Sampah dan Siklus Hidup
Asis H Djadjadiningrat
[ENSIKLOPEDI] Ketua Majelis Guru Besar ITB Prof Dr KPH Asis H Djadjadiningrat mendapat pemahaman tentang siklus hidup setelah banyak menghayati keberadaan limbah atau sampah. “Limbah bukan sesuatu yang berbahaya, malah bisa dimanfaatkan kembali,” kata Kepala Laboratorium Kualitas Udara ITB kelahiran Purwakarta, 13 Maret 1946 itu.
Suami dari Dra Reni Adijanti Soemitro Msi (59, psikolog) ini punya kelakar tentang sampah. “Sampah itu akronim dari Suatu Alat Meningkatkan Pendapatan Anda Harian,” ucapnya sambil tertawa. “Pemulung bisa hidup dari sampah. Ibu rumahtangga biasa memisahkan koran dan botol, lalu menjualnya. Banyak peluang bisa diambil dari sampah.”
Cara berpikir linier (lurus) mengajarkan orang berpikir dengan runutan bahan baku-produk-limbah. Tetapi, berpikir melingkar atau tertutup membuat orang kreatif, menjadikan lagi limbah sebagai bahan baku untuk dijadikan produk kembali.
Ia mencontohkan, industri tapioka bisa menghasilkan limbah asam nitrat yang bermanfaat. Hotel bisa menggunakan air limbah untuk menggelontor air WC atau menyiram tanaman. Teknologi untuk mewujudkan pun terus berkembang dan makin mudah ditemukan.
Siklus merupakan cara hidup bijaksana antara manusia dan lingkungan, dua hal tak terpisahkan. Ajaran agama mana pun mengingatkan hal tersebut. Di Bali dikenal tri hita karana atau tiga penyebab kesejahteraan yang dibangun karena hubungan baik antara Tuhan, masyarakat, dan lingkungan.
Kerusakan lingkungan secara global terjadi karena manusia berlebihan menggunakan kebebasannya. Awalnya manusia hanya menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhan bertahan hidup, lalu kebutuhan itu berkembang, dan manusia lupa tanggung jawabnya. Padahal, sumber daya alam tidak bertambah.
Dulu, hidup linier tidak menimbulkan masalah karena jumlah manusia masih sedikit. Alam bisa memperbaiki dirinya dengan mudah. Tetapi, dengan terus bertambahnya manusia, alam membutuhkan bantuan memperbaiki diri.
Satu orang butuh air bersih minimum 100 liter per hari. Dengan jumlah manusia di bumi saat ini yang jumlahnya enam miliar, setidaknya air yang dibutuhkan sekitar 600 miliar liter. Air yang sudah digunakan dibuang lagi, 70 persen tidak dikelola dengan baik.
“Anda bisa bayangkan apa yang terjadi pada Bumi?” tanya Asis sambil melanjutkan, jumlah air tetap tetapi jumlah air yang diambil dan menjadi limbah terus bertambah.
Etika
Itulah sebabnya, ujar Asis, manusia perlu punya etika agar bisa hidup dalam lingkungan berkualitas baik. “Masalah lingkungan itu masalah hati, masalah kemauan,” ujar Asis.
Etika harus diajarkan sejak pendidikan dasar, dari keluarga, saat anak masih kecil. Etika hidup yang baik antara manusia dan lingkungan terlihat pada interaksi orang-orang pedalaman, seperti Dayak, Baduy, dan Asmat. “Mereka tidak merusak karena sangat akrab dengan alam,” ungkap Asis.
Masalahnya, bagaimana mendidik anak dalam keluarga agar bisa memiliki budi pekerti memadai untuk hidup berdampingan dengan alam jika orangtua di rumah masih kurang wawasannya mengenai etika hidup?
“Indonesia kan pernah sukses menjalankan program Keluarga Berencana dengan memberdayakan para ibu rumah tangga sebagai penyampai informasi melalui Program Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Cara seperti ini masih bisa dilakukan untuk mengajarkan etika pada lingkungan,” tutur Asis.
Pendidikan budi pekerti menjadi penting karena, menurut dia, saat ini bangsa Indonesia baru bisa memanfaatkan lingkungan tetapi tidak bisa memeliharanya.
Selain itu, teladan dan keinginan politik juga menjadi penting. Masih ada beberapa pemimpin masyarakat yang belum memiliki wawasan memadai tentang lingkungan. Itu sebabnya dalam perbincangan informal maupun formal bersama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau petinggi dari lembaga lain, Asis selalu berusaha mengangkat tentang persoalan lingkungan secara lembut tanpa menggurui.
“Ternyata mereka senang,” ungkapnya. Asis menilai, banyak pejabat yang pengetahuan lingkungannya rendah. “Lihat saja pemilihan umum lalu, paling hanya satu atau dua partai yang fokus pada lingkungan,” lanjut Asis pula.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah cenderung memanfaatkan alam secara maksimal demi pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak mungkin. Namun, sebelum tragedi terjadi, sebaiknya pemerintah mengubah fokus pada memaksimalkan pengelolaan manusia agar tidak melulu bergantung pada sumber daya alam.
Asis menyatakan, pergantian generasi terjadi setiap 25 tahun sekali, dan ia yakin pada generasi keempat setelah Indonesia merdeka, lingkungan Indonesia akan baik lagi.
“Saya optimis lingkungan kita akan baik kembali pada Hari Kemerdekaan Ke-100 Republik Indonesia,” ujar anak dari ahli perpajakan, Prof Sindia Djadjadiningrat, ini.
Tempat mandi
Keluarga Djadjadiningrat berasal dari Banten, tetapi Asis lahir di Purwakarta dan besar di daerah Menteng, Jakarta. Pada saat bocah, ia sering mandi di sungai di belakang Hotel Indonesia.
“Waktu itu airnya masih bersih sekali,” kenang Asis. Di sekitar Jalan Menteng hingga Kebayoran, tempat kerabatnya tinggal, masih seperti hutan. Ada hutan karet dan duku. Asis sering melintasi daerah tersebut sambil mengayuh sepeda.
Kini dia tengah mengupayakan agar wajah Jakarta tempo dulu kembali lagi. Ia menyampaikan ide membuat tempat rekreasi air bersih, sehingga orang bisa berenang kembali di Waduk Melati, tempat mandinya masa kecil.
Asis meraih ilmu bidang lingkungan di ITB. Tahun 1963, selepas dari Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Jakarta. Ia memutuskan mengambil Jurusan Teknik Mesin ITB, namun tidak diterima. Ia malah diterima di fakultas teknik sipil yang punya jurusan teknik penyehatan.
Pada masa kuliah, ia bergabung sebagai anggota resimen mahasiswa karena sangat menyukai kedisiplinan yang dia contoh dari ayah dan ibunya, (alm) Etty Sukanti. Masa-masa genting akibat peristiwa Gerakan 30 September membuat mahasiswa sering berdiskusi bersama masyarakat untuk ikut memecahkan masalah bangsa. Sejak itulah ia menyukai organisasi.
Ia lulus tahun 1970 dari ITB dan ditawari menjadi dosen oleh seniornya di kampus. Saat itu Asis terkenang obrolan dengan ayahnya. “Hati-hati kalau mau jadi dosen, kamu tidak akan mungkin kaya. Dosen hanya bisa hidup berkecukupan, tetapi cukup menyekolahkan anak. Kalau mau kaya, jadilah pedagang.”
“Buat saya, melihat mahasiswa bisa memanfaatkan ilmunya saja saya sudah bangga,” kata Aziz.
Sambil kembali berkelakar, pria yang rajin lari pagi tiga kali seminggu ini mengatakan, sejak mempelajari limbah, ia baru menyadari namanya sudah mengisyaratkan masa depannya.
Biasanya orang dinamai Azis yang dalam bahasa Arab berarti menang, tetapi orangtuanya malah menamai Asis. “Kalau orang Arab membaca dari kanan ke kiri, maka nama saya dibaca Sisa atau limbah,” ujarnya.
Meski dia menjalankan banyak tugas, tetapi kakek dari delapan cucu ini tampak santai. Di rumahnya, ia masih bisa meluangkan waktu bermain bersama dengan dua cucu yang tinggal bersamanya.
“Tadinya anak ketiga saya tinggal di Sumbersari, Bandung. Tetapi, karena harus bekerja, dua anaknya pada pagi hari selalu dititipkan kepada kami dan dijemput pada sore hari. Saya bilang, lebih baik rumah itu dikontrakkan saja dan mereka tinggal lagi bersama saya. Padahal sih, biar saya dan istri bisa main terus dengan cucu,” ujar Asis.
Jika tengah bermain dengan cucu-cucunya, Asis sering bernyanyi. Beberapa lagu sengaja ia ubah liriknya, meskipun cucunya sering protes karena lirik lagu yang dia nyanyikan tidak sama dengan yang diajarkan guru di sekolah. Misalnya, lagu Kereta Api, ia mengubahnya dengan kalimat, “…bolehlah naik dengan membayar…”
Ia yakin ajaran yang diberikan dengan riang jika terus didengungkan kepada anak-anak akan membantu kebangkitan dunia perkeretaapian yang selalu merugi karena banyak penumpang yang tidak membayar.
Asis pun menyanyikan satu lagu lagi tentang manusia Indonesia, “Indonesia Tanah Air beta… Tempat bekerja dan berkarya, sampai akhir menutup mata.” (Yenti Aprianti, Kompas, 20 Agustus 2006) e-ti