
[OPINI] – Oleh Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH, LLM: Langkah hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) mengundang kontroversi, terutama di kalangan BI dan perbankan pada umumnya. Kontroversi itu terjadi sejak penetapan Gubernur BI dan dua pejabat BI sebagai tersangka sampai pada resistensi pemanggilan Gubernur BI oleh KPK dengan dasar hukum Pasal 49 Undang-Undang (UU) No 34 tentang Perubahan atas UU No 23/1999 tentang UU Bank Indonesia.
Imunitas anggota Dewan Gubernur (DG) BI dari langkah projustisia juga dilandaskan pada UU BI/2002 sepanjang DG melaksanakan tiga tugas pokoknya, memelihara stabilitas moneter, menetapkan sistem pembayaran, dan melaksanakan pengawasan bank (Pasal 8). Imunitas ini diperkuat dengan penegasan bahwa siapa pun tidak dapat mencampuri atau memengaruhi tugas DG BI dalam ketiga tugas pokok tersebut.Dewan Gubernur BI juga wajib menolak campur tangan pihak luar (Pasal 9). Imunitas tersebut dikukuhkan dengan ketentuan yang menegaskan bahwa DG tidak dapat dituntut secara hukum atas kebijakan pelaksanaan ketiga tugas pokok tersebut di atas (Pasal 45).
Imunitas terakhir dari DG adalah sebagaimana diuraikan pada awal tulisan di atas. Berdasarkan UU BI/ 2004,imunitas BI meliputi baik secara kelembagaan maupun kinerjanya yang dipertanggungjawabkan secara kolektif.Namun, harus juga diingat bahwa imunitas BI tersebut tidak berlaku terhadap kebijakan DG BI yang bersifat operasional di luar pelaksanaan kebijakan di bidang moneter, keuangan, dan perbankan. Kasus aliran dana BI termasuk ke dalam kebijakan DG BI yang bersifat operasional di luar pelaksanaan kebijakan di tiga area tersebut.
Langkah KPK menetapkan Gubernur BI dan pejabat BI sebagai tersangka tidak perlu dikhawatirkan dan dianggap aneh karena jauh sebelumnya tiga Gubernur BI pernah mengalami nasib yang sama atau setidaknya menimbulkan masalah hukum bagi lembaga ini. Bahkan,mantan Gubernur BI Syahril Sabirintelahdihadapkanke mejahijau dan dua anggota DG telah dijatuhi hukuman, dua mantan pejabat BI lainnya telah dibuatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Sudah tentu setiap tindakan akan berdampak baik dan buruk, tergantung dari sudut mana melihat langkah projustisia KPK dalam kasus aliran dana BI.Namun, harus diingat bahwa jika langkah penegakan hukum telah memasuki langkah projustisia, berlakulah prinsip-prinsip hukum yang dilandaskan pada fakta hukum, bukan prinsip-prinsip ekonomi yang sangat tergantung pada prediksi-prediksi. Etika profesi harus dijunjung tinggi dan di manapun hal ini tetap berlaku, kecuali di dalam masyarakat yang belum paham dengan mendalam mengenai etika keilmuan dan tidak ada satu pun yang dapat mengklaim sebagai pemegang multidisiplin.Penilaian dari sudut disiplin ilmu lain nonhukum terhadap kinerja teknis hukum lembaga penegak hukum (KPK) sulit dipahami oleh pemegang disiplin ilmu hukum.
Saling pengaruh penerapan satu disiplin ilmu terhadap ilmu lain tidak dapat dimungkiri, tetapi hasil pengaruh tersebut tidak dapat dijadikan ukuran untuk memberikan penilaian bahwa kinerja teknis lembaga penegak hukum adalah salah atau kurang tepat. Hasil pengaruh tersebut hanya bersifat sementara dan sudah tentu masih ada solusinya sehingga tidak perlu para ekonom dan ahli moneter mendramatisasi langkah KPK menetapkan seorang Gubernur BI sebagai tersangka karena hukum berpegang kepada asas persamaan di muka hukum, perlindungan asas due process of law’, dan tentunya keadilan hukum, bukan keadilan dalam persepsi pemegang disiplin nonhukum. Langkah DG BI mempersoalkan wewenang KPK dalam kaitan kasus aliran dana BI kepada Mahkamah Konstitusi (MK) memang merupakan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945.
Akan tetapi, jika berpijak kepada bunyi Pasal 49 UU BI/2004,hal tersebut bukanlah “sengketa kewenangan antarlembaga”, melainkan masalah penerapan ketentuan hukum tertulis semata. Hal ini tampak secara nyata dari bunyi rumusan kalimat Pasal 49 UU BI,”Patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan,dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Adapun bunyi Pasal 46 UU KPK menegaskan,”Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,terhitung sejak tanggal penetapan tersebut,prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini”. Kedua UU tersebut sederajat. Di dalam satu sistem hukum, jika terdapat pertentangan antara dua UU yang mengatur hal yang sama, solusinya diterapkan asas hukum lex posteriori derogat lege priori dan asas hukum lex specialis derogate lege generali (Remelink, 2003: 46–47).
UU KPK/2002 merupakan UU terakhir dibandingkan dengan UU BI/1999 yang diubah pada 2004, karena ternyata Pasal 49 tidak termasuk ke dalam pasal yang diubah dan telah diberlakukan sejak 1999. Hal ini diperkuat dengan judul UU BI/2004, UU No 23/ 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah dengan UU No 3/2004. UU KPK merupakan lex specialis (projustisia) dalam penegakan hukum dibandingkan dengan UU BI yang merupakan lege generali yang bersifat regulatif, bukan UU Pidana.Bunyi ketentuan Pasal 49 sendiri telah memasuki ranah hukum pidana.
BI selaku lembaga independen yang memiliki tugas pokok sesuai UU BI, memiliki perbedaan khas dengan KPK sebagai lembaga independen sesuai dengan UU KPK terkait dengan tugas pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001. UU BI bergerak dalam batas-batas aktivitas moneter dan perbankan, sedangkan UU KPK bergerak dalam batas-batas aktivitas penegakan hukum. Wewenang BI berhenti ketika aktivitas tersebut menyentuh ranah penegakan hukum pidana dan wewenang KPK pun harus berhenti ketika menyentuh ranah lingkup tiga aktivitas BI sesuai Pasal 8 dan Pasal 9 UU BI.
Kasus aliran dana BI merupakan kebijakan DG dalam masalah pemberian bantuan hukum, tidak berkaitan dengan tiga tugas pokok BI berdasarkan UU No 23/1999 yang telah diubah dengan UU No 3/2004. Di sinilah letak etika kelembagaan di dalam negara hukum Indonesia yang seharusnya dipelihara bersama oleh para penyelenggara negara. Status hukum Burhanuddin Abdullah selaku Gubernur BI dan selaku tersangka harus dapat dibedakan secara tegas karena kedua status hukum yang masih eksis bersamaan tersebut berpotensi menciptakan ranah abuabu (grey area) yang selamanya menimbulkan polemik hukum di balik kemasan asas praduga tak bersalah. Opini TokohIndonesia.com
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran