Page 25 - Majalah Berita Indonesia Edisi 15
P. 25
BERITAINDONESIA, 15 Juni 2006 25Soehartodinyatakansebagai tersangkapenyalahgunaanuang yayasansosial yangdipimpinnya.Soehartodinyatakansebagaitahanan kota.Soeharto dikenaitahanan rumah.Soeharto tidak hadirdalam sidangpengadilanpertamanya.Soeharto kembalitidak hadir dalampersidangan denganalasan sakit.Presiden SusiloBambangYudhoyonomenyatakanpemerintahmengendapkankasus mantanPresiden Soeharto.Kejaksaanmengeluarkansurat ketetapanpenghentianpenuntutan untukSoeharto.Keluarga Soehartomeminta maafkepada rakyatIndonesia.31 Maret 2000 13 April 2000 29 Mei 2000 31 Agustus 2000 14 September 2000 12 Mei 2006 12 Mei 2006 19 Mei 2006Umum menghentikan penuntutan denganalasan perkara ditutup demi hukum(dituangkan lewat SKP3) dengan alasanmedis yakni ‘tidak ada kemampuan Soeharto untuk dihadapkan ke persidangan’atau unfit to stand trial.Penghentian penuntutan umumnyaberdasarkan alasan medis dan usia lanjutterdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan inilah yang dilakukan Kejaksaan terhadap kasus Soeharto.Kasus ini ditutup demi hukum denganmenghentikan penuntutan berdasarkanalasan medis (kerusakan otak yang permanen) sehingga makna unfit to standtrial bisa diterapkan. Kejagung tidakpernah menghentikan penyidikan karenaberkas kasus Soeharto ada di area penuntutan Kejaksaan. Para pengamat hukum sebenarnya memahami hal ini.Kedua, Jaksa Agung berwenang menyampingkan perkara demi kepentinganumum (hak oportunitas). Jaksa Agungmemiliki wewenang menyampingkanperkara Soeharto demi kepentinganumum, mengingat jasa-jasanya sebagaimantan Presiden, selain usia lanjut disertaialasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan.Namun, makna “kepentingan umum”akan menimbulkan polemik multitafsiryang rancu di kalangan komunitas hukum,politik, dan masyarakat. Karena itu, arahKejagung menerbitkan SKP3 sebagaisolusi dibandingkan pemakaian hak oportunitas.Ketiga, pendekatan politis dapat dilakukan melalui kebijakan negara. Hal iniyang kemudian menimbulkan istilah bagiPresiden Yudhoyono dengan pernyataan“endap” kasus Soeharto.“Endap” harus diartikan kontekstualsebagai sikap politik, bukan menjadipolemik hukum yang finalisasinya melaluiSKP3.Sementara itu, menanggapi solusi mengenai rehabilitasi dan abolisi, Indrijantoberpendapat, keputusan presiden dapatmemberi rehabilitasi kepada mantanpresiden, selain alasan kemanusiaan usialanjut disertai alasan medis yang dapatdipertanggungjawabkan (hal serupa pernah disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno).Majelis Hakim PNJaksel menyatakanperkara pidana atasnama HM Soehartotidak dapat diterima.12 September 2000Kritik bermunculan atas terbitnya SKP3Namun pemberian abolisi (juga amnesti) akan menimbulkan perdebatankarena abolisi hanya diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidanayang mampu dihadirkan ke persidangan(fit to stand trial) dengan alat buktimemadai. Sedangkan kasus Soehartobelum memasuki substansi koruptifnya,juga faktor ketidakmampuan dihadirkanke persidangan.Juga sesuai Pasal 14 Ayat 2 PerubahanPertama UUD 1945, pemberian abolisipresiden hanya dibenarkan setelah memerhatikan pertimbangan DPR. Pemberian abolisi merupakan lingkup kekuasaan Pemerintahan Negara. Karenaitu, keputusan pemberian abolisi adalahsoal kebijakan negara yang menjadi hakeksklusif presiden dalam menjalankankekuasaan negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.Sesuai pendekatan yuridis, Indrijantoberpendapat, SKP3 adalah solusi yang bisaditerima, sedang kebijakan “endap” Presiden Yudhoyono atas kasus Soehartomerupakan kebijakan dan pendekatanpolitis yang tidak menjadi area hukum.■ RH