Eksistensi Intersubyektif Hita Batak

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (10)

0
87
Filsafat eksistensialisme intersubjektif Batak murni (otentik) yang melandasi (filosofi, nilai dasar) judul buku Hita Batak: A Cultural Strategy. Ilustrasi The Batak Institute - Meta AI
Lama Membaca: 4 menit

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (10)

Eksistensi: Hal penting lainnya, strategi kebudayaan itu terkait erat dengan keberadaan dan eksistensi suatu bangsa, suku bangsa atau kelompok masyarakat, yang menyentuh filsafat eksistensialisme. Kenali dirimu, kenali eksistensimu, kenali jatidirimu, kenali budayamu. Artinya, setiap suku bangsa, dalam konteks buku ini, suku bangsa Batak, mesti lebih mengenali dirinya sendiri, mengenali keberadaan dan eksistensinya, mengenali jatidirinya sendiri. Siapa Batak, siapa Hita Batak? Hita adalah suara cinta kasih dalam aliran nadi darah kebatakan.

Emmanuel Mounier (1948) dalam bukunya Existentialist Philosophies an Introduction, mengatakan ‘eksistensialisme’ dalam dunia awam diartikan sebagai kegilaan karena membayangkan ketiadaan sebagai bahan dasar keberadaan. Tidak ada orang lain yang lebih membentengi dia dari kebodohannya. Tapi itu mengatur kebodohan buta lebih baik dari pada kebodohan logis. Tegasnya, tidak ada filosofi yang bukan eksistensialis. Sains mengklasifikasikan realitas nyata, industri berkaitan dengan mengubahnya menjadi keuntungan. Orang bertanya-tanya apa yang bisa menjadi perhatian filsafat jika tidak menyelidiki keberadaan dan eksistensi (existence and existents).[1]

Untuk itu, menurut Emmanuel Mounier, masalah fundamental filsafat bukanlah keberadaannya dalam arti terluasnya melainkan keberadaan manusia. Dalam pengertian ini, eksistensialisme dapat ditelusuri kembali ke galeri nenek moyang yang panjang. Sejarah pemikiran filosofis ditandai oleh serangkaian kebangkitan eksistensialis yang telah menjadi pemikiran filosofis begitu banyak konversi ke dirinya sendiri dan begitu banyak pengalihan ke misi aslinya. Ada seruan Socrates menentang renungan kosmogonik para tabib Ionia dengan perintah batiniah ‘Know thyself!’ (Kenali dirimu!)[2]

Secara etimologis, existence atau eksistensi berasal dari bahasa Latin ex-sistere yang memiliki arti berada di luar dari. Eksistensi, menurut Gabriel Marcel, merupakan situasi yang berpusat pada subjek, eksistensi merupakan situasi konkret: ‘Aku’ sebagai subjek yang berada di dunia; Aku yang berperasaan, berfikir dan terbuka dengan penuh harapan bagi yang lain. Dan salah satu sifat dasar eksistensi adalah adanya keterbukaan, oleh karena itu, saat manusia mulai berada dalam suatu tataran ‘perjumpaan’ dengan manusia lain, di luar dirinya, manusia sebagai subjek dapat memperoleh kesadaran tentang situasi fundamentalnya.

Eksistensialisme menolak menyerahkan manusia pada instrumen apa pun sebelum ia mengetahui sesuatu tentang sifat, potensi, dan kualifikasi agen yang akan menggunakannya. Ia tidak mengklaim bahwa manusia lebih mudah dipahami dari­pada materi, tetapi pemahaman tentang dirinya lebih diutamakan daripada sekadar pengetahuan tentang dunia dan atas semua hukum dan gagasan.[3] S.S. Rembert (1866) dalam The Philosophy of Life as Evolved by Modern Science, mengatakan pelajaran terbesar umat manusia adalah manusia, pelajaran terbesar dalam hidup kita adalah mempelajari diri kita sendiri, yang sebenarnya merupakan jumlah total dari semua pembelajaran.[4]

Kenali dirimu, kenali keberadaan dan kenali eksistensimu, kenali jatidirimu. Artinya, setiap suku bangsa, dalam konteks buku ini, suku bangsa Batak, mesti lebih mengenali dirinya sendiri, mengenali keberadaan dan eksistensinya, mengenali jatidirinya sendiri. Siapa Batak, siapa Hita Batak?

Dalam hal keberadaan dan eksistensi ini, kita menggunakan terminologi Hita Batak (Kita Batak). Adalah salah satu peradaban luhur orang Batak lebih menggunakan kata hita (kita) sebagai kata majemuk ahu (aku). Maka lebih sering menggunakan kata hita (kita) daripada ahu (aku). Harta miliknya pun selalu disebut milik kita. Contoh: Jabunta (rumah kita). Bahkan istrinya pun disebut dalam bahasa Batak luhur: paniaranta (permaisuri kita).

Kata Hita adalah kata baku yang sangat mengekspresikan kentalnya hubungan intersubjektivitas Batak. Hita (kita), aku dan engkau. Dalam terminologi eksistensialisme  intersubjektif Batak lebih bermakna: Hita, aku di dalam engkau, aku dan engkau di dalam kita, kita di dalam aku, tanpa kehilangan kesadaran kepribadian personalitinya. Suatu filsafat eksistensialisme Batak murni. Intersubjektivitas ‘hita’ yang merupakan hasil dari pemikiran dan keyakinan komunitas Batak, bukan hanya pengalaman dan keyakinan pribadi atau kesediaan dari setiap subyek (individu) untuk membuka diri bagi subyek yang lain, tetapi menjadi satu kesatuan kasih aliran darah (suara darah) Batak: Mangkuling mudarna – darahnya bersuara), tanpa kehilangan eksistensi subyek pribadinya, dalam tata nilai luhur kebatakan.

Hita adalah suara cinta kasih dalam aliran nadi darah kebatakan: Hita adalah eksistensi cinta sesama sebagaimana cinta pada diri sendiri kebatakan. Hita adalah suara cinta kasih dalam kalbu dan aliran denyut nadi darah sesama, senasib sepenanggungan dalam duka dan sukacita, rela berkorban tanpa pamrih (agape), dalam kebanggaan balutan dan pancaran cahaya terang keluhuran  nilai-nilai budaya Batak yang religius. Filsafat eksistensialisme intersubjektif Batak murni (otentik) inilah yang melandasi (filosofi, nilai dasar) judul buku ini: Hita Batak: A Cultural Strategy.

Bandingkan filsuf eksistensialisme Gabriel Marcel yang menyebut akar dari relasi intersubjektif adalah rasa cinta kasih dan kehadirannya menampakkan wujudnya secara khas. Cinta kasih merupakan dasar atau persatuan yang nyata antara Aku-Engkau (Batak: Kita). Hubungan intersubjektif itu merupakan hubungan di mana satu subjek membuka diri terhadap yang lain, sehingga terdapat dua reaksi sikap manusia. Pertama, ia akan memperlakukan yang lain sebagai objek. Jika demikian maka yang lain itu adalah Dia. Namun, bila ia menganggap yang lain sebagai yang Ada dalam dirinya, maka yang  lain itu merupakan Engkau, di dalam Kita (subjek); Intersubjektivitas dapat terjadi apabila antara individu yang satu dan yang lainnya menjalin hubungan Aku dan Engkau (Batak: Aku dan Engkau di dalam Kita).

Advertisement

Gabriel Marcel ‘telah menjadi’ Kristen melalui pendekatan filosofisnya sendiri,[5] menyebut cinta berasal dari hakikat terdalam dalam diri manusia. Cinta masuk ke dalam diri manusia  seperti sebuah panggilan: cinta memanggil manusia untuk mencintai orang lain. Bagi Hita Batak, cinta itu bersuara dalam aliran darahnya, yang mesti dikomunasikan dengan perbuatan nyata (bertindak) daripada sekadar narasi logika (dogma atau doktrin) verbal. Mengutip Gabriel Marcel, bahwa “Langkah pertama dalam filsafat adalah panggilan untuk bertindak: ”Manusia, bangunlah!“ Ini adalah kehidupan yang ada, dalam semua intensitas dan dengan semua tanggung jawabnya, yang oleh Kierkegaard disebut ke dalam, atau subjektivitas.[6] Sebagai pencerahan bahwa para filsuf eksistensialisme Kristen menempatkan keberadaan dan eksistensi umat kristiani sebagai saksi bukti Kristus, sebuah bukti yang dikomunikasikan lebih banyak melalui kesaksian perbuatan nyata daripada logika (dogma atau doktrin).[7] Kita menyebutnya: Perbuatan nyata di Jalan Hidup Kristus adalah teologia terbaik!; dan juga strategi kebudayaan terbaik!

Berpadanan pula dengan apa yang disebut Just Havelaar (1928) dalam eseinya De Nieuwe Mensch (Manusia Baru), kesadaran kepribadian personal (persoonlijkheid) adalah kebaikan yang sangat kita perlukan, tetapi individualisme adalah kejahatan yang memburuk tidak terhormat. Kepribadian adalah suci bagi kita dalam hubungannya dengan Tuhan; individualisme adalah godaan bagi kita, karena individualis mendewakan dirinya sebagai alam dan untuk apartheidnya. Oleh karena itu kepribadian dapat membentuk suatu komunitas, sedangkan individualisme tetap memusuhi semua moral komunitas. Individu mencari dirinya sendiri; kepribadian menemukan kembali dirinya sendiri (tidak dicari).[8]

 

Sebelumnya 09 || Bersambung 11

Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

 

Footnotes:

[1] Mounier, Emmanuel, 1948: Existentialist Philosophies An Introduction (Translated by Eric Blow from the original French Edition); London: Rockliff, p.1-2.

[2] Mounier, Emmanuel, 1948: p.2.

[3] Mounier, Emmanuel, 1948: p.7-8.

[4] Rembert, S.S., 1866: The Philosophy of Life as Evolved by Modern Science: Lecture delivered in Texas, in 1860; Memphis: Blelock & Co, p.24.

[5] Kingston, F. Temple, 1961: French Existentialism A Christian Critique; Toronto: University of Toronto Press, p.194-197.

[6] Mounier, Emmanuel, 1948: p.11.

[7] Mounier, Emmanuel, 1948: p.4.

[8] Havelaar, Just, 1928: De Nieuwe Mensch, Essays. Arnhem: Lochum Slaterus, bl. 47-48.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini