, dinilai mutlak diperlukan.
FORJUBA juga mengingatkan bahwa keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan menghormati hak masyarakat adat. Prinsip partisipasi dan persetujuan bebas, didahului dan diinformasikan (FPIC) seharusnya menjadi pedoman dalam kebijakan kehutanan dan investasi industri di wilayah adat.
Sebagai organisasi yang beranggotakan jurnalis Batak di berbagai media nasional, FORJUBA menyatakan komitmennya untuk terus mengawal isu-isu strategis seperti lingkungan, keadilan sosial, dan hak-hak komunitas adat. Langkah organisasi ini merepresentasikan sikap bahwa jurnalisme tidak hanya mengamati, tetapi juga berpihak pada nilai-nilai yang menjunjung martabat manusia dan keberlanjutan hidup bersama. (MLPS/TokohIndonesia.com)