TNI Menjawab Tantangan

 
0
31
Majalah Berita Indonesia Edisi 09
Majalah Berita Indonesia Edisi 09

VISI BERITA (Hak Pilih Prajurit, 23 Maret 2006) – Siapa bilang TNI mutlak memegang garis komando. Rapat para pimpinan militer di Mabes Cilangkap pekan lalu, mendobrak kemutlakan tersebut. Keputusan Rapim, antara lain, menyelenggarakan jajak pendapat di kalangan prajurit – meskipun secara acak – untuk menakar pandangan mereka tentang perlu-tidaknya ikut Pemilu 2009.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 09 | Basic HTML

Kontroversi tentang posisi politik TNI bergulir kembali sejak munculnya ide memberi hak pilih pada lebih kurang 400.000 prajurit TNI. Memang para prajurit TNI pernah menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 1955. Padahal Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman sudah memberi garis yang tegas: Garis politik TNI adalah garis politik negara.

Sebelum memberikan justifikasi pada ide yang sedang bergumul antara pro dan kontra tersebut, ada baiknya kita sejenak menengok ke belakang. Dinamika politik negara bisa dibagi ke dalam empat era yang menggambarkan pasang dan surut peran politik TNI: era demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1998), dan era reformasi (1998-sekarang).

Era demokrasi parlementer memberi hak pilih bagi tentara, tetapi mengucilkannya dari politik kekuasaan. Pada paruh pertama era tersebut, kehidupan politik diguncang oleh aksi polisional Belanda dan pelbagai pemberontakan, baik oleh kelompok sipil maupun militer. Dengan sendirinya, perhatian TNI terfokus pada pemberantasan pemberontakan. Karena itu, peranan politiknya tidak sampai mencuat ke permukaan.

Namun, gejolak politik pasca-Pemilu 1955 yang bersumber dari kegagalan para politisi sipil untuk menuntaskan kemelut konstitusi, menyeret keberpihakan sejumlah perwira militer pada politik partisan. Ada yang berkiblat ke PNI, PKI, dan Masyumi. Banyak juga perwira militer yang mempertahankan netralitas mereka. Kelompok inilah yang mendukung Presiden Soekarno untuk mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959, intinya kembali ke UUD 1945.

Pasca dekrit, kehidupan politik Indonesia memasuki era baru; demokrasi terpimpin. Garis komando tertinggi dipegang oleh Soekarno selaku Kepala Negara, Presiden, dan Panglima Tertinggi ABRI. Kehidupan politik negara – parlemen, eksekutif, dan militer – dikendalikan oleh Bung Karno yang ditetapkan MPRS sebagai presiden seumur hidup.

Benih keberpihakan tentara pada garis politik partisan tumbuh kembali di bawah bayang-bayang kebesaran Bung Karno. Dominasi politik oleh PKI, dan empati Bung Karno yang berlebihan pada kelompok ini, merongrong keutuhan ABRI. Karena ada sekelompok perwira yang mengambil garis partisan – mendukung kelompok kiri yang dipandang revolusioner, dan memusuhi kelompok perwira netral yang dituding reaksioner.

Akibatnya, bayangan perpecahan ABRI menjadi nyata, menajam, dan titik kulminasinya adalah tragedi berdarah – pembunuhan tujuh perwira tinggi AD oleh gerakan militer “revolusioner” yang didukung PKI, dinihari 1 Oktober 1965.

Situasi ini memberi justifikasi pada ABRI untuk terlibat di dalam kancah dinamika politik masyarakat. ABRI dengan konsep Dwi Fungsinya masuk jauh ke dalam kehidupan sosial politik; membangun jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) untuk melanggengkan pemerintahan yang berkuasa. Lebih dari tiga dekade, peranan sospol ABRI benar-benar sangat eksesif.

Advertisement

Di tengah dominasi seperti ini pun, di dalam tubuh ABRI sendiri lahir friksi – dikenal dengan faksi Jenderal Faisal Tandjung, faksi Jenderal Benny Moerdani, dan faksi Jenderal Wiranto. Sejak Oktober 1997, sekitar 24 perwira tinggi yang disebut Menhan Juwono Sudarsono termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (sekarang presiden), menggulirkan gagasan “redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi” peran ABRI di dalam tatanan politik Indonesia.

Maka kemudian (1998) lahir gerakan reformasi yang menggulung habis peran sosial politik ABRI. Juga menurut Juwono (http://www.tni.mil.id), tiga perwira tinggi TNI – Jenderal Susilo, Laksamana Widodo AS, dan Jenderal Endriartono, sejak Mei 1998 berperan besar di dalam mengawal transformasi politik Indonesia. Memang agak bersebrangan. Setelah duduk di kursi presiden, Susilo memberi pesan penting kepada Panglima baru, Marsekal Djoko Suyanto, tentang peran TNI: jaga netralitas, jangan bermain api di kancah politik praktis, hormati reformasi dan demokrasi.

Karena itu, kembalikan posisi politik TNI pada komitmen: “Garis politik TNI adalah garis politik negara.” Kalau ingin TNI berperan proporsional, maka komitmen ini mestinya disikapi secara dinamis oleh para politisi sipil di lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif.

Mungkin ide hak pilih prajurit perlu disikapi seperti itu, yaitu: memberi TNI tempat yang tepat dan aktual di dalam dinamika politik negara – tidak berlebihan, tetapi juga tidak diremehkan. Bukan lantaran adanya udang di balik batu. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 09

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Wawancara

Berita Opini

Berita Profil

Lentera

Berita Tokoh

Berita Feature

Berita Politik

Berita Nasional

Berita Hukum

Berita Daerah

Berita Mancanegara

Berita Ekonomi

Berita Perempuan

Berita Olahraga

Berita IPTEK

Berita Agama

Berita Humaniora

Berita Media

Berita Budaya

Serat Centhini – Halaman 66

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini