Jurnalis yang Menyala, Bukan Membakar
Membangun Makna dan Keberlanjutan di Jantung KG Media
Anton Wisnu Nugroho
Anton Wisnu Nugroho adalah jurnalis dan pemimpin yang menapaki perjalanan kariernya dengan kesetiaan pada nilai, ketekunan dalam proses, dan keberanian dalam integritas. Dari ruang peliputan sebagai wartawan Harian Kompas – termasuk menjadi wartawan istana di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – hingga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Kompas.com, dan kini dipercaya sebagai Vice President Sustainability di KG Media, ia hadir bukan sekadar membawa perubahan, tetapi memelihara makna. Ia menjadikan media bukan hanya sumber informasi, melainkan cahaya yang menuntun arah.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
“Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Tapi panjang umur upaya-upaya baik.”
– Prinsip hidup Anton Wisnu Nugroho, seorang jurnalis yang memilih menyalakan makna alih-alih membakar emosi.
Kalau Anda tiba di Menara Kompas pada pukul delapan pagi, di antara lalu-lalang kendaraan mewah, Anda mungkin melihat seorang pria bersepeda atau turun dari kereta, mengenakan pakaian yang “itu-itu” saja dan wajah yang ramah. Ia bukan staf biasa. Ia adalah Anton Wisnu Nugroho – mantan Pemimpin Redaksi Kompas.com dan kini Vice President Sustainability di KG Media. Tapi jabatan itu tak tampak dalam penampilannya. Ia lebih mirip dosen filsafat ketimbang eksekutif media. Santai, senyap, tapi penuh makna.
Ia menyapa setiap orang dengan nama, duduk di ruang terbuka bersama tim, dan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Kalau sedang bicara, kalimatnya pendek, tapi mengendap lama. “Apa yang kamu pikirkan paling penting hari ini?” adalah salah satu pertanyaan khasnya – bukan untuk menguji, tapi untuk membuka ruang refleksi.
Ia menyukai tulisan tangan. Ia masih menulis jurnal harian. Ia percaya bahwa suara hati harus ditulis agar tidak hilang ditelan rutinitas. Ia menyimpan surat cinta masa muda dan mengakuinya sebagai bagian dari proses kejujuran terhadap diri.
Anton Wisnu Nugroho bukan hanya jurnalis atau eksekutif media. Ia adalah narator kehidupan yang tak henti mencari makna, menjaga nurani, dan menyalakan cahaya dalam ruang yang kian gelap oleh kebisingan digital. Ia menyala. Tapi bukan untuk membakar. Melainkan untuk menerangi.
Lahir di Jakarta pada 6 Mei 1976, Anton Wisnu Nugroho tumbuh dalam keluarga Katolik yang menghargai pendidikan dan nilai hidup. Sejak remaja, ia merasakan panggilan religius. Ia sempat menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dengan niat menjadi imam Katolik. Tapi filsafat, seperti api yang membersihkan, justru membawanya pada kesadaran mendalam. “Saya merasa dimurnikan. Saya sadar, keinginan jadi imam bukan panggilan sejati,” katanya dalam wawancara.
Keputusan mundur dari jalur imamat tidak mudah. Keluarganya sudah merelakan kemungkinan ia hidup selibat. Tapi Anton Wisnu Nugroho jujur pada diri sendiri. “Saya sadar, saya bisa berbuat baik dari jalan lain. Dan ternyata, jalan itu adalah menulis.” Ia lalu mencoba dunia media online rileks.com, menulis tafsir mimpi dan gosip. Tapi ia merasa hampa. “Saya berhenti. Saya ingin menulis sesuatu yang punya arti.”
Ia mendaftar ke Kompas dan hampir gagal karena tekanan darah tinggi. Ia minum rebusan seledri agar lolos tes kesehatan. Dan berhasil. Pada 16 Juli 2001, ia resmi menjadi wartawan Kompas. Ia ditempatkan di Surabaya, lalu ke Aceh saat konflik bersenjata masih terjadi. Di Samalanga, ia naik kapal militer, menyaksikan dua prajurit gugur, dan menulis dengan jernih: tanpa sensasi, tanpa propaganda, hanya kemanusiaan. Tulisan-tulisannya menggugah. Di masa itu, ia merasa menemukan panggilan sejatinya. “Saya ingin menulis agar yang tidak terdengar bisa disuarakan,” ujarnya.
Dari medan konflik, ia dipindah ke Jakarta dan dipercaya menjadi wartawan Istana pada masa Presiden SBY. Ia menulis kisah-kisah satir, simbolik, dan menggelitik. Tentang sepatu bermerek menteri dalam kampanye cinta produk lokal. Tentang Presiden yang menjadi “aktor kehilangan panggung” pasca tsunami. Tulisan ini bahkan memicu Istana mengirim hak jawab resmi – yang pertama dalam sejarah RI dari Presiden ke media.
Tapi substansi tulisannya tak dibantah. Justru diperkuat. Anton Wisnu Nugroho tidak frontal. Ia menggunakan pendekatan “kritik simbolik”. “Saya tak menyebut ‘menteri munafik’. Saya hanya menulis: Presiden kampanye cinta produk lokal, menterinya pakai tas branded. Pembaca cukup cerdas untuk menangkap,” jelasnya. Ini warisan dari kebudayaan Jawa dan filsafat: halus tapi tajam. Tegas tapi tidak kasar. Dan sangat berpengaruh.
Tulisan-tulisannya kemudian dibukukan: tetralogi Sisi Lain SBY, Istana Bla Bla Bla, hingga catatan reflektif di Kompasiana. Ia menulis dengan tagline khas: “Mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting.” Ia tahu, kekuasaan bisa kebal terhadap kritik, tapi tidak terhadap cermin. Maka ia menjadi cermin yang jujur.
Pada 15 Januari 2016, Anton Wisnu Nugroho diangkat sebagai Pemimpin Redaksi Kompas.com. Ia menerima jabatan itu dengan rasa syukur dan tanggung jawab besar. Dunia media berubah. Redaksi digital harus bergerak cepat, mengelola trafik, menghadapi clickbait, algoritma, hoaks, dan tekanan opini publik. Tapi Anton Wisnu Nugroho memilih tetap berpegang pada nilai.
Ia membangun budaya kerja yang kolaboratif dan reflektif. Ia membuka ruang untuk ide baru, memberi tempat bagi reporter muda, dan membiarkan kesalahan sebagai bagian dari proses. “Kalau kamu masih muda, habiskan stok salahmu sekarang,” katanya.
Dalam berbagai forum, ia sering mengutip ajaran Jakob Oetama: “Criticism with understanding.” Kritik dengan pemahaman. Ia percaya bahwa jurnalisme tidak hanya menyampaikan berita, tapi membentuk peradaban. “Kami tetap mengutamakan verifikasi, observasi, dan empati. Karena berita yang cepat belum tentu benar. Tapi berita yang benar harus cepat,” tegasnya.
Amir Sodikin, penerusnya di Kompas.com, menyebut Anton Wisnu Nugroho sebagai mentor dan teman. “Ia tak pernah menggurui. Tapi dari satu kalimatnya, kita tahu arah,” kata Amir Sodikin. Dalam ruang redaksi, Anton Wisnu Nugroho bukan bos. Ia adalah teman diskusi. Ia mendengarkan, mencatat, dan bertanya. Bahkan, ia mencetak artikel timnya dan memberi catatan tangan – di era ketika semuanya bisa digital.
Ia mendorong transformasi teknologi: memperkuat tim video, menyambut AI, mengembangkan data journalism. Tapi tetap menempatkan nilai manusia sebagai pusat. “Teknologi bisa menggantikan tugas. Tapi tidak bisa menggantikan nilai,” ujarnya.
Selain memimpin redaksi, ia juga mengajar di Universitas Multimedia Nusantara, menjadi host podcast Beginu, dan terus menulis. Ia percaya, menulis bukan untuk menjadi populer, tapi menjaga kejujuran batin. Dalam satu pidatonya, ia mengatakan, “Saya menulis bukan karena sudah tahu, tapi karena ingin tahu.”
Pada 14 Oktober 2024, Anton Wisnu Nugroho diberi amanat baru: menjadi Vice President Sustainability di KG Media. Ia memimpin inisiatif keberlanjutan, tidak hanya di level wacana, tapi praktik. Ia memandu audit jejak karbon Kompas.com: 211 ton CO2 setahun. Ia tidak panik. Ia menanam 8.000 mangrove sebagai bentuk offset. “Walk the talk,” ujarnya.
Ia meluncurkan kanal Lestari, membentuk Lestari Awards, dan memimpin kursus ESG untuk karyawan. Ia menjadi wajah keberlanjutan KG Media di MarComm Summit bersama CEO Adidas. Ia mengubah citra keberlanjutan dari proyek hijau menjadi napas bisnis. Ia bahkan mendorong sistem suplai berkelanjutan, kemitraan inovatif, dan keberpihakan pada masyarakat rentan.
Di ruang publik, ia bicara tentang keberlanjutan seperti bicara tentang keluarga. Hangat, dekat, dan jujur. Ia tidak menakut-nakuti dengan krisis iklim, tapi mengajak orang merawat bumi seperti merawat rumah sendiri. Ia menyampaikan bahwa narasi perubahan harus dibarengi dengan tindakan kecil: membawa tumbler, menanam pohon, memilih moda transportasi ramah lingkungan. Ia sendiri masih bersepeda dan naik KRL. Intinya, ia menjadikan keberlanjutan bukan kewajiban hukum, tapi panggilan moral. “Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Tapi panjang umur upaya-upaya baik,” katanya dalam berbagai pelatihan.
Dalam sebuah pidato di BPJS Kesehatan, ia berkata bahwa media bukan sekadar kanal, tapi arena pertarungan narasi. Dan yang memenangkan narasi adalah yang jujur, bukan yang ramai. “Jangan cuma muncul saat krisis. Bangunlah cerita bahkan saat tidak ada isu,” pesannya kepada institusi yang ingin membangun kepercayaan publik.
Kini, Anton Wisnu Nugroho masih menjadi jurnalis, pengajar, pemimpin, penulis, sekaligus pendengar. Ia menulis editorial dengan tangan, menyusun naskah pelatihan dengan ketekunan, dan tetap naik kereta atau sepeda. Tetap mendengar cerita anak-anaknya. Tetap membaca buku filsafat. Tetap menjadi suami dari Ika Mariana dan ayah dari Kiandra dan Rafael. Ia tetap menjaga keseimbangan antara rumah dan dunia. Ia tidak berubah karena jabatan. Jabatanlah yang menjadi berarti karena ia isi dengan nilai.
Di akhir banyak pidatonya, ia selalu mengingatkan generasi muda: “Kalau kamu ingin dikenal, bangun kepercayaan, bukan hanya popularitas. Karena kepercayaan bertahan lebih lama dari sekadar viral.” Ia tahu, dunia ini terlalu bising. Maka ia memilih menyalakan cahaya – bukan menambah kebisingan.
Ia adalah jurnalis yang menyala. Tapi bukan untuk membakar. Melainkan untuk menerangi. Dan selama ada orang seperti Anton Wisnu Nugroho di dunia media, kita tahu: masih ada harapan di tengah kabut narasi yang kacau.
Masih ada jurnalisme yang punya nurani.
Masih ada pemimpin yang memilih mendengar.
Masih ada narasi yang tak mengejar viralitas, tapi makna.
Dan semua itu, hari ini, menyala di dalam sosok bernama Anton Wisnu Nugroho.
(Atur/TokohIndonesia.com)
Referensi:
- Media Online: Kompas.com, KGMedia, Kompas Gramedia, YouTube ITB, dan lainnya
- Medsos dan LinkedIn Andi Wisnu Nugroho