Page 58 - Majalah Berita Indonesia Edisi 24
P. 58


                                    58 BERITAINDONESIA, 2 November 2006RI Nyaris BangkrutAset Pemerintah Minus Rp 168,92 TriliunLayaknya membedah neraca keuangan sebuahperusahaan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untukkedua kali memaparkan secara terbuka Laporan KeuanganPemerintah Pusat (LKPP) 2005.asilnya cukup mengejutkan:LKPP 2005 dinyatakan disclaimer. Dalam bahasa populer, BPK tidak memberikanpendapat atas LKPP 2005 tersebut.Maklum, mungkin saja dilihatnya Pemerintah Pusat nyaris sudah bangkrut, ataumanajemennya barangkali sudah tak lagilayak untuk diteruskan.Setelah 61 tahun Indonesia merdekabaru kali inilah LKPP 2005, sebagailaporan keuangan resmi dari pemerintah,untuk kedua kalinya dibuat dan dipublikasikan secara luas. Berdasarkan laporan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) Anwar Nasution kepada sidangparipurna Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), berlangsung pada hari Selasa (3/10), ditemukan Pemerintah Pusat memiliki kewajiban lebih besar dari aset yangdimiliki. Selisihnya sangat besar, minusRp 168,92 triliun.Padahal aset Bank Indonesia (BI)sebesar Rp 321,25 triliun sudah turutdimasukkan. Jika saja tidak turut dimasukkan aset BI, yang menurut undangundang bank sentral BI dinyatakan independen, selisih itu akan semakin menganga sangat lebar: Rp 515 triliun.Tetapi nyatanya tambahan aset BImasih belum mampu mendongkrak keseluruhan aset pemerintah, yang hanya Rp1.173,13 triliun. Sementara total kewajibanpemerintah sudah mencapai Rp 1.342,05triliun, terdiri kewajiban jangka pendekRp 138,03 triliun dan kewajiban jangkapanjang 1.204,02 triliun.Selain nyaris bangkrut, BPK juga menemukan aset senilai Rp 35,6 triliun yangtidak jelas status hukumnya pada enamBUMN. Masing-masing pada PerumBulog, PT Angkasa Pura I, PT AngkasaPura II, Perum Prasarana PerikananSamudera, PT Perusahaan Listrik Negara(PLN), dan PT Pertamina. Kata Anwar,ketidakjelasan ini jelas-jelas melanggarPasal 41 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.Itu sebab BPK kembali menetapkan status disclaimer atau tidak memberikanpendapat atas LKPP 2005. Sikap ini jugadidasarkan atas berbagai temuan, antaralain, adanya Investasi Permanen Lainnyadi Bank Indonesia sebesar Rp 130,23triliun yang tidak jelas status hukumnya.Lalu, pelaporan kas yang tidak memadaipada 1.303 rekening senilai Rp 8,54 triliunatas nama pejabat pemerintah atauinstansi. BPK juga menyoroti 623 rekening deposito senilai Rp 1,32 triliun, dan680 rekening giro Rp 7,22 triliun.“Tahun lalu kami melaporkan rekeningatas nama pejabat, sekarang malah adarekening berbentuk deposito. Uang negara kok didepositokan. Bagaimana ribanya,” kata Nasution, yang sedang menyusun laporan khusus untuk KejaksaanAgung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia bermaksud menggalikemungkinan adanya tindak pidana yangdilakukan pemerintah di sejumlah temuan penyimpangan itu.“Laporan itu kami sampaikan kepadaPak Hendarman Supanji dan Taufiqurrachaman Ruki,” tambah Anwar Nasution.Belum DirevaluasiDirjen Perbendaharaan Negara, MuliaP. Nasution mengatakan nilai dalamLKPP 2005 tidak menunjukkan angkayang sebenarnya. Karena pemerintahbelum melaksanakan penyesuaian nilai(revaluasi) aset. Revaluasi terkendala olehproses sosialisasi Peraturan Pemerintah(PP) No. 6/2006 tentang Pengelolaan AsetPemerintah Pusat dan Daerah.“Revaluasi itu tidak bisa dilakukansembarangan. Kalau setiap departemenmemiliki tim penilai sendiri, revaluasinyabisa dilakukan cepat. Tetapi, kalau tidakada tim penilai internal departemen harusmengundang tenaga penilai dari luar.Kami harapkan proses inventarisasi danrevaluasi aset ini dapat dimulai 2007,nantinya menjadi tanggungjawab DitjenPengelolaan Kekayaan Negara (ditjenbaru di Depkeu),” kata Mulia.Walau Mulia Nasution berkelit, AnggotaKomisi XI DPR Dradjad H. Wibowo tetapsaja menilai neraca keuangan pemerintahtahun 2005 tidak sehat. Alasannya sederhana, nilai aset jauh lebih rendah darikewajiban.Dradjad bahkan meminta perlu diwaspadai nilai defisitnya yang masih sangatbesar, yakni 12,6 persen dari kewajibanpemerintah. Defisit ini akan semakinbesar karena pemerintah menganut rejimdefisit fiskal.“Padahal, dengan dimasukkannya BIdalam LKPP 2005 seharusnya keuanganpemerintah sedikit tertolong karena aruskas BI biasanya surplus,” kata Dradjad.Dradjad juga menyebutkan upayapemerintah melakukan revaluasi asetbelum tentu dapat memperbaiki kondisineraca keuangan yang defisit. Sebab, asettetap yang masih dapat mengalami kenaikan nilai hanyalah aset tanah. Sedangkanaset-aset tetap lainnya, seperti mesin danperalatan, kerap mengalami penyusutan.Pendapat berbeda disampaikan olehekonom Iman Sugema, yang juga DirekturInternational Center for Applied Financeand Economics (Inter-CAFE). Ia mengatakan proporsi aset dan kewajiban tidakdapat menjadi acuan untuk menilaitingkat kesehatan finansial pemerintah.Karena sistem itu hanya berlaku diperusahaan.Menurut Iman, aset perusahaan berkorelasi positif terhadap pendapatan, sedangkan aset pemerintah berkorelasikepada pelayanan publik. Aset pemerintah tidak langsung mengarah ke pendapatan, dan tidak bisa dijadikan agunankepada kreditor.“Indikator yang pas adalah berapa besarpendapatan pemerintah yang digunakanuntuk bayar utang. Sekarang pada posisi24 persen terhadap produk domestikbruto (PDB). Itu tidak sehat, seharusnyadi bawah 15 persen,” kata Iman. „ HTHAnwar Nasution foto: berindo wilsonBERITA EKONOMI
                                
   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62